KARENA BELAJAR ILMU KOMUNIKASI

KARENA BELAJAR ILMU KOMUNIKASI

Karena belajar Ilmu Komunikasi, saya layak tidak mempercayai setiap propaganda, kampanye, atau apapun namanya.

Semua pendobosan dengan media luar ruang, koran, radio dan televisi, tidak akan ada pengaruhnya pada alam pikiran saya yang dibentuk oleh realitas. Lebih jauh saya menganut “kredo” yang biasa digunakan untuk pendidikan kepublikan dalam kegiatan media watch: jangan mau bertindak yang disebabkan oleh propaganda. Alam pikiran harus dipelihara dari penetrasi anasir propaganda, agar tindakan bersifat otentik dari kesadaran akan realitas.

Untuk urusan pemilu sekarang, saya berusaha untuk mengenali dunia faktual dari setiap manusia yang diajukan oleh parpol sebagai calegnya. Jika dia sudah duduk di DPR/DPRD periode sebelumnya, dan sekarang lupa berdiri alias ngotot tetap duduk disitu, saya perlu mengingat-ingat apa saja yang sudah dikerjakannya, sejauh mana signifikan pada dunia ideal yang saya bayangkan. Kalau orang bersangkutan tidak melakukan apa pun yang relevan, segera dia saya singkirkan dari alam pikiran saya.

Untuk tingkat lokal, ada yang pernah saya baca berita (fakta dirinya) tentang peranannya yang signifikan bagi publik melalui aktivitas sebagai anggota DPRD. Tapi sayangnya yang bersangkutan tidak ada dalam daftar untuk dapil permukiman saya. Sedang caleg yang masih kepingin tetap duduk-duduk di Senayan sana, rasa-rasanya tidak ada yang meninggalkan kesan bahwa dia telah berbuat yang signifikan bagi publik di daerah sini atau dalam bidang yang saya geluti. Dia baru muncul di dapil hanya selama kampanye.

Dengan begitu saya harus menujukan perhatian pada caleg yang belum pernah di “office” itu sebelumnya. Tentunya hanya yang saya kenal perlu saya nilai: apa yang pernah dilakukan dalam kehidupan publik? Semoga akan saya temukan aktivis sosial yang keberadaannya signifikan bagi publik.

Kalau tidak pernah aktif secara publik, artinya mungkin sebagai pelaku profesi bersifat teknokratis (tidak punya peran melampaui profesi teknis), atau bahkan tidak punya peran publik apa pun jua sebelumnya? Yah, setidaknya perlu saya kenal karakternya.

Inilah kriteria paling sederhana yang saya bayangkan. Dalam negasi: Jika dia laki-laki, bukan penganut poligami. Bagi saya dia tamak dan pelit, sebab mendapat 2 atau 3 perempuan (kalau berbini 2 atau 3), sementara hanya memberikan separuh atau sepertiga dirinya (kalau bisa adil) untuk masing-masing isterinya. Jika perempuan, saya menolak caleg yang mau menjadi isteri kedua atau seterusnya. Sebab telah rela didominasi laki-laki di satu pihak dan menyakiti perempuan lain pada pihak lain, bagaimana saya akan percaya bahwa dia akan membela pihak tertindas? Sebaliknya akan saya pujikan perempuan yang tegas menceraikan suaminya yang poligami.

Simpel banget ya? Habis saya tidak dapat menilai karakter, sebab saya tidak mungkin membuat tes kepribadian pada para caleg itu. Jadi yang teraktualisasi secara sosial sajalah yang bisa dijadikan kriteria.

Setingkat di atas itu, akan saya identifikasi caleg yang aktual dan potensial berorientasi multikultural, karena dunia ideal yang bayangkan memerlukan aktor publik semacam itu. Jadi vote saya berikan pada beliau. Negasinya, bisa disimpulkanlah.

Kalau sama sekali tidak saya kenal? Lha, bagaimana saya mempercayakan suara saya, kendati nilai vote-nya cuma satu, saya tidak rela memberikannya. Untuk memberikan pada parpol? Biar hangus deh. Terlebih pada parpol yang kampanyenya besar-besaran di media, khususnya televisi. Mending saya berikan vote saya kepada parpol yang sedemikian kerenya, sampai tidak punya caleg di dapil tempat saya mencontreng. Ini sedekah politik namanya.

Begitulah wangsit yang saya dapatkan. Jadi tidak golput ‘kan? Saya mendengar Majelis Ulama Indonesia. Sungguh.


Pos Berikutnya
Tinggalkan komentar

16 Komentar

  1. Perlu Kekuatan Intuisi saat memilih wakil rakyat ya pak Ashadi. Sebabnya kita memang nggak mungkin tau yang sebenarnya, siapa sejatinya Caleg kita itu. Benar-benar butuh pangsit…eh…wangsit.

    Salam Sukses Penuh Berkah dari Surabaya,

    Wuryanano 🙂
    Motivational Blog – Support Your Success
    Entrepreneur Campus – Support Your Future

    Balas
  2. Memang untuk memilih wakil rakyat ini mesti kita pikirkan sejeli mungkin, ya pak. Saya perkenalkan diri saya, pak. Saya seoran penulis dari Tapanuli. Saya juga termasuk pecinta novel novel bapak. Horas dari saya http://www.mandailingnatal.page.tl/

    Balas
  3. dee

     /  14 April 2009

    saya setuju dengan bapak, saya akhirnya juga milih caleg yg namanya ndeso tenan.

    matur nuwun

    Balas
  4. saya orang mipa tapi sangat tertarik dengan dunia politik. jujur saja saya juga kemarin bingung mau milih partai apa dan calegnya siapa. berdasar pikiran saya ya sudah contreng saja partai yang sudah mapan. toh mereka sudah berpengalaman di dunia politik.

    yang paling menarik dari kampanye kemarin aalah iklan BLT dari PDI-P. bagaimana menurut bapak?

    Balas
  5. Salam, Pak. Hehehe. Saya malah sama sekali tidak “mencontreng” (kosakata dari mana pula ini?). Saya mudik (KTP saya masih KTP daerah asal), tapi cuma buat pacaran dan agar tidak dicibir induk semang saya.

    Balas
  6. hmm..saya jadi berpikir bang..apakah kriteria hanyalah sebuah jebakan untuk melihat seseorang dari sudut tertentu saja??

    Balas
  7. RI

     /  8 Mei 2009

    BANG, SAYA STABILO PARAGRAF INI // Jika dia laki-laki, bukan penganut poligami. Bagi saya dia tamak dan pelit, sebab mendapat 2 atau 3 perempuan (kalau berbini 2 atau 3), sementara hanya memberikan separuh atau sepertiga dirinya (kalau bisa adil) untuk masing-masing isterinya. Jika perempuan, saya menolak caleg yang mau menjadi isteri kedua atau seterusnya. Sebab telah rela didominasi laki-laki di satu pihak dan menyakiti perempuan lain pada pihak lain, bagaimana saya akan percaya bahwa dia akan membela pihak tertindas? Sebaliknya akan saya pujikan perempuan yang tegas menceraikan suaminya yang poligami// SETUJU BUANGETTTTT…..
    SALAM. RI

    Balas
  8. makasih pak..ini banyak membantu saya

    Balas
  9. meski rayahan Pemilu 2009 telah usai, dan Bang Ashadi pada akhirnya telah menetapkan pilihan dengan mengembangkan kriteria untuk menentukan caleg yang hendak dipilihnya. Tetapi, yang saya tetap yakin, entah dari wangsit atau dari mana asal-usulnya, atau dari reg [spasi] kirim ke nomor rekening saya, bang Ashadi pasti nggak bisa ikut rayahan. Apalagi mau dirayah, apanya, ya.

    salam,

    mmd

    Balas
  10. untunglah dulu saya golput pak…

    Balas
  11. Hwekekekekkk…

    Telat bacanya.. (-_-)

    Balas
  12. terima kasih. Bagus dan menambah wawasan saya

    Balas
  13. sip pak

    Balas
  14. tomo

     /  24 Oktober 2010

    sedekah politik pak??
    setuju..sangat setuju
    sip..

    Balas
  15. I love it when people get together and share thoughts. Great website, continue the good work!

    Balas

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: