Zulkifly Lubis, Kawan Saya….

Satu per satu sahabat berlalu. Terakhir Zulkifly Lubis, kawan galang-gulung bersama saat muda di Yogya, perkawanan yang berlanjut sampai tua, dia di Jakarta saya tetap di Yogya. Saat saya menerima kabar dia tidak dapat bertahan lagi pada hari Minggu 11 September 2011, ada rasa sesal yang menyesak, sebab sejak dia sakit dalam terpaan kanker paru-paru sampai perginya, saya selalu menunda membezuknya. Saya bertanya-tanya, ada apa dengan diri saya, sehingga tidak bersegera menemui kawan yang sakit? Saya berusaha membongkar diri saya, sampai pada kesimpulan: saya selalu berharap dapat bertemu dalam kondisi seperti yang biasa kami jalani. Kumpul-kumpul, guyon-guyon, percandaan yang sering menimbulkan keheranan bagi orang lebih muda, yang tidak mengetahui latarbelakang pergaulan di antara kami (Zulkifly Lubis, Daniel Dhakidae, Masmimar Mangiang, saya, kalau ditambah dengan yang duluan pergi: Ciil/Syahrir, Aini Chalid, Bram Zakir. Anak-anak yang lebih muda, bagaimana bisa membayangkan, cara bergaul dari masa muda bisa bertahan, sedikitpun tidak berubah, sampai lansia? Mungkin karena satu pun tidak ada yang menjabat sebagai birokrat, sehingga tidak pernah ‘dirusak’ formalisme dunia kantor pemerintahan).

Sepanjang sakitnya Zul, berkali-kali, saat usai meeting dengan Daniel Dhakidae di Jakarta atau Yogya, selamanya kami sampai pada kesepakatan: “nantilah, tunggu waktu yang tepat saat Zul sudah dapat duduk, dan keluar dari RS biar kita kongkow seperti biasa.”

Rupanya Daniel juga punya masalah psikhis yang sama, tidak rela teman pergi, karenanya tetap mempertahankan bawah sadar bahwa seorang kawan harus tetap seperti sebelumnya. Tetapi belakangan saya mendapat sms dari Daniel bahwa dia baru mengunjungi Zul di RS, menyampaikan rencana kami untuk kongkow makan bakmi ala jawa di Santika (tempat saya biasa nginap di Jakarta). Kondisi Zul membuat dia sudah tidak dapat bicara, tetapi air matanya mengalir, kata Daniel. Dan tanggal 11 September 2011, Zul pergi mendului kawan-kawannya.

***

Saya selalu berharap Zul berbahagia dalam profesinya, mulai dari reporter Majalah Tempo sampai pensiun sebagai salah satu Direktur di korporasi Tempo. Sebab dari perjalanannya bermula dari Yogya, saya tidak tahu, apakah terjun sepenuhnya ke dunia jurnalisme memang pilihannya, atau karena pusaran arus yang menariknya.

Saya mengenalnya mulai dari saat bersama dalam gerakan anti korupsi di Yogya akhir ’60-an atau awal ’70-an. Belakangan saya baru tahu dia juga kuliah di Fakultas yang sama, Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, dia di jurusan Pemerintahan atau Administrasi Negara (saya kurang pasti) dan saya sendiri di jurusan Publisistik. Saat itu kami kuliah di Sitihinggil/Pagelaran bagian Kraton Yogyakarta. Sejak awal saya masuk ke jurusan itu karena memang kepingin jadi wartawan, mengira dari situ jalannya. Sedang Zul, saya tidak tahu cita-citanya.

Kemudian kami sangat akrab, bersama kawan-kawan lain yang juga aktivis anti korupsi seperti Imam Yudhotomo, Umbu Landu Paranggi, Fauzi Ridjal, akhirnya pergaulan di luar kampus lebih banyak kami jalani. Seingat saya, tidak pernah ketemu atau janjian dengan Zul di fakultas, bertemu selamanya di rumah kosnya di Beji atau salah satu warung di Malioboro.

Zulkifly Lubis memasuki dunia jurnalisme sebagai lanjutan dari aktivisme. Saat itu dia masih mahasiswa tetapi waktunya lebih banyak sebagai aktivis. Karenanya pers yang digiatinya bukan media profesional, melainkan pers aktivis. Lahirlah Mingguan Sendi tahun 1971, di situ Zul sebagai Pemimpin Umum, dan saya sebagai Pemimpin Redaksi.

Mingguan Sendi dibiayai Pater Depoortére, seorang pastur. Ada kisah tentang pendonor ini: beliau mendapat warisan dana yang lumayan dari ibunya. Hal yang tidak saya ketahui sebagai Muslim, bahwa ternyata seorang pastur tidak boleh memiliki kekayaan/pemilikan pribadi. Jadi pilihannya, dana harus diserahkan pada gereja atau organisasi Katolik, atau digunakan untuk keperluan sosial. Beliau memutuskan mendukung aktivitas kemahasiswaan, dengan menyediakan modal untuk penerbitan pers mahasiswa (Dari sini mata saya terbuka untuk bergaul intens dengan kalangan Katolik, kemudian tercermin dalam beberapa novel saya).

Istilah pers mahasiswa saat itu tidak berbeda dengan koran umum, seperti halnya Harian Kami di Jakarta, atau Mahasiswa Indonesia di Bandung. Karenanya jenis koran yang sama diharapkan dapat terbit di Yogya. Mingguan Sendi punya Surat Ijin Terbit (SIT) berkat Zul yang susah payah mengurusnya ke Departemen Penerangan di Jakarta, mulai terbit pada November 1971.

Karenanya dapat saya pahami betapa terpukulnya dia saat mingguan Sendi hanya sempat terbit 13 edisi, untuk kemudian dibredel. Dalam surat resmi Deppen disebutkan “penerbitan dihentikan sementara”. Bagi saya, itu sama pelarangan terbit, dengan pencabutan SIT. Tetapi Zulkifly masih punya harapan. Dengan berdesakan di kereta api, dia ke Jakarta, mencari dukungan dari sejumlah wartawan senior dan eks aktivis yang duduk di DPR dan pemerintahan agar pembredelan sementara itu dicabut. Dia pulang seraya membawa umpatan, terutama ditujukannya pada seorang seorang wartawan senior yang berkomentar negatif, menganggap wajar mingguan Sendi dibredel. Tetapi Harian Kami membuat tajuk rencana memerotes pembredelan itu.

Saya menghibur hati panas Zul, dengan mengatakan bahwa anggapan “wajar” itu boleh diartikan “masuk akal dibredel” mengingat keterkaitan isi mingguan Sendi dengan gerakan aktivis saat itu. Gerakan anti Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diprakarsai Nyonya Tien Suharto merebak di Jakarta, Bandung, Yogya dan berbagai kota besar lainnya. Kritik langsung bahkan ada yang dengan bahasa kasar terhadap Nyonya Tien, bagi Suharto tentunya dipandang kebangetan. Jadi, terimalah keadaan. Kita hanya perlu bersiap, setelah pembredelan, apa yang menyusul?

Saya menerima pembredalan itu, tetapi rasa sesal dan prihatin yang terberat adalah ketika mengetahui bahwa Pater Depoortére diintimidasi Kodam Diponegoro, berkali-kali diinterogasi intel tentara. Hanya karena dia sudah lama sebagai WNI, ancaman untuk diusir dari Indonesia tidak dapat dilaksanakan.

Rasa sesal itu melahirkan semacam rasa penebusan bagi saya, tatkala kemudian saya diadili sebagai Pemred/Penanggungjawab Mingguan Sendi. Saat itu Zulkifly sibuk mencari dukungan, antara lain dari Adnan Buyung Nasution yang saat itu memimpin Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Bang Buyung bersedia menjadi pembela, tetapi karena handikap waktu dan jarak, dia membuat surat meminta agar LBH Yogya sebagai pembela. Zul dan saya menemui ketua LBH Yogya. Begitu mendengar permasalahan yang dihadapi, sang ketua LBH berdalih dengan ucapan berbelit-belit, kesimpulannya tidak dapat menjadi pembela. Agaknya dia ngeri, mengingat dalam berbagai kesempatan, Panglima Kodam Diponegoro menyatakan bahwa Mingguan Sendi telah menghina negara dan Pancasila, karenanya akan dilakukan tindakan tegas. Kami hanya tertawa, yang disindir Nyonya Tien, yang terhina kok negara dan Pancasila?

Tetapi begitulah, sang pengacara ketakutan. Saya lupa apa yang diucapkan sang ketua LBH (sebab saya tidak suka mengingat kalimat yang tidak menyenangkan). Yang jelas, sambil boncengan di sepeda motor, Zulkifly mengumpat-umpat. Umpatan tak kunjung selesai, sampai kami duduk ngopi di warung. Dengan muka yang tegang, sampai urat-urat di jidatnya menonjol, Zul melampiaskan kemarahan. Baginya sangat memuakkan sekaligus menyedihkan bahwa LBH ditangani pengacara yang takut menghadapi perkara politik. (Mudahnya Zul muntap, seolah kemarahan sampai merasuk ke hati, sering saya lihat, dan karenanya selalu, saya ingin meredakan “tensi” tingginya).

Kemudian kami ke Solo, menemui ketua LBH setempat, Mr Sumarno. Disini barulah kami mendapat penawar yang menyejukkan hati. Mr Sumarno bersedia menjadi pembela, sepenuhnya pro-deo. Dengan mobil sendiri, Mr Sumarno Solo-Yogya pp, setiap kali menghadiri persidangan.

Kalau ketua LBH Yogya saat itu mengetahui hasil persidangan, tentunya dia tidak perlu takut. Persidangan bersifat obyektif, kendati jaksa menggunakan haatzaai artikelen (pasal-pasal kebencian) dengan ancaman hukuman berat, pengadilan menyatakan bahwa saya bersalah menghina kepala negara, tetapi hanya menjatuhkan hukuman 3 (tiga) bulan dengan 6 (enam) bulan masa percobaan. Artinya saya tidak menjalani hukuman penjara. Tahun 1972 kekuasaan Suharto belum merasuk ke dalam lembaga peradilan. Bandingkan dengan hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap aktivis tahun 1974, terlebih hukuman aktivis tahun 1978.

***

Tahun 1972, boleh dikata tidak ada kegiatan radikal. Gerakan mahasiswa mereda, aktivis masuk ke wilayah intelektual. Kelompok kami (eks Sendi dan beberapa aktivis lain) tetap terpelihara, dengan lebih banyak mengadakan diskusi-diskusi akademik. Saya masih mengajar di jurusan Publisistik, kawan-kawan yang sudah di tingkat akhir fakultas, kembali menekuni sekolahnya. Karenanya kelompok ini rajin menyelenggarakan diskusi, dengan “membajak” (menghadirkan narasumber tanpa honorarium) setiap peneliti yang sedang berada di Yogya untuk penulisan thesis atau disertasi. Tema-tema yang dibahas dalam diskusi itu bak rangkaian simposium universitas, andai ada piranti perekam seperti sekarang dan hasilnya ditranskrip, entah berapa banyak buku yang bisa lahir.

Teman-teman menyukai intelectual exercise yang berharga itu. Seingat saya Zul juga menikmati diskusi-diskusi itu. Tetapi saya kira, dia tidak terdorong untuk kajian akademik seperti yang dibahas para narasumber itu. Saya sendiri menikmati kegiatan diskusi, tetapi saya belum dan tidak yakin bakal diangkat sebagai dosen tetap pegawai negeri. Sebenarnya saya ingin kembali ke cita-cita awal, menjadi wartawan sepenuhnya, tetapi mengingat kasus yang saya alami, saya juga gamang memasuki dunia jurnalisme. Karenanya pada periode serba ‘nanggung’ itu, saya berniat menulis novel.

Sebelumnya saya sudah banyak menulis cerpen, dimuat di majalah dan koran mingguan di Jakarta dan Bandung. Di samping itu saya biasa mengirim artikel opini (kolom) ke suratkabar nasional seperti Kompas dan Sinar Harapan. Setelah kasus Mingguan Sendi, saya berhenti menulis opini, dan memutuskan untuk mulai menulis novel.

Nah, selama pengembangan gagasan itu, saya biasa keluyuran dengan sepeda motor mengunjungi tempat sepi, hanya untuk ngelamun. Pada beberapa kesempatan, Zul mau menemani saya. Saya kerap singgah di tempat kosnya, lalu kami berboncengan. Sangat enak membonceng Zul, sebab badannya ikut bersama belokan. (Ilustrasi: Berbeda dengan Aini Chalid, setiap duduk di sadel, dia seperti melawan gravitasi bumi, sehingga belokan terganggu. Karenanya sewaktu perjalanan ke Kaliurang, saya bilang: “Aini, kita bisa jatuh kalau badanmu melawan arah belokan. Aku kurus, paling banter terbanting, kau bulat …, nanti kau menggelinding ke bawah sana!” Entah bagaimana sejak itu oleh kawan-kawan, Aini di’parabi’ si gelinding).

Pada hemat saya, Zulkifly seorang manusia bergerak (“man of action”), karenanya tanpa kegiatan fisik, sementara kawan-kawan asyik dalam diskusi akademik, tentulah dia kesepian. Selain itu ada persamaan kami lainnya, yaitu sebagai perokok berat. (Di antara kelompok Sendi, mungkin hanya kami berdua sebagai perokok “sungguhan”, lainnya hanya ikut-ikutan menghabiskan rokok yang ada. Saya mutlak berhenti merokok sejak 25 tahun yang lalu, sedang Zul sangat sulit menghentikannya).

Saya mabuk dalam dunia novel tahun 1972 di antaranya menulis Cintaku di Kampus Biru. Dalam pengembangan gagasan, saya memerlukan semacam ‘pengembaraan”, yaitu dengan hanya berdiam diri, atau kalaupun percakapan tentang dunia sehari-hari, bukan diskusi akademik yang menggelisahkan untuk mencari buku teks penunjang, Pengembaraan semacam ini adalah masuk ke dunia fiksi yang mengalir, bukan teori yang analitik. Disini perlu saya mencatat betapa banyak melibatkan Zul sepanjang ‘pengembaraan’ saya. Percakapan dengannya mengingat-ingat situasi di Medan, atau kelakuan “anak-anak” Medan yang umumnya “bergaya” di Yogya, berbeda dengan anak-anak BTL, yaitu sebutan untuk “Batak Tembak Langsung,” yang tidak mengalami hidup di Medan atau Siantar langsung ke Jawa. Zul besar di Medan, sedang saya kelahiran Siantar.

***

Pergaulan Zulkifly dalam konteks kesenian menguntungkan saya. Sebelum saya mengenalnya, dia sudah sering bergaul dengan kalangan seni, akrab dengan pelukis Rusli, WS Rendra, dan seniman lainnya. Keakrabannya dengan Rendra di antaranya dengan mendukung pementasan Rendra, dan Zulkifly Lubis menjadi salah seorang inisiator diselenggarakan Perkemahan Kaum Urakan di pantai Parangtritis tahun 1971.

Saya tidak ingat bagian mana dari proses kreatif saya yang ditunggui oleh Zulkifly. Tetapi yang jelas, di antara kawan saya, hanya dia yang dapat saya ajak ngeluyur malam, sebab dia tidak pernah mengeluh mau kuliah besok. Dia menemani saya nongkrong di warung-warung desa, bahkan tiduran di makam-makam yang dikeramatkan orang Jawa (Belakangan baru saya tahu dia sangat takut pada hantu dan sejenisnya, dan setelah dia terbebas dari phobia itu, baru dia cerita. Masya Allah, sekian malam ternyata saya asyik dengan lamunan sendiri, sementara kawan saya sebenarnya sedang ketakutan). Saya berusaha mengingat-ingat apa tujuan bermalam di makam-makam tua, tokh saya tidak berniat mencari dan tidak percaya adanya berkah dari makam. Mungkin hanya menikmati hening dan remang-remang di pemakaman itu. Tetapi yang jelas bagi saya adalah kerelaan Zul mengikuti kegendengan saya.

Persahabatan dengan Zulkifly berlanjut saat dia ke Jakarta mulai sebagai reporter Majalah Tempo. Saya tidak kehilangan, sebab masih sering kontak, saya bahkan pernah menjadi koresponden daerah majalah itu. Setiap ke Jakarta, saya tidak lagi nginap di Wisma Seni di TIM, tapi nebeng tidur di tempat kosnya. Satu novel saya, Terminal Cinta Terakhir saya selesaikan di tempat kos itu, pada saat saya sangat bosan di Yogya. Begitu dijilid, langsung saya antar naik helicak (sejenis becak bermesin) dari Utan Kayu lewat Senayan, ke Harian Kompas di kantor yang sederhana, diterima redaktur budaya mas Alfons Taryadi. Hebatnya, Kompas saat itu belum dirasuki manajemen yang rumit, mas Alfons langsung mengurus honor novel, sekaligus honor artikel saya yang belum sempat diweselkan tatausaha. Beberapa hari kemudian kami menikmati hidup sebagai orang kaya.

Kendati ingin tahu, saya tidak pernah menanyakan, apakah Zul menikmati kerja sebagai reporter itu, sebab seingat saya, dia lebih sesuai sebagai “pengatur”. Ketika di Sendi, meskipun setiap personel terkena kewajiban menulis berita, Zul lebih banyak berkutatan dalam hubungan dengan pendana, percetakan, negosiasi pembelian kertas, dan sejenisnya.

Tetapi kemudian saya membaca laporan yang ditulisnya di Tempo, termasuk perjalanan ke Hongkong sangat mengesankan saya. Belakangan, ketika saya mulai aktif menggerakkan Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya (LP3Y) setiap kali mengadakan seminar atau simposium untuk pendidikan jurnalisme di Yogyakarta, Zulkifly Lubis pasti hadir memberikan masukan yang penting. Pengalaman praktisnya sangat berguna melengkapi rencana-rencana konseptual untuk pendidikan wartawan. Disitu saya menangkap kesan atas antusiasmenya dalam dunia jurnalisme. Karenanya saya menyimpulkan dia bahagia menjalani profesinya, sekaligus sangat terpukul ketika Tempo beberapa kali dibredel.

Pada bredel tahun 1994 dengan pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), atas permintaan Zul, saya sempat menjadi saksi ahli dalam gugatan Tempo di Pengadilan Tata Usaha Negara. Kendati gugatanTempo dimenangkan, tetapi SIUPP Tempo tidak dipulihkan. Deppen memberikan SIUPP untuk majalah baru seolah pengganti Tempo. Untuk itu saya menunjukkan penolakan terhadap majalah itu, dengan ikut tanda tangan pernyataan tidak akan mendukung majalah itu. Kemudian menulis kolom berulangkali di majalah DR yang menampung sejumlah personel Tempo.

Berikutnya beberapa kali saya mengunjunginya, dan pertemuan lebih intensif saat Zul bersama Gunawan Muhamad mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Disitu Zul sebagai Bendahara Yayasan, sedang saya sebagai salah satu Dewan Pengawas. Belakangan saya mengetahui, Gunawan Muhamad dan Zulkifly Lubis mendirikan dan mengelola Pusat Kebudayaan Komunitas Salihara. Berkali-kali janjian dengan Zul, untuk ketemuan di sana, tidak pernah kesampaian. Beberapa kali saya nonton pertunjukan di Salihara, tetapi tidak mengontak Zul. Aneh? Saya menikmati tontonan sebagai konsumen umum, begitu pun memandangi bangunan di kompleks Salihara itu, sembari membayangkan Zulkifly Lubis, sang pengatur.

Di luar itu kami selalu bertemu. Karenanya saya tidak pernah merasa berpisah, meskipun dia tinggal di Jakarta. Dan sekarang, dia telah pergi mendului teman-temannya, sekaligus bertemu teman-teman lain. Bertemu, pergi, dan bertemu lagi, apa bedanya … ?