Majalah MATRA, No. 48, JULI 1990

Majalah MATRA, No. 48, JULI 1990 – Pewawancara Emha Ainun Nadjib dan Deded Er. Moerad

ASHADI SIREGAR

PERS KONGLOMERAT, MAHASISWA, DAN CINTA

PERS PAMFLET

 Di antara pembaca tentu ada yang masih ingat novel pop laris era 80-an, Cintaku di Kampus Biru. Roman yang menceritakan kehidupan kampus itu pun sempat difilmkan dan melambungkan bintang Roy Marten. Berturut-turut kemudian lahir Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir. Ketiganya laku keras. Bahkan salah satu novel lepasnya, Sirkuit Kemelut juga diminati banyak remaja. Sejak itu nama Ashadi, si empunya cerita, mendadak jadi populer. Padahal, sebelumnya, pria yang lahir pada 3 Juli 1945 di Pematangsiantar, Sumatra Utara, ini sudah karib dengan dunia tulis-menulis. Ia pernah menerbitkan ming­guan Publika di samping menjadi penanggung jawab mingguan Sendi. Tapi, koran yang bersuara cukup keras itu tak berumur panjang. Sendi dibredel dan Ashadi dihukum penjara satu tahun.

Saat ini, lulusan jurusan Publisistik Fakultas Sosial Politik (kini Fisipol) Universitas Gadjah Mada, ini masih aktif menulis, baik makalah seminar, esai, maupun sesekali fiksi. Kesibukannya yang lain adalah men­jadi dosen pada almamaternya. Baru-baru ini suaranya kembali terdengar saat ia memberi sejumlah komentar mengenai kehidupan pers di Indo­nesia. Pendapatnya bukan saja segar, tetapi juga memancarkan kejelian seorang pengamat.

Anda sangat dekat dengan sastra, dan anda pernah berekspre­si lewat media itu. Sampai sejauh mana anda sudah merasa memanfaatkannya?

Sampai saat ini saya belum menemukan format ekspresi saya yang lain lagi, untuk seluruh pemahaman saya terhadap realitas yang berlangsung sekarang ini. Apa yang kita tuliskan sebagai ce­rita, novel itu, mungkin didorong oleh pemahaman kita yang sa­ngat pahit terhadap realitas. Atau pemahaman kita terhadap reali­tas yang kita romantisasikan.

Novel-novel saya yang dulu ditulis ketika saya punya penga­laman yang sangat pahit dalam konteks politik. Juga pemahaman saya terhadap orang muda yang saya romantisasikan. Maka lahir­lah novel semacam itu. Walau orang mengatakan novel-novel itu laku dan sebagainya, saya nggak ingin lagi menulis novel seperti itu. Walaupun banyak ide menggumpal-gumpal di benak saya, se­perti bakmi, ha-ha-ha … Tak ingin saya meromantisasikannya lagi.

Anda tak kecil hati karya anda itu disebut sebagai novel pop, bukan karya sastra?

Tidak. Cobalah lihat novel-novel saya itu. Di dalamnya ada otoritas atau kekuasaan yang berlebihan dijalankan. Dan orang muda saya romantisasikan untuk berhadapan dengan otoritas itu. Lalu, dalam sampul belakang buku itu saya dengan jelas mengata­kan bahwa ini adalah sebuah karya yang romantik saja. Dan kalau kritikus mengatakan itu hanya novel pop saja, nggak ada urusan buat saya.

Kalau format itu sudah ketemu, apa anda bersedia seperti Umar Kayam, disuruh “menganggur” di negeri orang, dengan tugas hanya menulis saja?

Ah, nggak mungkin buat saya. Saya punya anak istri, dan saya sangat mencintai mereka.

Kalau mereka boleh dibawa?

Oh, itu lain soal. Tapi apa iya? Dunia ini ‘kan belum memanTjakan saya, seperti memanjakan Umar Kayam, ha-ha-ha ….

Apa anda tidak pernah dimanja?

Dalam keluarga, saya ‘kan anak ketiga. Dalam sosiologi keluarga, anak ketiga selalu punya situasi tertentu yang khas, dan saya tahu betul bahwa saya tidak akan dimanjakan oleh dunia ini.

Kembali ke soal format yang belum ketemu tadi. Apakah itu karena persoalan sastra atau peluang politik?

Bukan keduanya. Wong kalau saya mau menulis, ya apa pun saya tulis. Soal mau saya simpan di disket atau bagaimana, terserah. Persoalannya adalah teknis. Pertama, saya kuatir kalau saya terjerumus kembali pada romantik itu. Tapi, dari segi duitnya, me­mang enak, ha-ha . . . Tapi untuk apa saya menulis seperti itu, menyenang-nyenangkan orang.

Tapi kalau toh anda menulis, akan menulis roman, ‘kan, bu­kan puisi?

Wah, kalau saya menulis puisi, bagaimana dengan persediaan kata-kata yang bejibun ini. Menulis puisi itu diringkas-ringkas, dipadat-padatkan. Dan kalau saya jadi penyair, nanti penyair lain bagaimana? Ha-ha-ha….

Apa nggak ingin menulis lakon atau drama, seperti yang di­lakukan Anton Chekov atau Moliere, yang latar belakangnya agak mirip dengan anda?

Walau mengajar di jurusan teater, tetapi tak sedikit pun terpikir bahwa saya akan menulis lakon. Yang selalu terpikir di benak saya, ya menulis novel.

Kenapa tidak mau meromantisir lagi? Apa ini karena faktor psikologis, sikap sastra, atau ada hubungan dengan perka­winan?

Cerita-cerita yang saya tulis pada tahun tujuh puluhan begitu dekatnya dengan pengalaman-pengalaman politik saya. Dan ke­mudian saya mencoba membuat jarak terhadap apa yang disebut politik itu sendiri. Ketika saya masih dalam aura proses politik itu, pelarian saya adalah membuat romantisasi itu, katakanlah demi­kian.

Sejak koran Sendi dibredel anda tidak aktif lagi dalam dunia pers secara praktis. Anda lebih memilih sebagai pelaku se­buah institusi komunikasi. Apakah pilihan ini sesuatu yang biasa-biasa saja atau pilihan historis?

Historis, jelas. Ketika membuat Sendi, kami sadar betul bahwa yang dilahirkan itu bukan pers, tetapi pamflet. Pamflet yang kita terbitkan secara reguler. Pamflet itu kan sangat pretensius. Idenya yang pokok. Kemudian, dengan bahan baku apa yang kita sebut fakta, kita comot untuk ide itu. Itu bukan pers yang sesungguhnya.

Tetapi, pada zaman itu normal adanya media yang demikian. Bagi saya, dalam suatu periode hidup, harus muncul pamflet-pamflet dalam keberadaan kita. Setelah itu, tidak mungkin lagi. Pertama, karena masyarakat mungkin tidak memerlukan itu lagi. Kedua, saya sendiri seharusnya berproses, dong. Kenapa? Karena saya belajar jurnalisme yang sesungguhnya. Saya sadar betul bah­wa Sendi itu bukan pers yang sesungguhnya. Berarti saya harus memikirkan pers yang benar, pers sebagai pers.

Ada pers pamflet, ada pers yang sesungguhnya. Pers pamflet secara universal merupakan perpanjangan tangan dari idealis­me tertentu, dan itu cenderung sangat politis.

Iya. Meskipun pers pamflet itu mungkin perlu, tetapi tetap saya anggap bukan jurnalisme. Karena, pada dasarnya tidak sesuai dengan kodrat yang demokratik dari satu masyarakat. Kenapa ti­dak cocok? Karena sebenarnya dengan ide-ide, kita ingin mendik­tekan sesuatu. Dan itu sebenarnya bukan hanya dalam dunia po­litik, tetapi bisa juga terjadi dalam bidang agama. Misalnya, orang yang berpretensi melahirkan apa yang disebut pers Islam. Sebab, sebenarnya yang disampaikannya adalah pamflet tentang dogma-dogma Islam, dan dipaksakan agar diterima orang. Menurut saya hal itu tidak sesuai, karena tidak bisa diandalkan untuk mempro­ses satu masyarakat yang egaliter. Masyarakat yang egaliter itu harusnya menggunakan jurnalisme yang lebih mengungkapkan realitas empirik dari masyarakat. Kemudian, dalam posisi yang sama, semuanya menghadapi realitas empirik itu, dan kemudian dibiarkan dia belajar sendiri.

Seberapa jauh pers yang sesungguhnya ini bisa steril dari bermacam-macam pretensi itu?

Sebenarnya sekarang kita berada pada semacam titik ekstremi­tas. Maka, sebelum kita menemukan metode-metode jurnalisme yang sesungguhnya, yang menyampaikan realitas empirik dengan metode jurnalisme yang benar, jangan dulu berpretensi dengan dogma-dogma, dengan ide-ide. Jadi, belum menemukan jurnalisme yang benar, sudah pergi ke pers pamflet.

Proses jurnalisme yang benar itu, sebetulnya *kan tetap dila­tarbelakangi oleh kebulatan-kebulatan pretensi juga. Tidak­kah Orla dan Orba sekarang juga melakukan hal yang sama — meskipun sekarang lebih piawai dan efektif? Atau, sampai seberapa jauh anda melihat tidak adanya dominasi?

Sebenarnya pers pembangunan berpretensi semacam itu. Ha­nya fakta yang sesuai dengan pembenaran ideologi pembangunan versi orang yang berkuasa saja yang dicomot-comot. Mungkin ada ideologi pembangunan yang bisa bersikap objektif, yang substan­sinya bisa kita cari dalam kehidupan manusia. Tetapi, di Indonesia bukan ideologi pembangunan semacam itu sebenarnya yang ber­langsung, melainkan ideologi pembangunan yang dirumuskan atau harus bersumber dari yang berkuasa. Ini kembali kita men­jauh dari upaya untuk membangun suatu kehidupan yang lebih egaliter.

Jadi, kalau pers kita berpretensi untuk menjalankan ideologi pembangunan dengan pola tadi — bahwa kriteria dan sumber hanya pada pihak yang berkuasa — upaya untuk membangun metode jurnalistik yang paling dasar tidak jalan. Dalam kondisi semacam itu, kalau pers kemudian ikut tumbuh dalam proses pertumbuhan ekonomi dan menjadi lembaga-lembaga ekonomi, bukan sebagai lembaga kebudayaan, dan kemudian dibebani de­ngan pretensi sebagai pers pembangunan dan tidak mengembang­kan metode jurnalisme, ‘kan krisis jadinya?

Ada tiga macam krisis di sini. Pertama, upaya membangun metode jurnalistik yang benar tidak jalan. Kedua, karena dibebani ideologi pembangunan, pers pun kemudian menjadi pers pamflet. Ketiga, pers menjadi hanya sekadar lari ke institusi ekonomi, yang kemudian kita sebut sebagai industrialisasi. Nah, kalau sudah semacam itu, bagaimana perkembangan masyarakat kita? Siapa yang memikirkan itu?

Menurut anda sudah seberapa parah pers kita terseret pada ideologi pembangunan semacam itu?

Kita lihat dulu sisi idealisasi kita tentang jurnalisme yang mengutamakan realitas empirik. Sejauh mana sebenarnya pers mendekat pada atau menjauh dari idealisasi yang semacam itu. Dan yang paling menjauh dari realitas empirik adalah TVRI. Rea­litas empirik yang disajikan TVRI hanya berita pukul sembilan ma­lam itu (Dunia dalam Berita — Red.). Lainnya adalah realitas arti­fisial, realitas buatan, realitas seremonial, realitas yang ditukangi. Misalnya, cerita tentang petani. Bagus-bagus semuanya. Padahal, kalau ditanyakan yang sebenar-benarnya pada sang petani, mung­kin mereka bilang, “Kenapa nasib saya tidak sebagus seperti yang disiarkan TVRI itu”. Ini salah satu bentuk pers pembangunan yang paling kentara. Dan karena TVRI tidak berpretensi menjadi ins­titusi ekonomi, dia mutlak menjadi pamflet.

Contoh media cetak?

Media cetak punya variasi macam-macam. Pertama, untuk menjadi pers pembangunan, dia pasti tidak bisa dijual. Pamflet di mana-mana tidak saleable, tidak punya nilai jual. Orang beli koran ‘kan untuk mencari realitas empirik. Dalam dunia pers ‘kan prima­donanya realitas empirik itu.

Nah, di antara tekanan untuk menjadi pamflet pers pemba­ngunan, para pengelola berupaya mencari realitas empirik. Apa­kah itu berupa feature yang tidak berkonotasi politik, atau aspek kehidupan lainnya. Ada juga media yang sama sekali tidak mau berpretensi memilih informasi itu dalam konteks kebudayaan. Yang penting bagi mereka adalah laku. Misalnya, pergunjingan artis, dunia musik, olahraga, dan kriminal — meskipun itu sendiri merupakan realitas empirik dalam bentuk yang lain.

Pamfletasi kehidupan itu ‘kan merupakan atmosfer, dan pers seharusnya punya timbangan antisipasinya, ya? Nah, dalam kasus Sinar Harapan yang sampai dibredel itu, misalnya, apa­kah itu karena kesalahan dalam menakar antisipasinya?

Itulah kerepotan mereka yang sadar betul tentang pressure untuk menjadi pamflet politik ketika memilih informasi. Sebenar­nya yang disebut jurnalisme itu ‘kan menyeleksi realitas, kemudian mengolah, dan menyajikannya. Ketika menyeleksi itulah yang pa­ling menjadi masalah. Semakin mereka sadar tentang realitas poli­tik yang ada, tentang pressure untuk menjadi pers pamflet, semakin sulit mereka mencari realitas empirik yang bisa disajikan. Apalagi kalau realitas itu berkait ke politik — kemudian malah tidak mungkin disajikan.

Itu sebabnya media ekonomi sekarang berkembang. Kenapa? Karena realitas empirik dari ekonomi ini, walau ada kaitannya de­ngan politik, sebenarnya punya dinamika di luar politik. Dinami­kanya itu demikian kuat sehingga dinamika untuk stabilitas politik kalah untuk kepentingan ekonomi dari sejumlah kekuatan modal. Makanya realitas empirik dari ekonomi bisa juga dicomot menjadi bahan jurnalisme kita. Tetapi, pers umum sering mengalami kesu­litan sehingga mereka lari kepada human interest yang sangat individual. Jadi, yang bisa mengharukan dan sebagainya itu.

Apakah anda melihat ada suatu kekuatan politik yang memobilisir atau mempamfletkan institusi komunikasi? Jadi, ada semacam tarik-tambang kepentingan di sini. Lalu, seberapa jauh pers Indonesia tidak terseret dalam situasi tarik-tambang itu, atau seberapa kadar egalitarianisme mereka ini?

Sekarang ini sulit untuk mengkategorisasikannya. Ada yang sadar tentang tarik-tambang itu sehingga mereka bergerilya kecil-kecilan, menyampaikan feature yang realistis. Jadi semacam exercise jurnalisme, begitu. Ini terus-menerus masih dilakukan. Tetapi, ada yang nggak sadar sama sekali adanya pressure itu, dan ikut saja dalam seluruh prosesi. Ada juga yang sadar, kemudian memilih satu sisi lain, yakni ikut berkah pertumbuhan ekonomi. Dan jadi­lah institusi ekonomi. Lihat saja, sekarang media semacam itu tum­buh pesat. Permodalannya berkembang. Bahkan modal dia itu lalu diinvestasikan di luar bidang media.

Tetapi ‘kan tetap ada media yang bergerilya. Dan menurut anda, ada berapa banyak media yang melakukan itu?

Ya sulit menghitungnya. Yang jelas, mereka yang sadar gerilya itu minoritas. Artinya, dari pilihan informasinya nampak terus pretensinya untuk melahirkan jurnalisme realitas empirik itu. Per­nah saya tulis di Yogya Post bahwa suatu informasi seolah-olah menyampaikan sesuatu hal, tetapi di balik itu ada sesuatu yang lain yang ingin disampaikannya. Saya tidak tahu persis efektivitas yang semacam itu, apa iya ada masyarakat yang menangkap itu.

Bicara soal banyaknya konglomerat yang masuk atau me­nguasai modal pers, seberapa jauh kira-kira konglomerat itu berpengaruh dalam hal efektivitas penyampaian realitas em­pirik?

Inilah repotnya. Kadang-kadang kita itu penuh waswas de­ngan mekanisme ekonomi. Tetapi, mau tak mau, apa yang disebut dengan ekonomi itu ‘kan sebenarnya selalu ada kepentingan pemi­lik. Kalau orang bikin perusahaan besar tetapi dengan lisensi mo­nopoli, cara semacam itulah yang akan kita lihat, apakah baik atau buruk. Nah, kalau kita tak punya kriteria, semua dianggap normal saja, ya baru jadi masalah. Padahal, membangun masyarakat itu, selain cukup makannya, paling pokok sebenarnya tentang nilai-nilai hidup kita ini. Nilai-nilai hidup kita ini yang mau kita ba­ngun. Nilai-nilai hidup seperti apa yang kita anggap baik itu. Jadi, kalau ada wartawan mobilnya bagus, misalnya, bukan problem. Mobil itu sama saja dengan sepeda. Tetapi, bagaimana cara menda­patkannya, itulah soalnya.

Jadi, bukan materinya, benda konkretnya, tetapi caranya, ya?

Ya. Jadi, moral dalam hal cara mencapai kepemilikan itu. Me­mang penghasilan dari perusahan itu begitu tingginya, dan seba­gian dari cost mesti dipakai untuk membeli mobil karyawannya. Apa urusan kita melihat moral dan sebagainya itu. Tetapi, kalau keberadaan media itu sebenarnya semata-mata untuk menjadi institusi ekonomi dan kemudian dia menjual informasi sekadar untuk tujuan itu, baru kita tinjau. Apakah cara itu etis atau tidak.

Dalam hal konglomerat masuk pers, yang dikhawatirkan ada­lah bagaimana kerangka etis tidak etis itu. Apakah media mi­lik seorang konglomerat akan berani menulis kejelekan dari salah satu perusahaan si konglomerat? Apalagi kalau pemilik-pemilik modal itu terkait dengan struktur politik. Bagai­mana?

Masalahnya, apakah media yang muncul itu akan menjadi pamflet ekonomi? Si wartawan kembali kita pertanyakan. Apakah dia mau menjadi wartawan buletin perusahaan itu? Dia jual reali­tas empirik sebagian, dan selebihnya ideologi ekonomi dari pe­milik modal. Kalau wartawannya mau, ya saya merisaukan dunia pendidikan. Kenapa dalam pendidikan kok tidak diproses calon pengelola koran ini agar memiliki sikap profesional. Maksud saya, dalam arti kemampuan teknisnya tinggi dan punya sikap etis yang tinggi pula. Dan etis itu bukan hanya menyangkut dirinya me­lainkan juga keberadaan institusi itu sendiri. Enjoy-kah dia berada di satu institusi yang semacam itu? Kalau enjoy, berarti dia tidak memahami keberadaan institusi itu jika dilihat dalam konteks etik.

Bagi saya, pers pamflet itu menyimpang secara etis. Apa pun dan di mana pun posisinya. Karena, dia tidak fair terhadap masya­rakat. Dari sisi jurnalisme, itu tidak ideal.

Jadi pers konglomerat itu harus dilihat dari bentuk negosiasi di antara pelaku-pelakunya?

Satu-satunya jalan yang saya lihat adalah cara liberal. Andai­kata pun ada pamflet atau pamflet ekonomi dari corporate itu, tentunya ‘kan ada juga kompetisi atau persaingan. Tetapi, mungkin yang bisa kita lihat adalah konflik kepentingan dari berbagai corporate itu. Mungkin juga muncul realitas empirik melalui media masing-masing. Itu salah satu jalan. Kecuali kalau mereka kemudi­an menyusun satu mata rantai kepentingan bersama, maka sudah tidak ada lagi harapan.

Anda pesimistis dengan pendidikan jurnalistik?

Tidak. Cuma, kalau tidak ada exercise untuk mengembangkan jurnalisme egaliter yang mengutamakan realitas empirik dan membiarkan orang melihat realitas itu serta menentukan sikap sendiri, juga tidak adanya proses pengembangan diri, tidak terba­yang apa jadinya masyarakat kita nanti. Semuanya mungkin harus menunggu instruksi dari atas untuk menentukan pilihan.

Kalau anda diminta untuk memberikan pendidikan kepada para pelaku pers konglomerat itu, apa yang anda lakukan atau anjurkan?

Paling tidak pada tingkat kesadaran. Kemudian, silakan me­milih sendiri posisinya. Yang saya maksud dengan kesadaran itu adalah kesadaran akan keberadaan institusi medianya. Agar dia bisa menganalisis keberadaannya, dan untuk apa sebenarnya. Mau menjadi pamflet ekonomi atau hanya sekadar semacam perusa­haan pers biasa saja, artinya pemilik modal hanya memperluas kepemilikannya. Kalau hanya sekadar itu, ya sudahlah, itu hanya institusi ekonomi biasa.

Lebih jauh, andaikata dia menjadi pamflet corporate, entah se­cara tersamar atau tersirat, dia bisa memilih berbagai cara. Tetapi, substansinya sebenarnya bisa kita lihat, apakah media pamflet corporate atau bukan. Begitu saja. Bisa saja lho mereka menjadi pamflet tapi tidak melakukan apa-apa. Misalnya ada realitas empi­rik yang merugikan corporate, lalu tidak diberitakan. Padahal, me­nyembunyikan realitas empirik, secara etik, ‘kan tidak baik. Nah, kalau dia lakukan itu dalam pretensi untuk kepentingan permo­dalan, sulit kita mengharap sesuatu dari mereka.

Jadi, pendidikan itu sebenarnya mencoba membawa mereka pada kesadaran moral, posisi, sikap sosial, politik. Sebenar­nya atmosfer global dari pers kita masih mengandung hal itu, dalam hubungannya dengan ideologi politik, egalitarian dan sebagainya itu?

Saya kira masih ada. Kita ‘kau belum bisa bicara tentang media fenomena baru yang diterbitkan oleh para konglomerat atau corporate murni itu, karena belum pada terbit kok. Kita belum melihat proses mereka. Sebuah contoh, ada koran baru — sebenarnya koran lama yang ingin mengganti pola dia — mencoba melahirkan realitas empirik itu, tetapi mereka belum menemukan formatnya. Kami diminta untuk meneliti, mencoba mencari satu formula untuk bisa menegakkan keberadaannya di celah-celah media yang ada, tetapi sekaligus itu realitas empirik yang dijadikan orientasi utama. Koran tersebut selama ini muncul dalam konteks agama tertentu. Nah, yang mereka inginkan, konteksnya tetap agama itu, tetapi realitasnya empirik. Kami tawarkan format yang semacam itu kepada mereka, dan kami bersedia melakukan penelitian dan mencari formulanya. Jadi, konteks ideologisnya tidak lagi dicari pada dogma-dogma yang ada di kepala si pengelola maupun narasumber ataupun tokoh-tokoh agamanya, melainkan realitas empirik umat, kehidupan empiriknya, bukan gagasan.

Sebetulnya mereka — media-media itu — punya keinginan untuk mengutamakan realitas empirik. Tentu dengan godaan uta­ma lebih saleable itu tadi. Tetapi, apakah keinginan mereka itu su­dah direalisasikan, wallahualam. Namun, upaya itu ada. Kalau hal itu betul-betul dilakukan dan realitas empirik yang ditampilkan memenuhi persyaratan standar metode jurnalistik, saya kira pers kita lumayan juga.

O, ya. Apakah perjalanan pers kita paralel dengan gerakan mahasiswa?

Ya tidak. Kalau jurnalisme kita itu mencari bentuknya terus-menerus, tetapi gerakan mahasiswa tidak. Mereka hanya melaku­kan pengulangan sejarah saja, berpretensi menjadi kekuatan pressure. Tema-temanya juga yang itu-itu saja. Jadi, hanya berganti orang. Cuma, sekarang mahasiswa kebablasan (keterusan — Red.) menjadi spesialis proyek, sedang jurnalisme kebablasan menjadi institusi ekonomi.

Lalu, kenapa gerakan mahasiswa itu tidak berkembang?

Contohnya ya tidak ada. Di mana-mana gerakan mahasiswa itu ya cuma semacam itu. Sedangkan pers, contohnya yang benar ‘kan banyak.

Apa karena mahasiswa selalu orang baru, sedang pers orang­nya itu-itu saja?

Itu juga mungkin. Jadi, proses pengulangan itu terjadi karena setiap orang memulai sejarahnya sendiri. Sedangkan pers ‘kan tidak. Wartawan itu sebenarnya memproses seluruh tahapan kehi­dupan, seperti halnya saya sendiri mengalami tahapan itu sampai usia sekarang ini.

Akhir-akhir ini ada juga yang meragukan gerakan mahasiswa sekarang. Misalnya dengan mengatakan, kenapa mahasiswa mengurus hal-hal yang pasti tidak bisa mereka urus. Padahal, di kampus mereka punya sasaran yang jelas, misalnya soal sistem pendidikan.

Sebenarnya prospek seseorang tak perlu kita batasi. Dia bisa saja memikirkan dunia yang terancam perang nuklir. Tetapi, masa­lahnya adalah apa yang menjadi sasaran si mahasiswa itu. Kenapa dia memilih itu dan berorientasi terhadap masalah itu. Misalnya, dia berorientasi terhadap kasus Kedungombo. Untuk apa? Jangan dia berpikir untuk apa dalam konteks dirinya. Bagaimana dia sebenarnya untuk orang Kedungombo itu. Jadi, kalau seseorang itu sejak kecil disosialisasikan untuk selalu memikirkan dirinya, maka pretensi dia terhadap Kedungombo perlu dipertanyakan. Kalau demonstrasi untuk gagah-gagahan, saja, ‘kan sebenarnya orientasi terhadap diri sendiri, bukan untuk masyarakatnya.

Apa kenyataan yang terjadi ketika sejumlah anggota DPR da­tang ke sana untuk mendapatkan realitas empirik dan bertemu de­ngan mahasiswa? Yang keluar dari mulut mahasiswa adalah per­nyataan-pernyataan yang bombas. Apa sebenarnya yang mereka berikan kepada anggota DPR itu — tanpa memperhatikan apakah anggota DPR itu bertujuan luhur atau tidak. Tetapi, seharusnya dari pihak si mahasiswa itu sendiri, siapkah mereka menyerahkan informasi realitas empirik tentang Kedungombo itu?

Kini Ashadi memang banyak berubah. Rambutnya tak lagi gondrong dan awut-awutan seperti beberapa tahun yang lalu. Potongannya klimis, dan badannya kelihatan subur. Toh sisa-sia ke-“edan”-annya sesekali masih te­tap terasa, terutama dalam gaya serta, kadang-kadang, isi kata-katanya. Perkawinannya dengan Helga Korda, sarjana seni rupa sekaligus dramawati, membuahkan dua putra: Anggia Adibanua dan Bona Adimesa.

Ya, sang suhu, begitu dia biasa dipangil oleh kawan-kawan karibnya, memang sudah berubah. Kendati demikian, ia seperti tak pernah tenang. Ia selalu terlihat gelisah, terlebih bila menyangkut nasib masyarakat kelas bawah. Tapi, Ashadi juga pandai bercanda. Bila ia diingatkan tentang se­suatu yang mungkin luput dari perhatiannya, pria Batak yang pandai berbahasa Jawa ini lalu berkata, “Apa aku perlu turun gunung lagi, turun dari pertapaanku?” Ya, barangkali ia memang perlu turun sungguhan.

Buat anda, apa arti sebuah percintaan pada masa sebelum dan sesudah perkawinan. Dan jangan-jangan, karena perkawinan itu juga maka anda tidak menulis novel lagi?

Perkawinan adalah percintaan yang jelas, pasti, sedangkan pacaran adalah percintaan yang tidak pasti, meskipun kita selalu mengatakan: “Engkaulah segalanya”. Tetapi, di balik itu kita selalu siap untuk memberikan cinta kita kepada yang lain. Nah, dalam ketidakpastian itu, kita selalu romantis melihat dunia ini. Karena itu, perkawinan tidak pantas lagi, atau bahkan tidak masuk akal, dijadikan sebagai wadah imajinasi romantik. Dan bukan hanya imajinasi romantik yang membuat orang kreatif. Kalau hanya de­ngan imajinasi romantik kita ingin kreatif, ya, nanti lahir lagi novel yang romantik itu. Padahal saya tidak suka itu.

Kenapa saya dulu bisa beromantik-romantik begitu? Karena, meskipun saya anak ketiga dari tujuh bersaudara, saya dilahirkan dalam lingkungan keluarga pegawai negeri. Ayah saya pamong-praja, yang setiap hari Minggu masih punya waktu untuk piknik.

Nah, suasana semacam itu sangat potensial untuk membuat diri saya menjadi romantik. Andaikata saya tidak keras terhadap diri sendiri, sebenarnya saya sangat potensial untuk menjadi hedonis. Karena lingkungan sosial, lingkungan keluarga yang mapan itu sangat potensial untuk membuat saya demikian. Hanya karena pilihan nilai tertentu itulah yang membuat saya kemudian keras terhadap diri sendiri.

Anda mengatakan perkawinan itu adalah cinta yang pasti. Te­tapi, kok masih ada orang yang sudah kawin, tetapi mencari lagi yang tidak pasti itu, katakanlah menyeleweng begitu?

Ah, itu ‘kan cuma mencari sensasi saja. Bukan cinta kok. Dan itu sensasi psikologis yang susah untuk diceritakan. Jadi, ada yang untuk syahwat, ada yang sekadar pergaulan, atau bahkan me­nikmati penyelewengan itu. Tetapi, ada sensasi yang lebih abstrak. Misalnya, kita mengagumi seseorang karena kecantikannya, kare­na intelektualitasnya, namun hanya sebatas mengagumi saja. Buat saya, mencari sensasi di luar perkawinan itu normal sekali.

Jadi, yang disebut cinta itu bagaimana sih?

Cinta adalah keinginan kita memberikan diri kita sepenuhnya. Kau terimalah seluruh batang tubuhku ini dengan isi-isinya. Te­tapi, sebelum sampai pada komitmen yang terakhir, yang namanya perkawinan, saya selalu mengambil ancang-ancang untuk menye­rahkan cinta itu kepada yang lain. Mungkin demikian pula halnya dengan dia. Iya ‘kan?

Kembali ke soal pers, bagaimana kira-kira pers kita pada ta­hun ’50-an, lima-enam tahun menjelang pemberontakan PKI 1965, lalu pers awal Orde Baru, dan pers sekarang?

Pers itu ‘kan media, perantara. Dalam masyarakat pada tahun lima puluhan, mekanisme yang berlangsung adalah, kekuatan politik mencoba mendapatkan alat politik. Dengan sendirinya me­dia itu akan menopang hal semacam itu. Informasi yang laris, um­pamanya, adalah realitas empirik politik. Jadi, jangan heran kalau ketika itu, koran-koran seperti Pedoman, Abadi, Suluh Indonesia, dan sebagainya, memiliki oplah yang besar. Kenapa? Karena, motivasi massa atau khalayak itu memang ke arah informasi semacam itu.

Setelah tahun enam puluhan, semua media menjadi pamflet. Ideologi Manipol itu yang sesungguhnya ingin disampaikan. Dica­ri-cari informasi untuk mendukung itu, yang hakikatnya sama de­ngan ideologi pembangunan sekarang ini. Hanya bentuknya saja yang berbeda dan pilihan bahan bakunya, namun polanya sama saja.

Tahun tujuh puluhan adalah awal media kita yang agak khas, variannya bermacam-macam. Empirik politik masuk, sampai pada tingkat empirik berdimensi seksual. Pada masa ini banyak media yang diberangus karena pemberitaan seksual yang agak berlebih­an, tetapi tidak ada media yang berorientasi politik yang dibe­rangus.

Dari pengalaman yang terjadi selama ini, apakah itu berarti koran-koran kita tak perlu lagi berpretensi sebagai pressure?

Tidak perlu. Tampilkanlah realitas empirik itu, karena mencari­nya saja menuntut kepekaan jurnalisme yang besar. Coba saja, bagaimana menemukan realitas empirik, yang tidak menyebabkan korannya dibunuh. Tetapi, realitas empirik itu sendiri berguna buat kritisisme khalayak. Tantangannya jadi luar biasa. Dia harus lebih pintar dari seorang wartawan di Amerika.

O, ya. Bisa menceritakan sedikit masa kecil anda?

Ayah saya pegawai negeri yang hidup pada masa tatkala orang malu bila hidup agak berlebih. Pada masa itu, ya masa sebelum Orba, pegawai negeri hidup pas-pasan, karena anggaran negara yang sangat terbatas. Namun, tidak sampai susah. Misalnya, tidak sampai pembayaran biaya sekolah tertunda, dan tidak pula terlalu senang.

Ada satu yang paling berkesan dari pengalaman masa kecil itu. Yakni, ketika guru mengaji meminta kami mengumpulkan uang untuk membeli sebuah buku bacaan, dan kemudian buku itu tak pernah sampai ke tangan kami. Di rumah, tentu saya dimarahi orang-tua saya, karena bagi mereka sangat tidak masuk akal se­orang guru agama korup. Kesalahan itu pasti pada saya yang tidak membayar uang tersebut kepada guru agama. Bahwa saya pernah dipukul guru agama, saya anggap lumrah saja pada masa itu. Tapi, kalau guru mengaji korup, nah itu jadi persoalan buat saya kala itu. Mungkin dari situ saya belajar tentang penyelewengan itu. Kalau guru umum, relatif saya menyukai mereka. Mungkin karena saya, pada momen tertentu, menyenangkan mereka. Misalnya ketika penilik sekolah — yang kala itu masih sangat berwibawa — datang ke sekolah kami, biasanya mengajukan pertanyaan kepada murid untuk tes tingkat pelajaran, dan saya selalu bisa menjawab dengari baik.

Saya tidak pernah punya teman yang sangat akrab, karena orang-tua saya selalu berpindah kota. Banyak kota yang saya kun­jungi, sehingga tak ada kota yang saya kangeni, termasuk kota yang menjadi tempat kelahiran saya. Jadi, tidak ada istilah pulang kampung. Saya orang Batak, tetapi dibesarkan di daerah yang war­ganya menggunakan bahasa Indonesia. Hanya kalau famili datang, barulah orang-tua saya berbahasa Batak. Jadi, bahasa pertama saya, bahasa Indonesia.

Anda pernah merasakan ketidakadilan orang-tua?

Bukan ketidakadilan, melainkan tidak dimanja. Yang khas dari anak ketiga adalah selalu berpeluang menjadi kreatif. Misalnya saja mainan. Anak pertama yang mendapatkannya, anak kedua mewarisi mainan yang sudah mulai rusak, dan anak ketiga mem­perbaiki mainan itu. Itu harus kita lihat sebagai keuntungan, kare­na jelas lebih terampil.

Bagaimana sekarang sikap anda terhadap anak sendiri?

Ya berbeda konsepnya. Kalau dulu, anak itu ‘kan harus patuh dan taat pada orang-tua. Sekarang tidak. Bukan yang patuh itu yang ideal menurut konsep kita sekarang. Jadi, anak itu kita siapkan untuk kritis, berpikir sendiri. Itulah perbedaannya. Anak sekarang lebih didengar pendapatnya.

Kedai minum di daerah Ngabean itu berangsur sepi. Satu-dua pasangan yang sejak sore bercanda ria di situ, satu per satu meninggalkan tempat. Udara pagi mulai menepis wajah kami. Mata Ashadi tampak kuyu. Kan­tuk agaknya sudah menyerangnya. Dia memang bukan lagi Ashadi tahun tujuh puluhan yang tahan bergadang sampai pagi. “Nanti di rumah toh aku tak bisa tidur juga,” katanya seraya tertawa menyudahi percakapan.

Emha Ainun Nadjib dan Deded Er Moerad

Matra, No. 48, Juli 1990

 

Novel MENOLAK AYAH – Ashadi Siregar

Menolak Ayah-cover

Menolak Ayah

© Ashadi Siregar

KPG 59 18 01526

Cetakan Pertama, Juli 2018

Penyunting Christina M. Udiani

Perancang Sampul & Penata Letak Leopold Adi Surya

 

SIREGAR, Ashadi

Menolak Ayah

Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2018

vi+ 434 hlm.; 13,5 x 20 cm

ISBN: 978-602-424-864-2