orang-orang malioboro

Saya pernah menulis prolog untuk buku berkaitan dengan orang-orang Malioboro yang berhimpun dalam wahana Persada Studi Klub yang melegenda pada akhir ’60-an sampai pertengahan ’70-an. Pemrakarsa penerbitan buku itu tidak pernah menghubungi saya setelah naskah saya kirim, buku itu tak pernah ada kabar beritanya apakah sudah terbit dan beredar. Luar biasa bukan? Ah, tidak! Itu biasa di Yogyakarta. Mumpung ketemu file-nya, biarlah saya pajang disini.

PROLOG
PEMAKNAAN TERHADAP DINAMIKA KREATIF YOGYAKARTA ERA ‘60 – ‘70AN
Oleh Ashadi Siregar
( 1 )
Permintaan dari pemerakarsa buku ini untuk menulis semacam pengantar untuk buku yang berkaitan dengan “orang-orang malioboro” (“orang-orang M”) saya sanggupi, dan ternyata belakangan menyimpan sejumlah ketidak-yakinan atas diri saya, apakah memang dapat memenuhi harapan. Soalnya, tujuan untuk penulisan buku ini harus mengingatkan bahwa pada dasarnya saya tidak punya kapasitas yang sesuai. Adapun kegiatan yang berintikan penulisan buku dimaksudkan untuk (saya kutip dari proposal):
1. Melakukan upaya dokumentasi otentik terhadap dinamika perjalanan sastra dan kebudayaan dari kiprah Persada Studi Klub di Yogyakarta;
2. Melakukan pemaknaan dan refleksi atas kehadiran Persada Studi Klub di tengah kehidupan sastra di Yogyakarta dan Indonesia;
3. Menggalang kerjasama semua pihak yang pernah terlibat dalam kehidupan sastra dan kebudayaan di Yogyakarta dekade 1968 – 1977 dalam memberikan kesaksian atas dinamika kegiatan seniman muda di Malioboro;
4. Memberikan sumbangan positif bagi upaya mengkaji ulang posisi Yogyakarta sebagai kota budaya di masa lalu dan masa kini untuk kepentingan masa depan masyarakat luas.
Saya bukan peneliti sastra, karenanya sama sekali tidak punya secuilpun data terdokumentasi mengenai kehidupan kesastraan di Yogyakarta maupun Indonesia. Kalaupun harus menulis, hanyalah mengandalkan ingatan pribadi, sesuatu yang makin jarang dilakukan dalam kegiatan profesional yang senantiasa mengandalkan referensi. Kendati pernah hidup dan bergaul dalam ruang dan waktu yang sama, tidak mudah untuk menulis suatu pengantar mengenai sekelompok orang. Sebab interaksi tidak dalam kapasitas profesional yang bersengaja untuk mengamati dan mencatat, hanya pergaulan sosial. Itupun dalam pertemanan yang tidak sama eratnya, ada yang galang-gulung bersama, ada pula yang hanya sekadar kenal nama. Rentang waktunya sekitar sembilan atau sepuluh tahun (pertengahan ‘60an ke pertengahan ‘70an), dan sudah berlalu lebih 30 tahun.
Ingatan tentang kelompok yang yang diidentifikasi dalam buku ini sebagai “orang-orang malioboro” ternyata tidak mudah. Pergaulan saya boleh dibilang lebih banyak hanya dengan dedengkotnya, yakni Umbu Landu Paranggi. Saat itu kami sama-sama mahasiswa Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Sekitar tahun 1968, semasa mahasiswa saya ikut mengelola Suratkabar Mingguan Umum Publica, untuk beberapa waktu berkantor di salah satu ruangan kios kecil yang terletak di Taman Garuda (seberang Hotel Garuda Malioboro). Pada malam hari Umbu yang mengasuh rubrik sastra di Suratkabar Pelopor Yogya yang berkantor di lantai dua pertokoan Malioboro, sering singgah, nyanggong di kios itu. Dan pula, karena menggunakan percetakan yang sama, kami sering bertemu saat menunggui koran masing-masing diset dan naik cetak pada malam hari.
Pergaulan yang intens malah tidak ada pertaliannya dengan dunia sastra, melainkan sebagai aktivis gerakan mahasiswa, ikut dalam berbagai aktivitas seperti gerakan anti korupsi, golput (golongan putih, gerakan untuk memboikot Pemilihan Umum pertama Orde Baru, 1971), penentangan proyek dana non-budgeter untuk Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan terakhir Malari 1974. Sebagai aktivis ini, tahun 1972 Umbu bahkan pernah ke Jakarta bersama kelompok aktivis anti korupsi lainnya dari Jakarta dan Bandung, masuk Istana Negara bertemu Suharto. Saya tidak ikut dalam rombongan itu, tetapi belakangan saya dengar anekdot tentang penampilan Umbu bercelana jin dengan blangkon yang dipakai terbalik (mondolannya di arah depan), mendapat komentar Soeharto yang marah.
Pergaulan dengan Umbu lebih intensif ketika bersama-sama mengelola Suratkabar Mingguan Sendi, suatu penerbitan pers oleh aktivis mahasiswa yaitu Daniel Dhakidae, Gaspar Ehok, M. Aini Chalid, Parakitri T. Simbolon, Peter Hagul dan Zulkifly Lubis. Disitu saya sebagai pemimpin redaksi/penanggung jawab, sedangkan Umbu sebagai pengasuh rubrik sastra sembari menjalankan fungsi yang sama di Suratkabar Pelopor Yogya. Sendi hanya berumur semusim jagung, kemudian Surat Ijin Terbitnya dicabut oleh Menteri Penerangan (saat itu Budiardjo) awal 1972, dan saya diadili dengan dakwaan menyebarkan kebencian terhadap kekuasaan negara dan penghinaan Presiden Suharto.
Begitulah, seingat saya, tidak pernah Umbu mempertautkan kegiatannya sebagai aktivis gerakan mahasiswa dengan kehidupan sastra. Kendati di antara redaktur di Mingguan Sendi terdapat Parakitri T. Simbolon yang karyanya dimuat di majalah sastra Horison, tulisan untuk rubrik sastra tidak pernah dibahas secara khusus. Karenanya saya tidak pernah mendengar pandangan-pandangan Umbu Landu Paranggi mengenai sastra umumnya dan puisi khususnya. Pilihan-pilihannya atas puisi yang dimuat di rubrik itu sepenuhnya dengan otoritas subyektifnya.
Lebih jauh, saya pun tidak pernah ikut terlibat dalam perbincangan di antara Umbu dan “orang-orang M” dalam kaitan dengan sastra. Malah ada semacam “penyakit” di antara “orang-orang M”, untuk bersikap yang dieksplisitkan secara gagah: “yang bukan penyair tidak berhak bicara soal sastra/puisi”. Boleh jadi di bawah permukaan ada pula sikap: “yang penyair tidak perlu bicara soal yang bukan sastra/puisi”. Karenanya posisi Umbu sebagai aktivis gerakan kritis terhadap rezim Orde Baru pada masa tahap pemupukan kekuasaan, tidak pernah terbawa ke dalam pergaulan “orang-orang M”.
Sementara saya sendiri sepanjang akhir 60-an dan pertengahan 70-an, menulis cerita pendek dan novel yang mengisi majalah dan koran. Tetapi tidak pernah berpretensi menulis karya sastra. Bahkan novel-novel yang saya tulis pada era 70-an itu boleh dibilang lebih bersifat by-accident, akibat mengalami kesulitan untuk menulis artikel dan karya jurnalistik lainnya di media pers umum, setelah diadili dan divonis bersalah dalam perkara penghujatan Suharto.
Setamat dari Fakultas Sosial dan Politik tahun 1970, saya direkrut mengajar di fakultas yang sama. Sampai pertengahan akhir tahun ‘70an, saya masih nyambi menjadi wartawan, dengan menjadi stringer (koresponden cabutan) majalah berita dari Jakarta, serta membuat laporan jurnalistik secara lepas untuk beberapa suratkabar dan majalah. Dari remaja saya sudah bercita-cita jadi jurnalis, tetapi dengan kasus mingguan Sendi, dan membayangkan kekuasaan Suharto yang bakal panjang, saya menyadari tidak mungkin berkukuh dengan cita-cita untuk memasuki dunia jurnalistik. Karenanya kemudian saya memutuskan untuk sepenuhnya mengambil jalur di bidang pengajaran. Terlebih setelah dengan beberapa teman pada awal tahun ‘80an mendirikan sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang penelitian media massa dan pelatihan jurnalis. Dengan begitu perhatian ditumpukan hanya untuk bidang pendidikan dengan fokus pada jurnalisme. Sejak itu saya berhenti menulis fiksi, khususnya novel, sebab saya lebih berkutatan dalam alam pikiran mengenai metode dalam menghadapi fakta-fakta empiris sebagai basis dalam pendidikan jurnalisme. Disini seluruh pembelajaran adalah pemilahan yang tajam antara fakta dan fiksi, guna mengenyahkan fiksi dalam proses penulisan. Sastra umumnya dan novel khususnya menjadi penikmatan subyektif bagi saya, bukan sebagai proses kreatif sebagai pengarang, apalagi obyek ontologis sebagaimana para pengkaji sastra.
Nah, itu sedikit cerita pribadi. Sekarang, kiranya dapatlah dimahfumi, akan diri saya yang harus “tahu diri” untuk tidak membicarakan makna dari jagat kesastraan “orang-orang M”. Dengan jauhnya jarak perhatian ditambah lagi dengan rentang waktu yang panjang, bagaimana saya harus membayangkan jagat sastra tahun ’60 – ‘70an? Cerita tentang jurnalisme mungkin banyak bunyinya. Tetapi untuk dikaitkan dengan “orang-orang M” rasanya tidak relevan, sebab kendati saya kenal beberapa orang di antaranya bekerja di lingkungan media pers, tetapi tidak bertarung dalam konteks jurnalisme. Mereka mengasuh rubrik sastra/budaya meneruskan jejak Umbu. Lantas apa yang dapat saya tuliskan? Tentunya menimbulkan tanda tanya, mengapa saya harus didapuk untuk menulis pengantar bagi buku ini.
Saat menulis pengantar ini saya sama sekali belum membaca tulisan-tulisan yang dibuat oleh “orang-orang M” yang mengisi buku. Padahal memorial personal yang bersifat subyektif dari para pelaku tentunya akan sangat membantu saya untuk meneroka kembali masa lalu itu. Begitu parah “sok jago”nya saya, sehingga punya keberanian untuk menulis hanya dengan ingatan dan kesan subyektif saya sendiri.
Bagaimana pandangan dan kenangan para pelaku maupun orang yang kenal dengan “orang-orang M”, silakan pembaca ikuti dalam buku ini. Kisah-kisah yang menarik dari kehidupan personal dapat menjadi teks. Manakala bersifat aktual dan memenuhi kaidah news-worthy akan muncul di media pers sebagai human interest story. Tentu harus sesuai dengan kriteria dalam kebijakan keredaksian (newsroom) koran bersangkutan. Koran nasional berbeda dengan koran lokal dalam memilih sosok yang perlu dikisahkan. Berikutnya, kisah dari masa lalu manakala dapat dijelaskan dalam metode historiografi, bisa masuk ke buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Tetapi semua pelajaran sejarah pada dasarnya ditentukan oleh kekuasaan negara yang mengendalikan dunia pendidikan. Jadi apakah kisah “orang-orang M” itu boleh menjadi bagian dalam sejarah sastra, berpulang kepada peneliti sejarah dan keputusan otoritas negara yang mengendalikan dunia pendidikan. Sedangkan kisah aktual atau masa lalu, kalau hanya untuk menjadi bahan percakapan, berhenti sebagai anekdot yang mengasikkan. Mungkin sebatas dalam pergaulan, atau dongeng untuk anak-cucu yang bocah.
( 2 )
Terus-terang, kenangan saya tentang “orang-orang M” tidak dapat saya tempatkan dalam konteks kesejarahan jagat sastra bukanlah karena mereka tidak punya peranan, tetapi tentunya akibat keawaman saya dalam bidang ini. Dua ranah yaitu historiografi dan kesastraan sangat jauh dari pembelajaran saya selama ini. Karenanya, dimana tempat dari tulisan-tulisan yang ada di buku ini, pembacalah yang menentukannya.
Lantas bagaimana pandangan saya tentang “orang-orang malioboro” dari tahun ’60 – ‘70an? Pertama tentunya harus menjawab pertanyaan, apa dan siapakah mereka? Maliboro sejak lama sudah menjadi ajang niaga, kiri-kanannya disesaki oleh pertokoan, termasuk pasar gede Beringharjo, gang-gang yang bermuara ke jalan ini berasal dari permukiman yang dihuni kebanyakan pedagang Tionghoa, ditambah dengan “sarkem” (dari sebutan jalan Pasar Kembang sebagai penanda bagi perkampungan Sosrowijayan dan sekitarnya yang diisi oleh pekerja seks komersial). Di Malioboro juga berkantor puncak kekuasaan Yogyakarta, yaitu Kepatihan (kantor kepala daerah), parlemen dan kantor polisi wilayah. Disini juga ada perpustakaan wilayah, isinya buku-buku tua, suatu sarana yang berharga di tengah kelangkaan perpustakaan dunia pendidikan saat itu.
Di Maliboro siang-malam berlangsung kegiatan ekonomi formal dan informal, yaitu orang-orang yang menjadikan selajur jalan ini sebagai sumber kehidupan. Datang ke Maliboro, ya untuk belanja. Karenanya tempat ini menjadi persinggahan bagi pembeli di toko dan penjaja makanan, wisatawan dari luar kota dan penjenguk etalase (tidak berbelanja, ramai terutama sabtu malam), tiga macam pesinggah yang relevan bagi kehidupan Malioboro. Jadi membicarakan Malioboro otomatis mengacu pada perbelanjaan dan pengunjungnya.
Di luar itu, Maliboro pada titik tertentu, menjadi penanda tempat bertemu. Ini hanya untuk efisiensi akibat keterbatasan sarana komunikasi, tidak ada telepon umum apalagi telepon rumah. Kalau mau kontak teman, berkunjunglah (syukur kalau ada sepeda) ke tempat kosnya, dan manakala tidak bertemu harus meninggalkan nota secarik kertas: janjian ketemu malam di “depan bioskop Indra”, “warung pak anu”, “teteg sepur” (palang kereta api), dan sebagainya, semua di sepanjang Malioboro. Betapa susah-payahnya untuk dapat bertemu. Maliboro bagaikan sinar terang bagi laron di malam gelap. Lampu-lampu pertokoan membuatnya sangat kontras dengan kawasan-kawasan permukiman yang hanya berfasilitas listrik bertegangan 110 volt dengan lampu jalanan jarang menyala. Saat pertokoan buka, pengunjung bermandi cahaya. Begitu masuk jam 9 malam, toko-toko menutup pintu dan etalase, kaki lima menjadi labirin yang suram. Hanya satu dua penjual makanan buka lesehan. Dan labirin inilah sebenarnya sebagai habitat mereka yang menyebut diri “orang-orang malioboro”.
Apa keterbatasan komunikasi dan gerak, serta suasana yang suram itukah yang menjadikan kebersamaan sangat berarti sehingga selalu dikenang? Setiap orang muda yang menjadi bagian kelompok dan menggelandang di Malioboro tentunya dapat mengungkapkan pengalaman masing-masing dalam berinteraksi. Pengalaman ini mungkin hanya menjadi anekdot, mungkin sebagai refleksi yang menjadi pintu untuk menangkap makna di dalamnya.. Untuk itu pelaku sendirilah pada tahap pertama yang dapat menemukan makna itu dalam kehidupannya. Apa yang terjadi dalam rentang waktu sembilan tahun itu hanyalah sebagai awal dari penghadiran diri dalam rentang waktu berikutnya. Dengan kata lain, pentingnya pengalaman-pengalaman sembilan tahun (ini dua kali lebih lama ketimbang belajar jadi sarjana di universitas) hanya dapat dilihat melalui kedirian masing-masing orang dalam perjalanannya dalam konteks kebudayaan. Apa yang terjadi kemudian itulah yang menandai bahwa selama “kumpul-kumpul” sebagai orang Malioboro itu memang bermakna.
( 3 )
Dinamika “orang-orang malioboro” dipandang memiliki makna, dan sekali lagi, karena saya bukan peneliti sastra, saya ingin melihat dalam dimensi lain, yaitu sejauh mana kumpulan itu berarti dalam masyarakatnya. Makna dilihat dari kedirian seseorang yang tidak berhenti sebagai individu yang personal, tetapi menjadi institusional. Perbedaan antara individu yang personal dan institusional ini mengingatkan saya pada salah seorang dari kelompok ini, yaitu Emha Ainun Nadjib. Saya pernah menulis komentar pendek yang dimuat dalam buku Ian L. Betts Jalan Sunyi Emha (Penerbit Kompas Jakarta, 2006). Baiklah saya kutip disini:
Ainun berhenti kuliah boleh dipandang sebagai suatu anugerah keberuntungan, sebab setelah itu dia mengalamiliberalisasi oleh alam. Dengan liberalisasi itu dia mengalami metamorfosa, dari suatu individu yang kemudian hadir menjadi suatu institusi yang signifikan di tengah kehidupan, yang mengatasi sekat-sekat yang membelenggu manusia. Berapa gelintirkah manusia yang dapat hadir sebagai suatu institusi, yaitu sumber dari nilai bagi manusia yang mengenal atau pernah bersentuhan dengannya? Kebanyakan manusia tidak berani hadir dalam individualitas manusia bebas dengan kualitas semacam ini, sebab merasa lebih aman berada dalam tempurung yang bernama komunalisme dalam lingkup agama, ideologi, textbook, atau ikatan-ikatan yang membelenggu lainnya.
Liberalisasi oleh alam adalah anugerah bagi manusia dengan bakat yang sangat otentik. Dengan anugerah itu Ainun “diselamatkan” dari “dosa-dosa” dunia sekolah. Dunia sekolah ibarat taman bermain yang indah (dan mahal) yang dibatasi oleh tembok bernama kurikulum, ideologi pedagogi, kekuasaan pengajar,dan kekuasaan lainnya yang merasuk ke dalam sistem pendidikan, melahirkan manusia bebek.
Sebagai suatu institusi, Ainun jauh lebih berarti dibanding ribuan bahkan laksaan lulusan dunia sekolahan. Dengan berandai-andai, kalau Ainun tidak berhenti sekolah, apakah yang terjadi? Bersama kecerdasannya, tidak pelak dia akan lulus sarjana. Lalu dengan kemahirannya bikin proposal, dia tentunya akan memperoleh “grant” bagi dirinya untuk biaya sekolah “master”, untuk kemudian berburu lagi “grant” untuk sekolah “doktor”. Maka masyarakat akan menonton kiprah seorang bernama Doktor Ainun, boleh jadi kalau dia berada di universitas akan ada tambahan gelar prof. Tetapi kiprah itu hanyalah tontonan bagi orang banyak, sebab segala yang dikerjakan tidak lain untuk dirinya sendiri.
Beruntunglah Ainun hanya setengah semester berada di lingkungan universitas, untuk kemudian sepanjang waktu berikutnya dia menjadi manusia pembelajar dari alam. Alam menyediakan buku-buku dari rentangan peradaban intelektual umat manusia,Timur atau Barat, Islam atau Non-Islam. Alam juga menyediakan manusia yang sarat dengan dengan problematika kehidupannya. Semua menjadi sumber baginya, tanpa harus dipilihkan (ini disebut kurikulum) oleh suatu sistem kekuasaan persekolahan. Dia bebas memilih sendiri alam yang mau dipelajarinya, dan dengan bakat individualitasnya dia dapat membebaskan dirinya.
Dunia sekolah berhasil mengeluarkan puluhan ribu lulusannya menjadi bagian dari instansi negara atau korporasi raksasa, tentulah tidak dapat dinafikan. Tetapi SATU Ainun yang hadir di tengah masyarakatnya dalam rentangan kontemporer bahkan mungkin kelak, adalah merupakan anugerah alam bagi manusia Indonesia.
Sebagai suatu institusi, Ainun dapat dibaca sebagai suatu wacana yang sering disalah-artikan. Ini risiko dari suatu wacana yang terbuka. Sering dia diklaim sebagai bagian dari kelompok komunal yang satu, tetapi pada sisi lain ditolak. Sebagai bagian atau pun ditolak, pada dasarnya tidak relevan dengan kehadiran Ainun, sebab wacana institusionalnya tidak ditentukan oleh komunalisme yang manapun. Karenanya membaca wacana Ainun adalah sebagaimana menghadapi institusi budaya yang terbebas dari batasan kepentingan pragmatis, sesuatu yang sudah langka di tengah-tengah pertarungan dan perebutan hegemoni untuk kepentingan kelompok komunal.
Dari komentar tentang Emha Ainun Nadjib yang pernah menjadi mahasiswa fakultas ekonomi tidak penuh satu semester, saya ingin mengajak untuk membayangkan, apakah masyarakat lebih mendapat kemanfaatan dari Ainun andaikata sarjana ekonomi, atau sebagaimana Ainun yang kita kenal sekarang? Karenanya marilah melihat Yogyakarta sebagai periuk yang menggodok sejumlah orang muda. Periuk ini berupa ruang untuk proses pembelajaran. Kelompok ini, rata-rata kelahiran tahun ‘50an, sekarang, semua sudah berusia di atas setengah abad, tersebar di berbagai kota. Seiring usia biologisnya, ada yang matang, tetapi mungkin banyak pula yang tetap mentah. Dan yang penting adalah proses yang berlangsung pada tahun ’60 – 70an itu, bagaimana di Yogyakarta dapat berjalan pembelajaran dalam dua sisi, pembelajaran di ruang sekolah formal dan “sekolah” alam. Orang-orang muda yang bergelandangan di Malioboro didapati berada dalam dua ruang ini. Ada yang menempuh jenjang demi jenjang sekolah formal, untuk kemudian mengembangkan karir dalam kerja yang mempersaratkan gelar-gelar akademik. Tetapi banyak pula yang keluar dari sekolah formal untuk kemudian sepenuhnya berlayar tanpa navigasi kurikulum negara, memperkembangkan diri dalam proses pembelajaran yang khas.
Saya tidak berniat memperbandingkan hasil kedua macam proses pembelajaran itu. Yang dapat dicatat adalah pergaulan yang berlangsung di Maliboro tidak sampai menumbuhkan penafian yang ekstrim sehingga menolak sekolah formal. Dengan kata lain, banyak di antara anak-anak muda sebenarnya hanya sesekali singgah di Malioboro, sementara kegiatan utamanya tetaplah di ruang kelas sekolah formal.
Saya ingin menitik-beratkan perhatian terhadap anak-anak muda yang berkutatan di “sekolah” alam, suatu “sekolah” yang tidak dibatasi dengan dinding kelas. Inilah yang menjadi ciri Yogyakarta sampai ke era ‘70an. Boleh dikata setiap orang muda datang ke Yogya, tujuan pertama adalah untuk bersekolah formal. Lulusan SMP di daerah yang berharap agar jalan seleksi masuk ke universitas lebih lancar, mencari SMA yang dipandang dapat memberikan tataran pembelajaran yang sesuai. Begitu pula tamatan SMA dari daerah yang merasa mampu bersaing, mengejar universitas yang ada di Yogyakarta. Tetapi banyak di antaranya kemudian menemukan dirinya ternyata tidak berkesesuaian di ruang-ruang kelas, sehingga tidak meneruskan pendidikan formal. Umbu Landu Paranggi (lahir 1943) datang dari Sumba, berhasil masuk ke Fakultas Sosial dan Politik UGM, tidak sempat lulus sarjana sebab pertengahan tahun ‘60an dia sudah tidak lagi betah kuliah. Begitu pula dua “anak” asuhnya yang istimewa, Emha Ainun Nadjib dan Linus Suryadi, tidak meneruskan sekolah. Tetapi perlu diingat, mereka tidak dikeluarkan oleh sekolahnya. Pada era ’60 dan ‘70an tidak dikenal “drop-out”, suatu istilah yang dilekatkan bagi siswa yang gagal memenuhi target kurikulum sekolah.
Emha, Linus dan lainnya boleh dibilang anak-anak muda yang mencari kancah lain dalam proses pembelajaran. Karenanya tidak sulit untuk menemukan anak-anak muda yang lebih suka berada di berbagai sanggar yang berkegiatan dalam bidang sastra, tari, pedalangan, teater, seni rupa dan lainnya. Umbu berteguh hati memilih jalan hidup yang keras, untuk menjadi penunggu sanggar “Persada Studi Klub” dari tahun ke tahun di Yogyakarta, kemudian beralih ke Bali. Emha dan Linus, anak didik sanggar Umbu di Malioboro, melahirkan banyak buku karya sastra puisi dan esai kebudayaan yang layak dicatat. Beberapa lainnya tetap berkecimpung dalam karya-karya sastra. Tetapi ada pula yang lenyap, karena lebih memilih dalam pekerjaan formal yang diperoleh dengan basis ijasah universitas masing-masing. Apakah dalam dunia profesinya tersirat jejak dari proses yang berasal dari sanggar Umbu, tiadalah minat saya untuk menelisiknya. Siapa tahu bagi kebanyakan “orang-orang M” itu pengalaman di sanggar Malioboro sebagai selingan dari suntuk belajar dan ujian, karenanya hanya menjadi nostalgia, sementara dalam profesinya mereka tidak dapat dan tidak perlu dibedakan dengan kaum profesional yang mengisi rezim Orde Baru.
( 4 )
Istilah sanggar semula dimaksudkan sebagai tempat pemujaan untuk tujuan spiritual di lingkungan rumah atau padepokan. Belakangan sebagai tempat untuk menampung kegiatan dalam olah seni. Sanggar hanya dapat hadir dengan empu yang memang telah teruji dalam masyarakatnya. Jadi tidak mungkin mendirikan sanggar dengan sistem kurikulum betapa pun acuan standarnya diakui negara ataupun guru-gurunya bergelar akademik yang dakik-dakik. Keempuan tidak dapat berlindung di balik lembar ijasah, bahkan dengan gelar yang diburu ke mancanegara sekalipun. Pengakuan dari masyarakat, bersumber dari karya-karya dan dedikasi terhadap jagat karya. Keempuan bukan sekadar profesi, apalagi job. Keterpanggilan untuk mendarmakan totalitas diri dalam jagatnya, yang berlanjut dalam pewarisan dan upaya membangun jagat itu dengan generasi berikutnya, itulah yang mencirikan keempuan.
Salah satu ciri sanggar yang utama adalah cara magang dengan bimbingan seorang empu seni. Yang penting disini adalah proses, yang berakhir dengan hasil karya. Jadi ujian akhir yang paling utama adalah hasil karya yang dianggap “mumpuni”, yaitu mampu hadir sehingga diperhitungkan di tengah lingkungannya. Proses disini ditandai dengan interaksi yang intensif antara pembimbing dan anggota sanggar, dan di antara sesama anggota sanggar. Interaksi sesama saudara seperguruan ini sama pentingnya dengan bimbingan sang empu. Ibarat dalam padepokan silat, tidak mungkin belajar dengan teori, atau hanya berlatih dengan guru, apalagi berlatih dengan bayangan. Karenanya “bertarung” dengan saudara seperguruan merupakan proses belajar yang tidak dapat diabaikan. Metode belajar ala “sistem kredit semester” yang bersifat individual, sangat berbeda dengan pola sanggar untuk kesenian. Di sanggar, empu bukan otoritas yang menjadi sumber utama yang mentransfer pengetahuan. Sebab seorang empu bukan sebagai “pengecer” ilmu yang menjajakan dari “pasar” ke “pasar”, juga tidak mencetak tiruan dirinya. Empu berfungsi sebagai sumber semangat yang mengikat agar warga sanggar memeroses diri guna menemukan perkembangannya. Totalitas pergaulan sanggar itulah sebagai proses “menjadi” (to be) suatu istilah yang sangat penting dalam dunia kesenian.
Membayangkan “menjadi” harus bertumpu kepada proses personal yang berlangsung atas diri seseorang. Alat ukurnya tidak ditentukan oleh suatu kekuasaan dan struktur tertentu, melainkan dari kedirian pelaku dengan karya-karyanya di tengah lingkungannya. Pada tahap pertama dalam lingkaran kecil dari rekan sesanggar yang mengakui keberadaan dan karakter karya yang dihasilkan. Pengakuan ini boleh saja dieksplisitkan, tetapi yang paling utama adalah kesadaran dalam kejujuran dunia dalam (inner world) untuk mengakui keberadaan suatu karya seseorang. Dari interaksi semacam ini setiap orang dalam sanggar akan menemukan dirinya “menjadi”.
Seseorang “menjadi” manakala keberadaan diri dan karyanya hadir dalam lingkungan yang lebih luas, masyarakat yang menerimanya. Kediriannya tidak ditentukan oleh jenjang dalam struktur yang ditempati. Dengan kata lain, keberartiannya lahir dari dirinya sendiri, untuk kemudian lingkungan mengakuinya. Pengakuan ini bersifat kultural, tidak memerlukan legitimasi negara. Dari sini seseorang dapat menjadi “institusi” di tengah lingkungannya.
Seorang penyair, novelis, pelukis, penari, pemusik, dalang pewayangan, atau apa saja pelaku kreatif, tidak perlu mempertanyakan posisinya dalam struktur formal, baik dengan gelar dalam institusi pendidikan maupun jenjang dalam institusi negara atau ekonomi. Kedirian dan karyanyalah yang menghadirkan dirinya sebagai institusi. Manakala institusionalisasi negara masuk ke wilayah kreatif, bersiaplah untuk menerima kematian dalam karya seni.
( 5 )
Era sanggar Umbu berakhir pada 1977, menandai lenyapnya ruang bagi proses pembelajaran yang bersifat liberal, bersamaan dengan proses institusionalisasi berbagai aspek kehidupan. Ini berasal dari kekuasaan negara yang berjalan semakin intensif bersamaan dengan konsolidasi Orde Baru. Pendidikan kesenian semakin bersifat formal dengan basis sistem kurikulum yang diakreditasi oleh negara. Tiada tempat pengembangan diri secara bebas, sebab semua harus melalui standar oleh negara.
Untuk “menjadi” di sanggar, tidak ada format yang distandarisasi sebagaimana dalam pendidikan formal yang bertumpu pada kurikulum. Kurikulum adalah sistem untuk memeroses peserta didik agar sesuai dengan format yang standarnya ditentukan. Dengan kata lain, sistem berkaitan dengan standar proses dan output. Dalam konteks Indonesia, standar ini berasal dari otoritas negara. Output dalam pendidikan formal adalah manusia yang diproses agar sesuai dengan format dalam standar sistemik. Parameter atas format manusia adakalanya dilihat melalui ouput (hasil karya) personal, tetapi yang terbanyak diperoleh melalu ujian atau tes. Tidak heran bahwa di Indonesia banyak ditemukan lulusan universitas bergelar Doktor, sementara masyarakat tidak pernah mengetahui bagaimana karya disertasinya, sebab disertasi hanya berfungsi untuk ujian, dan kemudian keberadaannya boleh jadi tersembunyi dalam berbagai institusi formal. Makanya pertambahan jumlah lulusan sekolah formal di Indonesia dibanding dengan era ’60 – ‘70an entah berapa kelipatannya, tetapi tidak tercermin dengan dinamika produktivitas dan keunggulan dalam karya-karya kreatif.
Sekolah formal dengan sendirinya bertujuan untuk menformat peserta didik agar sesuai dengan struktur sosial yang ada, baik dalam konteks politik maupun ekonomi. Ini disebut “link and match”. Kesesuaian dengan standar yang ada dalam sistem politik dan ekonomi itu bersifat imperatif negara, ditandai dengan pengakuan (akreditasi) oleh pemerintah. Keberadaan setiap orang hanya dapat diidentifikasi dari kedudukannya dalam institusi formal (yang diakui oleh negara). Seorang pedagang kaki lima, misalnya, tidak dianggap hadir di muka bumi selama aktivitasnya tidak berada dalam lingkup institusi formal. Karir dibangun melalui jenjang status pendidikan yang diparalelkan dengan jenjang demi jenjang dalam struktur formal. Struktur hanya bisa dimasuki dengan status pendidikan formal, bukan dengan pengakuan atas hasil karyanya. Prestise diperoleh melalui posisi dalam jenjang struktural persekolahan maupun sosial. Akibatnya orang yang “gelap mata”, saking kebeletnya untuk mendapat pengakuan dalam struktur ini, membeli ijasah pun dilakoni.
( 6 )
Proses institusionalisasi negara dalam dunia pendidikan, tidak terlepas dari konsolidasi kekuasaan rezim Orde Baru yang ditandai dengan mengambil kekuasaan yang semula terdistribusi pada berbagai institusi, untuk memusat pada satu tangan, dalam hal ini militer dan Presiden Suharto. Militer dan Suharto sama sekali tidak menoleransi prinsip demokrasi yaitu pembagian kekuasaan (power sharing). Ini dapat dilihat antara lain dari pengendalian parlemen, pengurangan jumlah partai politik yang boleh ikut Pemilihan Umum, serta pengaturan segenap aspek kehidupan masyarakat melalui berbagai asosiasi profesi/kerja dan niaga dalam sistem korporatisme negara.
Penggunaan kekuasaan yang eksesif seakan mendapat pembenaran dengan adanya Peristiwa 15 Januari 1974, huru-hara massal yang oleh pemerintah Orde Baru disebut “Malapetaka Limabelas Januari” (Malari, berasosiasi pada malaria, penyakit yang menyebabkan demam tinggi). Sebagaimana diketahui, fenomena “15 Januari” ini berlangsung dalam dua dimensi, pertama adalah gerakan intelektual kalangan mahasiswa yang mengeritik strategi ekonomi Orde Baru yang bertumpu pada modal asing dan merebaknya korupsi, dan kedua adalah huru-hara oleh massa yang meluluh-lantakkan sebagian kota Jakarta.
Peristiwa huru-hara itu masih menjadi catatan sejarah yang tidak terungkap secara terang, dan pertaliannya dengan gerakan mahasiswa di kampus tidak pula pernah ditunjukkan. Pada saat Dewan Mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Jakarta melakukan apel bersama di Universitas Trisakti 15 Januari 1974, huru-hara telah terjadi secara sporadis, tersebar di antero lokasi, sebelum massa mahasiswa keluar dari tempat berkumpulnya. Lebih menimbulkan tanda tanya lagi, sebab tidak ada pelaku maupun penggerak huru-hara itu yang ditangkap dan diadili. Yang diadili hanya sejumlah aktivis kampus yang vokal dalam berbagai diskusi dan seminar. Padahal, kalau intel tentara dan polisi bekerja, tidak sulit mengidentifikasi kordinator dan penggerak massa perusak. Dan yang jelas, adanya huru-hara itu menyebabkan dinamika intelektual kritis khususnya gerakan anti korupsi dan oposisi strategi ekonomi pertumbuhan, kemudian dapat dihentikan. Berbarengan itu militer dan Suharto memiliki justifikasi untuk mengggunakan tangan besi dalam menjalankan kekuasaan.
Pada ranah intelektual, akibat peristiwa “15 Januari” pemerintah Orde Baru membredel sebelas suratkabar dan majalah: Abadi, Ekspres, Harian Kami, Indonesia Pos, Indonesia Raya, Nusantara, Pedoman, Pemuda Indonesia, Suluh Berita, The Jakarta Times, Wenang. Akibat represi ini pers Indonesia harus menyesuaikan diri dengan proses konsolidasi kekuasaaan rezim Orde Baru yang berlangsung. Adapun kondisi yang terjadi pada ranah komunikasi publik ini hanyalah ikutan atas pengendalian atas segenap institusi sosial.
Pengendalian dimulai dengan konsolidasi internal institusi negara, dengan peranan yang besar dari KOPKAMTIB (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Ini adalah organ utama dari rezim Suharto, pada awalnya berfungsi untuk membersihkan institusi negara dari anasir PKI dan Sukarnois. Setelah membereskan kekuasaan internal, melalui pemilu 1971 dengan “politik buldoser” yang dijalankan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, dominasi dapat dilakukan terhadap parlemen. Berikutnya pengendalian semakin meluas dan intensif atas seluruh aspek kehidupan, sebagaimana ciri sistem totalitarian fasis-militer. Pengendalian dilakukan selain dengan format yang ditentukan atas setiap institusi, terutama dengan “akreditasi” terhadap person yang akan memiliki peran dalam institusi. “Akreditasi” pada tahap pertama bukan atas kapabilitas, tetapi dalam konteks keamanan dan politik stabilitas Orde Baru, yaitu dengan persyaratan adanya surat lolos skrening KOPKAMTIB dari pusat sampai daerah. Skrining ini sangat massif, menjangkau seluruh aspek kehidupan masyarakat melalui pengendalian atas institusi-institusi masyarakat, termasuk dalam kebudayaan.
Bagi yang mau melihat dan sensitif terhadap kekuasaan, akan merasakan perubahan ibarat “dissolve-in” penerapan politik represi ala fasis-militer Orde Baru. Kerasnya represi dapat dilihat dari “paalbatu” (milestone) berupa pemilu, dan penetapan Suharto sebagai Presiden. Kepastian akan kekuasaaan secara absolut bagi Suharto adalah setiap kali berhasil merekayasa proses calon tunggal sebagai Presiden sehingga tidak perlu ada pemilihan di MPR. Grafik kekuasaan yang eksesif itu menaik pada “paal batu” demi “paalbatu” selama 32 tahun, sampai terrjungkal dari puncak yang tinggi.
( 7 )
Rezim totalitarian Orde Baru pada akhirnya berakhir tahun 1998 dalam suatu adegan dramatis, saat Presiden Suharto lengser keprabon dan Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) Jenderal Wiranto bertegak gagah dan berwajah tegang menyatakan komitmen untuk tetap melindungi Suharto. Entah apa dan bagaimana yang harus dilakukan Jenderal Wiranto untuk memenuhi komitmennya dalam era berikutnya yang berbanding terbalik dengan kondisi Orde Baru. Dari pengendalian bersifat totalitarian, untuk kemudian sama sekali lepas dari kendali penguasa negara. Siapa saja bisa menghujat Suharto, bahkan pejabat yang sedang berkuasa. Apakah dalam kondisi semacam ini ada yang merindukan stabilitas ala pengendalian fasis-militer, tentunya tidak perlu dipersoalkan disini.
Sanggar PSK/Umbu berakhir tahun 1977 manakala sang empu pindah bermukim di Bali. Kalaupun ada yang meneruskan, tentulah berada di ruang yang salah. Yogyakarta sebagai kota pelajar, sudah bukan lagi sebagai “periuk” pembelajaran. Tetapi dicirikan dengan sekolah-sekolah formal yang umumnya memperoleh akreditasi dari negara. Lewat akreditasi itu persekolahan bisa punya harga sebagai komoditas. Orang membayangkan belajar hanyalah dengan memasuki sekolah-sekolah formal yang bertaburan. Agaknya sekarang inilah yang membanggakan orang Jogja. Dari sini tidak ada yang membedakan Yogyakarta dengan kota-kota lainnya.
Namun masa sebelumnya patut disyukuri, periode yang dijalani “orang-orang Maliboro” masih sebagai bulan-madu Orde Baru dengan janji-janji demokratisasi. Belum begitu terasa represi dalam kehidupan masyarakat. Berbagai aktivitas masih dapat dilakukan tanpa harus melalui skrining dan perijinan institusi militer. Apalagi aktivitas “orang-orang M” boleh dibilang berada dalam lingkup komunikasi sosial yang tidak menjadi target pengendalian negara. Berbeda halnya dengan kegiatan komunikasi publik, seperti pertunjukan untuk penonton di gedung khusus, biasanya memerlukan perijinan. Itupun dapat diakali dengan mengadakan kegiatan di lingkungan kampus, sehingga tidak memerlukan otorisasi dari aparat kepolisian dan militer. Sampai kemudian dunia kampus pun tidak lagi dapat menjadi “suaka” bagi person dan karya kreatif yang tidak ditoleransi penguasa Orde Baru.
“Orang-orang malioboro” boleh jadi tidak pernah bersinggungan secara langsung dengan tangan kekuasaan, karena masih dapat menikmati berkah dari bulan madu Orde Baru. Sampai tahun 1974, berbagai gerakan intelektual masih ditoleransi sebab masih ada Jenderal Sumitro yang dikenal sebagai militer-intelektual menjabat Wakil Pangab merangkap Pelaksana Khusus (Laksus) Kopkamtib. Pada pasca-Malari, Jenderal Sumitro tersingkir dalam percaturan rivalitas kekuasaan, kemudian mengundurkan diri dan pensiun dini pada usia 49 tahun. Sejak itu militer-intelektual yang berada di dalam tubuh rezim Orde Baru satu per satu disingkirkan, bahkan Jenderal HR Dharsono yang dikenal sebagai pemikir dan konseptor Orde Baru, kemudian diadili dan dijebloskan ke penjara. Dan Orde Baru akhirnya sepenuhnya digerakkan oleh rezim militer-fasis.
Apakah pembelajaran dalam rentang bersama sanggar Umbu ada bekasnya bagi eks “orang-orang M” dalam mengisi hari-harinya sepanjang Orde Baru dan selepasnya, mungkin tidak relevan untuk dijawab. Dua tipe “orang-orang M” telah menjalani kehidupannya masing-masing. Bagi yang berada di luar struktur pendidikan formal masih beruntung sebab berbagai lapangan masih terbuka. Mareka masih dapat memasuki dunia pers misalnya, kendati tidak dilambari dengan ijasah sarjana, hal yang mustahil untuk masa sekarang. Pada mulanya untuk memasuki media pers yang diperlukan adalah gairah disertai daya kritis dalam menghadapi realitas dan kemampuan menulis yang dicerminkan dari karyanya. Tetapi belakangan prinsip manajemen mempersyaratkan pendidikan formal, dimulai dari sarjana muda, dan kemudian sarjana, dan ketika sarjana (S1) sudah melimpah sejumlah media pers mengutamakan lulusan S2. Kalau anak muda masa sekarang mau menuruti tapak kaki PSK ’60 – ’70, tidak pelak akan terpental dari kehidupan sosial.
Satu dasawarsa bagi anak-anak muda yang memperkembangkan diri dengan “sekolah” tanpa dinding pembatas, dapat dilihat hasilnya melalui penghadiran diri mereka di tengah masyarakat, penghadiran yang tidak memerlukan status dalam struktur formal bentukan negara. Agaknya dapat dijajarkan dengan penghadiran diri “orang-orang malioboro” yang “berdamai” dengan struktur formal dunia pendidikan maupun negara. Dengan kebahagiaan saat berada dalam “cangkang” struktur formal yang dihuni, sejauh mana kehadiran dan karyanya di tengah masyarakat layak dipujikan? Sebaliknya, rekannya yang mengeluarkan dirinya dari dunia sekolah formal, sejauh mana pula gairah dan semangat kreatif dengan hidup tanpa “cangkang” di tengah masyarakat? Tidak perlu dicari siapa yang unggul sebab ini bukan kontes, yang penting dari keduanya, dapatkah memberikan sinergi yang berarti dari kehadiran dan karyanya?
Sanggar Persada Studi Klub/Umbu Landu Paranggi telah menyumbangkan sejumlah orang yang tetap bersetia dalam kehadiran diri dan karya di jagat sastra. Tetapi sanggar telah lenyap, tidak mungkin dan tidak perlu memutar jarum waktu ke belakang. Dengan kata lain, proses untuk mengembangkan diri tidak punya pilihan lain. Entah dimana peluang untuk mengembangkan diri dalam sastra dan kesenian umumnya, terutama bagi anak-anak muda yang merasa salah tempat di ruang-ruang kelas pendidikan formal.
***
 
 
 
 

Komunikasi Bermagnet untuk Pemimpin Nasional

ASHADI SIREGAR
6 April 2016
Pemilu 1999 menandai kembalinya proses politik demokratis setelah pemilu pertama tahun 1955 guna pembentukan lembaga legislatif. Euforia demokrasi luar biasa, sampai-sampai warga secara gotong royong membiayai kegiatan parpol di akar rumput.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang sempalan Partai Demokrasi Indonesia meraih suara 35.689.073 (33,74 persen), mendapat 153 kursi DPR. Golkar di pemilu terakhir Orba memperoleh suara 84 juta lebih yang tanpa dukungan rekayasa rezim negara pada pemilu demokratis, melorot hanya dipilih 23.741.749 orang.

Untuk pemilu itu, hanya Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan yang masih memiliki infrastruktur organisasi sisa Orba sampai ke tingkat massa. Bagi PDI-P sebagai partai baru, meski di sejumlah daerah dapat memanfaatkan eks-prasarana PDI, dengan persiapan yang sangat singkat sukses pada Pemilu 1999 merupakan keajaiban.

Sejak itu, tak lagi pernah ada parpol yang mendapatkan suara setinggi yang dicapai PDI-P. Komunikasi politik macam apakah yang dilancarkan sehingga dapat menggugah pemilih yang telah dibentuk puluhan tahun dengan pemilu ala Orba?

Magnet dalam komunikasi

Tak bisa diingkari keunggulan PDI-P pada Pemilu Legislatif 1999 adalah berkat ketuanya, Megawati Soekarnoputri. Nyaris tanpa komunikasi politik, keberadaan Megawati telah jadi kutub positif magnet yang memancarkan daya untuk menyedot kutub negatif massa yang tersekap puluhan tahun. Tanpa zig-zag menghadapi kekuasaan Orba, daya sebagai kutub positif ini terpupuk meninggi, sampai pada tingkat kondisi diam sudah menjadi sekukuh gunung. Ini bedanya dengan sejumlah tokoh yang amat berjasa sebagai pejuang reformasi yang kebanyakan dikesankan molak-malik di masa Orba sehingga meragukan sebagai tumpuan harapan massa.

Daya magnet figur politik berada pada tataran psikologis massa. Karenanya, hubungan massa dan partai tidak dalam kerangka komunikasi politik rasional. Boleh dibilang tak perlu mengenalkan visi-misi partai. Pemilu 1999 diisi 48 partai politik, sebagian besar baru dibentuk. Beberapa partai menggunakan nama partai yang pernah hidup di masa Pemilu 1955, mungkin memiliki nilai nostalgia bagi para lansia. Sementara itu, massa pada dasarnya tak mengenali partai-partai itu, begitu juga tak perlu memilih personal calon legislator secara spesifik.

Personifikasi PDI-P pada figur personal ketuanya berimplikasi mengalirnya suara kepada partai tanpa mempersoalkan siapa dan bagaimana masa lalu caleg. Meski hubungan bersifat psikologis, tersirat rasionalitas di baliknya: motivasi mendapatkan pemimpin nasional. Itulah Megawati sebagai presiden RI! Maka, seluruh bangunan hubungan massa dan partai dikerangkai harapan, suatu daya autentik yang tak pernah dipunyai sepanjang proses politik Orba yang rekayasa dari atas. Harapan agar Megawati menjadi presiden RI berimbas kepada PDI-P yang mendapat berkah urutan pertama dalam pemilu.

Sejarah mencatat bahwa dari Pemilu 1999 PDI-P terlalu percaya diri, abai akan koalisi, berimplikasi ketuanya gagal menduduki RI-1 sebab ditelikung kelompok reformasi di tahap awal. Sekarang bukan itu yang perlu dikenang, melainkan mengenai harapan sebagai kekuatan dalam dinamika politik. Tergerusnya suara PDI-P pada Pemilu 2004 menunjukkan bahwa komunikasi harapan sudah sirna. Munculnya partai baru kiranya mengambil tempat sebagai tumpuan harapan. Marilah kita lihat hasil pemilu legislatif 1999, 2004, 2009, 2014:

PDI-P 35.689.073 (33,74 persen); 20.710.006 (18,31 persen); 14.576.386 (14,01 persen); 23.681.471 (18,95 persen)

Demokrat tak ada; 8.437.868 (7,46 persen); 21.655.295 (20,81 persen); 12.728.913 (10,9 persen)

Gerindra tak ada; tak ada; 4.642.795 (4,46 persen); 14.760.371 (11,81 persen)

Diambil hanya tiga partai ini sebab dari sini datangnya kandidat RI-1. Pemilu 2004 bagi PDI-P: ke mana larinya (hampir 15 juta) suara yang pernah dimiliki 1999? Begitu pula pada pemilu berikutnya: tambah turun. Baru pada Pemilu 2014 kembali naik, melampaui posisi 2004. Demokrat yang mendapat 7,46 persen pada 2004 naik dengan mendapat lebih 20 persen pada 2009 dan terbanting kehilangan separuh pemilih pada 2014. Mungkin bagi Demokrat tak jadi soal, toh tak akan mengajukan kandidat presiden di tahun itu. Sementara Gerindra yang baru berkiprah pada Pemilu 2009 mendapat 4,46 persen suara, melejit mendapatkan tambahan lebih 10 juta pemilih pada 2014.

PDI-P sebagai korban Orba hanya menikmati kemenangan sesaat. Pada periode keunggulannya, tak terasa signifikansinya di ruang publik. Bahkan, sebagai partai yang dapat berkah dari reformasi, terkesan konservatif membangun demokrasi. Lalu ketika ketua umumnya masih maju sebagai kandidat RI-1, pada dasarnya sebagai anomali politik jika dikaitkan dengan turunnya suara Pileg 2004, dan lebih drastis pada 2009. Marilah kita lihat hasil pilpres kandidat 2004, 2009, dan 2014:

Tahun2004 perolehan suara Megawati-Hasyim M adalah 44.990.704 (39,38 persen) sementara SBY-JK 69.266.350 (60,62 persen).

Tahun 2009, perolehan suara Megawati-Prabowo S adalah 32.548.105 (26,79 persen), sedangkan SBY-Boediono 73.874.562 (60,80 persen), dan JK-Wiranto 15.081.814 (12,41 persen).

Tahun 2014, perolehan suara Prabowo-Hatta 62.262.844 (46,85 persen) dan Jokowi-JK 70.633.576 (53,15 persen).

Dengan menggandeng tokoh NU Hasyim Muzadi pada Pilpres 2004 dapat diraih suara 44.990.704, setidaknya melampaui suara gabungan PDI-P dan Partai Kebangkitan Bangsa. Kalahnya pada Pilpres 2004 dan merosotnya suara untuk PDI-P pada Pemilu 2009 seharusnya dibaca sebagai pertanda, tetapi PDI-P masih mengajukan ketua umumnya bertarung untuk Pilpres 2009, dan berpasangan dengan Prabowo hanya mendapat 32,5 juta.

Dibandingkan Pilpres 2004, suara yang diperoleh turun, tetapi masih di atas suara gabungan PDI-P dengan Gerindra. Dari mana suara lebih ini didapat? Boleh saja dihipotesiskan, Prabowo adalah figur yang memiliki magnet yang sedang bertumbuh. Dugaan ini dapat diperkuat dengan suara Gerindra dalam Pileg 2014, kenaikan lebih 10 juta pemilih dari Pileg 2009.

Politik harapan

Hasil dari dua pemilu pileg dan pilpres ini bagi PDI-P tentunya menjadi pertanda bahwa magnet juga dapat pudar dan harapan sebagai daya dalam politik tidak dapat dibangun melalui figur masa lalu. Lalu, kenaikan suara Pemilu 2014 bagi PDI-P dari mana sumbernya? Di sini boleh juga dihipotesiskan adanya harapan massa pada figur Jokowi dengan gambaran PDI-P akan mengajukannya sebagai kandidat RI-1. Artinya, mendambakan Jokowi yang hanya “pekerja partai” itu berimplikasi berkah pada PDI-P.

Karenanya, Pilpres 2014 dapat dilihat sebagai pertarungan dua figur yang keduanya memiliki magnet yang kuat, melahirkan harapan massa yang besar pada Prabowo dan Jokowi. Prabowo disertai mesin partainya yang solid, serta didukung partai koalisi, sementara keberadaan Jokowi pada dasarnya tidak dengan mesin partai, melainkan bersama para relawan masyarakat sipil.

Di atas kertas, pasangan Prabowo-Hatta unggul dengan koalisi enam partai (Gerindra, Golkar, PPP, PKS, PAN, Demokrat) 59,52 persen, sedangkan koalisi pendukung Jokowi-JK hanya empat partai (PDI-P, Hanura, Nasdem, PKB) 40,38 persen. Dengan selisih hasil 6,30 persen untuk kemenangan pasangan Jokowi, yang perlu dipertanyakan, bukan dari mana dukungan suara yang diperoleh pasangan Jokowi, tetapi mengapa pasangan Prabowo kalah?

Biasanya, pekerja komunikasi politik berfokus pada variabel bersifat positif, tetapi untuk fenomena Prabowo yang perlu dilihat adalah faktor yang menggerus magnetnya sekaligus melemahkan harapan massa yang tadinya tinggi ditujukan kepada figur Prabowo (lihat: Siregar, “Ruang Publik Patologis, Media, dan Suksesi Kepemimpinan Nasional 2014”, Prisma, Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi, Vol 34/2015).

Partai Demokrat pada Pilpres 2014 malu-malu kucing bergabung dalam koalisi pendukung Prabowo dan tetap menjaga citra sebagai faktor penyeimbang. Namun, dengan safari politik SBY belakangan ini, media memberitakan bahwa Ani Yudhoyono digadang-gadang maju untuk RI-1 pada 2019. Perlu dipertimbangkan, turunnya suara untuk Demokrat hampir 9 juta pada Pemilu 2014 akan menjadi beban luar biasa berat bagi Ani Yudhoyono mengangkat partai pada Pemilu 2019, setidaknya kembali ke tataran hasil Pemilu 2009. Faktor apa yang dapat menjadikan Ani Yudoyono magnet, dan harapan macam apa yang ditum- pukan massa kepadanya sehingga berpaling pada Demokrat?

Soal magnet dan harapan ini merupakan hasil proses interaksi figur dan massa secara faktual (realitas empiris), baru kemudian diikuti dengan komunikasi (realitas media dan virtual). Tak diperoleh semata-mata dari komunikasi. Safari politik atau keramaian di media sosial bukanlah realitas empiris.

ASHADI SIREGAR PENGAMAT MEDIA; PENGAJAR JURNALISME; BERMUKIM DI SLEMAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2016, di halaman 7 dengan judul “Komunikasi Bermagnet dari Parpol untuk Pemimpin Nasional”.