BUMN dan PDI Perjuangan

Oleh ASHADI SIREGAR

”BUMN memiliki fungsi dan alat untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tapi, berbeda dari yang terjadi saat ini, BUMN hanya diperlakukan seperti korporasi swasta yang mengedepankan bisnis semata,”katanya dalam pidato pembukaan Rapat Kerja Nasional I PDI Perjuangan Tahun 2016 di Jakarta, Minggu (10/1).

Ini pernyataan ketua umum suatu partai, tetapi oleh media difokuskan seperti dalam teras beritanya: Di tengah mencuatnya isu perombakan Kabinet Kerja belakangan ini, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengungkit perlunya badan usaha milik negara dikembalikan ke peran pentingnya sesuai konstitusi (Kompas, 11/1/2016, hal 2).

Boleh jadi memang sedang berkembang isu di kalangan publik, atau malah media ini punya agenda set dalam hal perombakan kabinet. Kiranya isu publik atau isu media ini tentumembuat ketar-ketir menteri yang tidak punya tulang-punggung kuat dari partai pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Tetapi, apa betul pergantian menteri sampai perlu membawa-bawa konstitusi, atau lebih jauh memang menjadi perhatian publik?

Bagi publik, yang penting adalah pemerintahan yang berperhatian pada kepentingan publik (public interest). Media yang diberi napas hidup oleh publiknya tentulah juga akan berorientasi yang sama. Karena itu, yang perlu mendapat perhatian sebenarnya bukan tentang Kementerian BUMN, melainkan berkaitan dengan posisi badan usaha milik negara (BUMN) dalam konteks konstitusi, yaitu Pasal 33 yang berkaitan dengankemakmuran rakyat, sebagaimana terkandung dalam pidato Ketua Umum PDI-P itu. Urusan kementerian biar hak prerogatif presiden, sebagaimana biasa dapat disitir dari pernyataan sejumlah elite politik yang kepingin menjadi menteri.

Perspektif ideologis dari suatu pidato politik yang disampaikan dalam forum besar PDI-P tentu tak sampai mengurusi aspek teknikalitas dalam penggantian pembantu presiden. Biarlah kader dan anggota partainya, khususnya, dan publik, umumnya, menjadikan wacana dari pernyataan ketua partai itu sebagai bagian diskusi publik. Media pada dasarnya perpanjangan dari wacana yang berkembang di ruang publik. Artinya, bagaimana kemakmuran rakyat yang bertolak dari kepentingan publik dapat menjadi fokus sebagai isu publik bagi media pers.

Pemberitaan BUMN

Bagaimana media memberitakan BUMN selama ini? Setiap fakta, termasuk yang menyangkut BUMN, akan berhadapan dengan birokrasi dalam kerja keredaksian media pers dengan polakompartemental. Ini sesuai dengan sifat fakta yang diurusnya, dapat dirangkum sebagai fakta politik, ekonomi, dan sosial. Fakta politik melalui interaksi dalam lingkup negara (state) melalui aktor negara ataupun kuasi negara; fakta ekonomi melalui korporasi dan aktor kapitalisme pasar (market capitalism); serta fakta sosial dari kehidupan kewargaan (masyarakat sipil).

Setiap media menetapkan standar kelayakan untuk setiap fakta yang dapat diberitakan. Maka, berita tentang BUMN yang berasal dari entitas politik ditempatkan dalam kerangka politik pula. Memang betul, Menteri BUMN adalah jabatan politik. Tetapi, BUMN adalah entitas yang mencakup ranah pertanian, pertambangan, manufaktur, sampai keuangan. Karena itu, membicarakannya dalam konteks konstitusi, bukan sebatas nasibnya si menteri, melainkan seluruh ranah yang diurus ratusan perusahaan milik negara itu.

Apalagi, jika dipahami bahwa perusahaan BUMN memiliki varian karakteristik yang berbeda berdasarkan kapitalisasinya, mulai dari yang sudah listingsebagai perusahaan terbuka (go public), atau sepenuhnya milik negara, atau pemilikan minoritas negara. Dengan karakteristik semacam ini, pernahkah BUMN dilihat dalam kerangka konstitusi termasuk pada era pemerintahan Megawati? Keberadaan BUMN tidak sederhana untuk mengaitkan dengan perspektif ideologi kemakmuran rakyat mengingat sudah mengguritanya BUMN sebagai perusahaan dengan kewajiban profitabilitasnya.

Dalam kaitan dengan media pers, dinamika BUMN biasa ditemukan dalam rubrik ekonomi. Namun, jika dicermati rubrik ekonomi di berbagai media pers, fakta ekonomi yang diberitakan pada dasarnya menurut standar kelayakan atas signifikansi ranah ini bertolak dari sisi dinamika kapitalisasi. Dengan kata lain, kendati media biasa menabalkan diri sebagai institusi yang berorientasi kepada publik, sudut pandangnya biasa menuruti pendefinisian dunia korporasi.

Bukan salah pers jika pemberitaan tentang BUMN ditempatkan dalam kerangka korporasi yang berorientasi profit. Jabatan chief executive officer(CEO) dari ratusan BUMN yang bergengsi biasanya harus diduduki oleh profesional yang dipandang sukses menjalankan korporasi swasta. Sukses dalam dunia korporasi swasta adalah melalui indikator kapitalisasi dan profitabilitas.

Sejak era Orde Baru sampai sekarang, parameter keberadaan BUMN tidak dalam kerangka UUD, melainkan dalam bahasa ekonomi kapitalisme. Sementara semangat sosialisme pendiri republik Bung Hatta yang diimplementasikan dalam Pasal 33 Konstitusi hanya sayup terdengar. Bahwa ternyata semangat Bung Hatta ini sejalan dengan Marhaenisme yang ingin dihidupkan oleh PDI-P melalui rakernas I PDI-P Tahun 2016, patut disyukuri. Tetapi, ini menjadi persoalan sebab parpol yang menyebut dirinya berorientasi pada wong cilik ini seperti baru tersentak bangun dan kemudian tergeragap melihat kenyataan dunia BUMN, lalu mengigau tentang konstitusi.

Ekonomi konstitusi dan ”public utility”

Sekarang marilah lihat dari sudut pandang publik. Aksi korporasi betapapun besar investasi dan dinamika profitabilitasnya, tidak ada signifikansinya. Dari sisi kepentingan publik, signifikansi suatu fakta ekonomi bertolak dalam kerangka paham utilitarian adalah apa yang bernilai guna baginya, dalam hal ini menyentuh kesejahteraan hidupnya. Untuk itu, ekonomi yang relevan dapat difokuskan pada public utility, sejauh mana negara menaruh peduli urusan ini.

Secara populer, public utility diartikan sebagai penyelenggaraan pelayanan publik (public service) oleh perusahaan atau organisasi bisnis yang beroperasi berdasarkan aturan negara. Jadi, fungsinya di negara kapitalis sekalipun, ada aturan negara yang menjadikan perusahaan tidak berdasarkan dinamika kapitalisasi, tetapi demi kepentingan publik. Pasal 33 UUD pada dasarnya mengatur agar seluruh kekayaan negara digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Sebagai negara kesejahteraan (welfare state), prioritas ekonomi adalah untuk publik. Jika konstitusi menyebut kekayaan negara, dalam praksis ekonomi menuntut adanya usaha yang dijalankan public utility. Sayangnya, definisi kategoris public utilitydi negeri ini tidak jelas sehingga produk (dan jasa) yang didefinisikan sebagai keluaran usaha ini kabur juga.

Adanya istilah subsidi untuk produk listrik, misalnya, menyebabkan PLN bukan sebagai public utility. Begitu juga penyediaan air bersih diserahkan pada korporasi swasta. Atau gas tidak dialirkan, melainkan dikemas dalam tabung sehingga menjadi komoditas yang dijual secara umum dengan prinsip profitabel, dan secara khusus untuk gas tabung melon yang disubsidi. Pembedaan tajam antara produk/jasa sebagai komoditas korporasi komersial dengan keluaran public utilitiy tidak pernah berkembang sebagai diskusi dalam kehidupan publik sebab media pers tidak menaruh perhatian soal ini.

Dari sini bolehlah PDI-P mulai menggulirkan reformasi pelayanan publik agar dapat diperjuangkan keluaran public utility melalui BUMN. Tentunya dengan memilah mana yang keluarannya yang secara kategoris sebagai public utility, mana yang memang sebagai komoditas yang terikat dengan parameter profitabilitas. Dengan demikian, media pers dapat memberitakan dunia BUMN dengan memberikan prioritas pada fakta ekonomi dalam perspektif kepentingan publiknya, bukan berdasarkan kriteria dunia korporasi.

ASHADI SIREGAR, PENGAMAT MEDIA DAN PENGAJAR JURNALISME, BERMUKIM DI SLEMAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul “BUMN dan PDI Perjuangan”.

 

Bencana Asap di Negeri Keledai

Oleh ASHADI SIREGAR

SATU KALI, KOMPAS membuat judul ”Penyelamatan Flora dan Fauna: Tragedi Jerebu, Petaka Hayati” (30 Oktober 2015, halaman 20). Istilah ”jerebu” dikenal di kawasan berbahasa Melayu (Deli, Riau, Semenanjung Malaya).

Jerebu bukan sekadar asap, tetapi termasuk di dalamnya partikel debu arang yang memerihkan mata dan mengganggu pernapasan. Jerebu pada dasarnya bersumber dari kebakaran yang bersifat masif. Bagi masyarakat yang terkena dampak, sangat jelas sebutan jerebu betul-betul sebagai penghancur kehidupan manusia, dan seluruh sumber daya hayati umumnya akibat kebakaran di area yang luas.

Dalam melihat pemberitaan media pers, pada dasarnya berfokus pada dua aspek, yaitu fenomena fisik asap, dan langkah mitigasi. Peralihan sebutan bencana ke tragedi bagi koran Kompas tentunya membawa perubahan paradigma dalam menghadapi fakta. Bencana (alam) diartikan sebagai peristiwa yang tidak terelakkan, sementara tragedi adalah akibat yang melanda manusia dari suatu peristiwa ekstrem, baik karena alam (tak dapat dihindari) atau perbuatan manusia.

Kedua sebutan itu,bencana maupun tragedi, bersifat konotatif. Denotasinya adalah kebakaran di kawasan tertentu dan asap pekat di wilayah yang jauh lebih luas.

Penyebab kebakaran dapat berupa kekeringan dari El Nino. El Nino boleh dipersalahkan, tetapi masalah mendasar tetaplah kebakaran yang masif. Adapun fakta kepekatan jerebu ini ada parameternya berupa indeks standar pencemaran udara (ISPU) yang mencakuppengukuran kuantitas zat berbahaya, seperti karbon monoksida, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, danozon.

Fenomena asap yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan, belakangan di Papua, bagi koran Kompas dilihat pada efek berupa tragedi kemanusiaan. Untuk itu Kompas menggunakan sebutan ”Tragedi Asap” untuk rubrik liputan khusus beritanya. Dengan diksi yang dramatis ini tentunya diharapkan dapat menggugah pembaca.Persoalannya, apakah tragedi kemanusiaan masih dapat menggugah pengusaha korporasi dan pejabat publik di kawasan penyebab fenomena asap pekat?

Menulis dengan perspektif

Di negeri ini, manakala musim hujan tiba, bencana kekeringan dihentikan oleh alam. Karut-marut pejabat publik di kawasan terlanda kebakaran dan asap juga akan mereda, dan otomatis karut-marut pemberitaan pers pun akan berhenti. Nanti, ganti soal banjir. Percayalah. Begitu biasanya. Kita biasa terantuk ke batu yang sama berkali-kali.

Dari sini bisa dilihat bahwa dinamika yang berlangsung adalah dari alam, yaitu adanya kejadian ekstrem berupa asap pekat. Untuk itu perlu dilihat langkah pejabat publik, baru kemudian pemberitaan.

Kalau jurnalis dituntut untuk menulis dengan perspektif kesejarahan, sementara pejabat publik hanya blusukan saat peristiwa kritis, kemudian cukup membuat keputusan momentum bak ”problem shooter”, dengan sendirinya liputan berperspektif kesejarahan tidak ada artinya.Paling banter menumbuhkan kesadaran pada publik pembaca betapa abainya pejabat publik kita.

Untuk pencitraan, pejabat publik dapat merancang adegan bersama warga yang hidupnya tragis, dan juga membuat keputusan cepat untuk mengatasi masalah kritis. Efek kesegeraan suatu keputusan mendongkrak popularitas. Akan tetapi, berbagai fenomena tidak dapat diatasi hanya dengan kebijakan publik bersifat momentum. Mengatasi kebakaran di kawasan masif dengan membeli pesawat terbang penyemprot api merupakan contoh keputusan jangka pendek ala ”problem shooter”. Memadamkan kebakaran memang perlu secepatnya, selain berdoa agar musim hujan di Indonesia dan kawasan sumber asap disegerakan oleh Tuhan.

Akan tetapi, yang tidak kalah penting adalah melihat secara komprehensif seluruh permasalahan yang menyebabkan berulangnyakebakaran masif ini. Kita tidak mendengar bahwa Presiden RI selaku chief executive officer pemerintahan mengumpulkan kepala daerah dari kawasan sumber tragedi untuk sekaligus dihadapkan dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna mengurai problem yang bersifat sistemik. Apakah ada, siapa yang tahu di mana ditempatkan ”ruang operasi” guna mengatasi tragedi ini?

Mengatasi secara sistemik tentulah perlu melihat fakta secara komprehensif. Pertama, secara fisik dapat dilihat dengan foto satelit sebaran kebakaran. Lebih jauh, area ini perlu diidentifikasi komposisi kawasan terbakar, seberapa luas dan di mana saja kawasan pertanian rakyat, konsesi hak guna usaha (HGU) korporasi, dan hutan negara/adat.

Media pers, kalau mau, tentunya mampu mendapatkan peta area kebakaran secara fisik dari sumber pengelola satelit cuaca. Berbeda dengan komposisi penguasaan area sumber asap pekat, yang hanya dapat diperoleh pers jika pengambil keputusan memang punya data dimaksud. Sejak awal peta yang menggambarkan komposisi penguasaan area terbakar ini seharusnya sudah dibuka kepada publik, dan dari sini langkah penindakan dapat dijalankan. Tindakan tentunya berbeda terhadap obyek-obyek sesuai dengan karakteristik kategori penguasaan area.

Melihat akar masalah

Saya membayangkan, akan lebih berguna manakala saat blusukan ke daerah terdampak Presiden Joko Widodo meminta pejabat setempat dan Menteri LHK memperlihatkan/memaparkan peta area sumber kebakaran dan luasan terdampak, sekaligus menunjukkan komposisi penguasaan area.

Akan sangat bernas manakala media pers ikut memberitakan komposisi area terdampak, dan di situ Presiden memerintahkan membekukan seluruh konsesi korporasi yang abai sehingga areanya terbakar secara masif. Berita semacam itu jauh lebih bernilai untuk pencitraan ketimbang menghadapkan warga Suku Anak Dalam dengan ”pakaian” aslinya kepada sang Rajo.

Yang terjadi, media sosial sibuk mempersoalkan pencitraan ala ”pertemuan” dengan warga Suku Anak Dalam, sementara media arus utama berusaha menjelas-jelaskan keotentikan adegan. Padahal, bukan di situ duduk soalnya.Blusukan kebakaran bersifat mikro dan keputusan bersifat momentum, tidak akan menyelesaikan masalah secara sistemik.

Akar permasalahan adalah perlunya regulasi yang ketat dan konsekuen dalam hal pemberian konsesi penerokaan hutan kepada korporasi. Instruksikan korporasi memadamkan kebakaran di area konsesinya. Kelalaian yang mengakibatkan kerugian besar harus ditindak.

Berikutnya, segera bangun sistem pengairan lingkungan (eko-hidro) di hutan lahan gambut dengan prioritas di area pertanian rakyat dan hutan negara/adat. Kalau tidak masuk dalam APBN tahun berjalan, presiden tentu punya kewenangan mengalihkan anggaran, kalau perlu menghentikan bikin jalan tol.

Penanggulangan kebakaran yang menyebabkan jerebu itu mendesak, karena senantiasa berulang. Memangnya mau jadi keledai?

ASHADI SIREGAR, PENELITI MEDIA DAN PENGAJAR JURNALISME PADA YAYASAN LP3J

 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 November 2015, di halaman 7 dengan judul “Bencana Asap di Negeri Keledai”.

Surat Kabar “Kompas” Menjaga Nilai bagi Dirinya

Oleh ASHADI SIREGAR

Keberadaan dan karakter surat kabar “Kompas” pada dasarnya mudah diidentifikasi jika dilacak melalui kesejarahan pendiri dan generasi pertama pengelola surat kabar ini. Mereka umumnya memiliki latar belakang sebagai guru. Mulai terbit 1965, di tahun politik yang panas Orde Lama, sebagai surat kabar untuk partai politik. Kemudian berkali-kali tersandung di era Orde Baru, tetapi berhasil mengatasinya, hingga saat ini menjadi kapal bendera bagi suatu imperium bisnis.

Untuk mengenali surat kabar Kompas, bayangkan saja sosok seorang guru. Sebagai guru, bedakan dengan menggurui. Guru, ditandai dengan dedikasinya untuk memproses alam pikiran dan nilai-nilai kultural pada manusia, dari suatu tahap ke tahap lebih tinggi. Dunia dipandang akan menjadi lebih baik jika diisi dengan perikehidupan manusia yang baik. Karena itu panggilan hidup seorang guru adalah menyiapkan manusia yang baik. Sang guru dapat berada dalam lingkup kelas, jemaah pengajian, suatu komunitas, atau sekalian suatu bangsa.

Sikap dan proses kerja sebagai guru ini biasa disebut sebagai pendekatan kultural. Pendidikan sebagai suatu proses kultural melihat manusia sebagai individu yang mengalami transformasi karena adanya nilai yang diinternalisasi, dan komunitas merupakan kumpulan person yang memiliki acuan nilai yang sama (shared values).

Pendiri surat kabar Kompas tidak hanya menghadirkan media sebagai institusi sosial dan bisnis, tetapi juga berpretensi menjadikan orang-orang pengelola surat kabar ini sebagai suatu komunitas dengan nilai-nilai yang menghidupinya. Acuan nilai bagi komunitas surat kabar Kompas dan kelompok korporasi bisnis media dapat ditelusuri melalui pemikiran-pemikiran pendiri Kompas, Jakob Oetama, yang tersebar dalam berbagai ceramah, seminar, dan tajuk rencana yang ditulis dari hari ke hari. Kesemuanya sudah dirangkum-terbitkan sebagai buku; sampai buku penanda 80 tahun, Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama, Penerbit BukuKompas, 2011. Komunitas Kompas layak mengingat jasa St Sularto sebagai pencatat yang tekun atas buah pemikiran pendiri Kompas, dengan harapan tidak hilang tergerus waktu. Orientasi jurnalisme surat kabar Kompasdapat diringkas begini.

Manusia dan kemanusiaan, serta karena itu juga cobaan dan permasalahannya, aspirasi dan hasratnya, keagungan dan kehinaannya, adalah faktor yang ingin ditempatkan secara sentral dalam visi Kompas.Karena itu, manusia dan kemanusiaan senantiasa diusahakan menjadi napas pemberitaan dan komentarnya.

Surat kabar ini tergerakkan oleh visi itu, berusaha pula senantiasa peka akan nasib manusia, dan semestinya juga berpegang pada ungkapan klasik dalam jurnalistik: menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan (Jakob Oetama,Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Penerbit Buku Kompas, 2001, hal 147).

Baik pemikiran maupun catatan empiris kehidupan Jakob Oetama dapat dijadikan acuan nilai. Namun, perlu disadari nilai sebagai teks akan berhadapan dengan realitas. Bagaimana komunitas Kompas secara praksis nantinya mewujudkan nilai tersebut, dalam kondisi yang sangat berbeda dengan era awal dan pertumbuhan surat kabar Kompas. Pada masa generasi pertama surat kabar Kompas, khususnya pada masa pertumbuhan sejak tahun 1980-an, fungsi pemimpin umum (chief executive) dan pemimpin redaksi (chief editor) berada pada Jakob Oetama.

Media pers merupakan institusi bisnis, untuk ini fungsi seorang pemimpin umum sangat menentukan. Di bawah kepemimpinan Jakob Oetama, perusahaan Kompas menjadi salah satu usaha bisnis besar di Indonesia, dapat disebut sebagai pemuka di pasar media (market leader). Keberhasilan dari aspek bisnis ini merupakan faktor penting dalam mendukung peran Kompassebagai institusi sosial. Fungsi sosial suatu media pers dijalankan oleh kaum profesional jurnalis. Organisasi bisnis yang dimulai dengan menghadirkan surat kabar Kompas, kemudian bertumbuh sebagai imperium bisnis dengan rantai bisnis media dan korporasi nonmedia lainnya.

Adapun pemimpin redaksi merupakan personifikasi dari media pers sebagai institusi sosial. Keberadaan institusi ini merupakan suatu komunitas kultural yang dibangun dan dipelihara dengan solidaritas internal. Kantong kultural ini sebagai wahana yang memelihara nilai-nilai kemanusiaan dan orientasi sosialKompas, di tengah-tengah anomie bahkan hiruk-pikuk (chaotic) yang berlangsung di luar. Maka, organisasi keredaksian dipandang sebagai rumah yang perlu dijaga oleh anggota komunitas karena semangat di rumah ini diharapkan menjadi pendorong warganya untuk “Menghibur yang Papa, Mengingatkan yang Mapan”, sebagaimana menjadi misi surat kabar Kompas.

Cetak dan digital

Regenerasi pengelola surat kabar Kompas telah berlangsung lapis demi lapis. Tantangan yang dihadapi generasi sekarang jauh lebih kompleks. Pada masa lalu tantangan terbesar adalah menjalankan institusi media bak meniti buih di tengah kerasnya represi rezim negara Orde Baru. Tantangan bersifat politis senantiasa terancam kematian akibat pemberedelan oleh pemerintah. Sementara sekarang masalah yang harus direspons adalah tantangan bersifat sosiologis, yaitu menghadirkan diri dengan personalitas yang sesuai dengan perubahan masyarakat.

Tantangan terbesar adalah kecenderungan demografis. Akhir abad ke-20 ditandai dengan lahirnya “generasi digital” yang lebih banyak menggunakan waktu dengan perangkat audiovisual elektronik dalam serapan pembelajaran dan aktivitas komunikasi.

Artinya, sebagai konsumen sekaligus produsen yang sangat aktif dalam komunikasi berbasis teknologi dan produk digital. Dari sini cara dan gaya hidup khalayak memiliki kekhasan sebagai basis konten yang relevan bagi varian lapis demografis yang ada.

Teknologi cetak konvensional telah membentuk budaya khas untuk media pers (buku, majalah, surat kabar), dikenal sebagai budaya tinggi (high culture) yang serius dan mengutamakan substansi. Komunikasi dengan khalayak bersifat elitis. Sementara budaya digital bertumpu pada sensasi dan bersifat trivial. Kalaupun ada yang berusaha keluar dari orientasi elitis budaya cetak dengan berupaya menjangkau publik lebih luas adalah dengan popularisasi media, biasanya menyentuh aspek sensasi melalui pola tabloidisasi. Sensasionalisme tabloid mengeksploitasi selera rendah (low taste) publik. Karenanya dua pola komunikasi media, yaitu penekanan pada isi substansial versus sensasional, seakan-akan opsi manajemen media dalam mengejar konsumen. Namun, dengan personalitas yang diwariskan pendiri, surat kabar Kompas punya daya tangkal tidak terjerembab pada orientasi sensasionalisme yang mengabaikan substansi pada nilai kemanusiaan.

Persoalan perubahan peta demografis ini perlu mendapat perhatian pengelola surat kabar Kompas. Dalam kaitan dengan khalayak, dengan besaran sirkulasi dan keterbacaan, boleh dikata koran ini pemuka di pasar media. Namun, bagi masyarakat generasi baru, bukan mustahil koran ini dipandang usang (obsolete) yang hanya cocok dibaca orang tua. Karena itu, menjaga agarKompas menjadi bagian dari lapis demi lapis generasi masyarakat adalah melakukan penyesuaian terus-menerus dengan menengok perubahan kecenderungan sosiografis dan psikografis khalayak. Antara lain, mengambil kemanfaatan dari teknologi digital yang bersifat cepat dan efisien dalam penyajian konten-konten produk jurnalisme. Ini telah dikerjakan oleh pengelola dengan mengembangkan media digital multiplatfom surat kabarKompas.

Titian dua sisi

Generasi pelanjut pengelola surat kabar Kompas kini berjalan di titian dengan dua sisi, di sebelah adalah kondisi eksternal, yaitu faktor sosiologis dan psikografis khalayak yang sangat mudah berubah, dan kepungan teknologi media yang bertumbuh pesat. Faktor-faktor ini menjadi penekan dalam persaingan bagi keberadaan surat kabar Kompas. Dari sini jawaban orientasi yang harus dijalankan dalam memenangi persaingan, bagaimana menyajikan konten yang tidak kehilangan makna substansial isu sosial sesuai dengan visi-misi (karakter institusional) surat kabar Kompas untuk khalayak yang hidup dengan way of life dan life style masa sekarang.

Di sebelah lainnya adalah kondisi internal organisasi Kompas dan kelompok bisnisnya. Jika pada generasi awal fungsi pemimpin umum menyatu dengan pemimpin redaksi pada seorang Jakob Oetama, dengan begitu dapat sepenuhnya menjadi personifikasi dari dua bilah institusi media, yaitu sosial dan bisnis. Sebagai sumber nilai dapat berperan dalam dua dimensi, yaitu sosial melalui orientasi keredaksian dan kapitalisasi melalui orientasi bisnis. Sekarang dapat terjadi dua bilah perusahaan media ini berjalan timpang akibat acuan nilai yang berbeda.

Dari perjalanan lima puluh tahun, nilai kultural yang menggerakkan personel keredaksian telah menghadirkan Kompas sebagai suatu surat kabar yang memiliki personalitas sehingga memiliki citra sosial (social image) pada publik. Bagaimana menjaga nilai ini agar tetap relevan di tengah perubahan, baik perubahan organisasi dan manajemen internal Kompas maupun perubahan masyarakat, itulah yang menjadi tantangan bagi generasi penerus dalam menjalankan surat kabar Kompas melalui versi cetak konvensional maupun digital.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juni 2015, di halaman 40 dengan judul “Surat Kabar “Kompas” Menjaga Nilai bagi Dirinya”.