Oleh Ashadi Siregar
Ketika menonton aksi jurnalis mewancarai narasumber di televisi, sering ditemukan, terkesan sibuk mencari kata untuk diucapkan seperti “eeee…,” atau “apa itu…,” atau “apa namanya…,” ada yang seolah menceramahi narasumber agar memberi jawaban yang dikehendakinya, sebaliknya ada yang bergaya interogator hingga narasumber diperlakukan seperti maling tertangkap warga seRT.
Dalam pelatihan wartawan selalu ditekankan bahwa narasumberlah yang menghidupi media. Tanpa narasumber tidak akan diperoleh informasi yang menjadi dasar keberadaan media dalam masyarakat. Karenanya narasumber dipandang setara, tidak lebih tinggi sehingga jurnalis menjadi inferior, sebaliknya tidak dipandang rendah sehingga jurnalis merasa superior. Jurnalis senantiasa diingatkan bahwa suatu wawancara bukan percakapan personal, sebab sebagai pewancara dia adalah representasi suatu institusi media. Untuk itu dia harus bersikap hormat pada narasumber, sebagaimana dia ingin medianya mendapat kehormatan. Di antaranya menjaga sikap dan gerak-gerik (gesture) bersahabat tanpa berkesan centil dan sok akrab. Senantiasa diingat bahwa keberadaan jurnalis bukan one man show, melainkan membawa gerbong institusi di belakangnya.
Jadi bukan kepuasan personal yang dikejar. Setiap orang yang dimintai keterangan, dalam posisi apapun yang bersangkutan dalam fakta yang sedang dibahas, dia adalah narasumber. Dalam fakta mungkin dia “terpuji” atau sebaliknya “tercemar”, atau masih bocah, tetapi bagi pewancara dia adalah narasumber.
Rendah hati
Di masa sekarang bagaimana seorang wartawan disiapkan? Saya jadi ingat masa lalu. Sudah lama terlewat, yaitu pertengahan tahun 1980an. Saat itu saya mengelola lembaga pelatihan atau kursus kewartawanan. Di antara format latihan adalah mengasah penalaran melalui bahasa, dengan ketajaman rasa (sense) membedakan diksi yaitu pilihan dan penggunaan kata. Ini menjadi dasar dalam memilah bagian dari fakta sehingga nanti mampu mendeskripsikannya secara akurat dalam bentuk tulisan. Dari sini dijalankan latihan observasi obyek empiris, disertai diskusi intensif dengan narasumber pakar dari bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Disela-selanya ada simulasi wawancara dengan narasumber kolega sesama pelatihan. Wawancara untuk features nantinya berupa mini biografi sang rekan. Ditekankan, kendati narasumber adalah rekannya, pewawancara harus bersikap hormat dan lugas. Begitu juga yang diwancarai, harus menghayati posisinya sebagai narasumber.
Dari proses panjang, baru kemudian peserta latihan menulis naskah format jurnalistik. Latihan berbulan-bulan dengan cara spartan ini dianggap akan menghasilkan wartawan mumpuni.
Begitulah, dalam suatu pertemuan dengan seorang pimpinan media pers, saat saya memohonkan agar peserta pelatihan boleh magang di medianya, dia menyambut ramah:
“Oke bung, saya terima untuk magang di tempat saya. Saya setuju dengan kriteria dan metode kursus kalian. Betul, seorang wartawan perlu tajam logikanya. Ini kata lain dari cerdas. Memang yang diperlukan kecerdasan, bukan sekadar kepintaran. Cerdas adalah ketajaman berpikir, sedang pintar itu banyak pengetahuan. Juga saya hargai pengetahuan yang diperoleh dari para pakar itu, hingga peserta latihan kalian cerdas dan pintar. Ditambah kemampuan mendeskripsikan obyek secara akurat, dan menulis dengan bahasa yang efektif dan efisien. Bolehlah, itu bekal sebagai wartawan yang bagus. Tapi untuk media saya, ada yang jauh lebih penting, mendahului itu semua.”
Saya tersentak. Ambyar segala kebanggaan dengan materi dan metode kursus yang disusun dari banyak rujukan buku, plus lokakarya dengan praktisi pers.
“Apa itu pak?”
“Begini bung,” katanya. “Sebelum itu semua, saya memerlukan wartawan di media saya adalah orang yang bersikap rendah hati, bahasa sononya modest, bahasa kita andap asor.”
Duilah! Apa pula itu?
‘Begini bung,” katanya lagi menembus bengongnya saya. “Orang cerdas apalagi pintar, gampang terjerumus menjadi arogan. Saya tidak ingin wartawan saya makhluk arogan, baik dari dalam maupun keluar sebagai ekspresi.”
Saya hanya garuk-garuk kepala.
“Saya ingin wartawan saya rendah hati. Jangan rendah diri ya, sebab orang rendah diri biasanya akan berkompensasi menjadi arogan dalam ekspresi.”
Saya hanya terbata-bata berujar:
“Wah saya sama sekali tidak punya referensi untuk melatih seseorang jadi rendah hati….”
“Ya memang tidak ada latihan berupa kursus. Kursus kepribadian yang populer dan laris itu melatih perilaku motorik, mulai dari etiket berinteraksi dalam tatap muka, sampai pola gesture di tengah khalayak. Latihan semacam itu tidak mungkin menjangkau dunia-dalam seseorang. Rendah hati itu ada di dalam diri seseorang,” katanya.
Agak lama dia diam, mungkin menunggu reaksi saya yang tetap bengong. Lalu dia melanjutkan:
“Sikap rendah hati, andap asor, tidak bisa dibentuk setelah dewasa dalam waktu singkat. Itu merupakan hasil dari proses panjang dari masa kecil. Kalaupun ada yang menjadi rendah hati setelah dewasa, itu didapat karena pengalaman otentik, yang menyebabkan seseorang menemukan dan merasakan nilai kebaikan dari sikap rendah hati dalam interaksi sosial.”
Saya tak mampu berbicara.
“Jadi temukan lebih dulu manusia dengan sikap rendah hati. Baru beri latihan jurnalistik intensif,” lanjutnya.
Apakah itu gerangan yang menyebabkan jurnalisnya selalu disambut oleh narasumber secara bersahabat, dan memungkinkan medianya sukses? Lama saya merenungkan tuntutan pimpinan media itu.
Wawancara drama
Tebersit sekilas pemikiran. Apakah pelatihan dengan cara spartan, yaitu dengan metode pentubian (drilling) tidak disadari telah menghasilkan peserta yang rendah hati? Ya, dengan kerasnya perlakuan membuat ada peserta yang rontok (drop) sehingga dikeluarkan dari proses latihan. Hanya yang “sabar” mengikuti seluruh proses dapat menyelesaikan kursus. Apakah kesabarannya itu lahir dari rendah hati?
Beberapa tahun kemudian, lembaga yang saya kelola mendapat proyek guna merekrut sekaligus melatih calon wartawan untuk koran harian yang akan terbit di suatu kota. Di tengah kesulitan mendapat ijin terbit koran baru dari pemerintah Orde Baru, pengusaha itu dianugerahi Surat Ijin Penerbitan Pers (SIUPP). Dia lahir dan besar di kota itu. Calon pemodal itu konon ingin mematahkan semacam “mitos” yang tumbuh selama ini, bahwa kota itu adalah “kuburan” bagi suratkabar harian. Tiada koran harian yang bertahan hidup. Ini tantangan.
Kepada yang mewakili pemilik media saya mengajukan syarat, bahwa lembaga kami tidak bersedia merekrut. Kami hanya akan melatih calon wartawan hasil seleksi oleh lembaga psikologi yang mau mengembangkan tes seleksi khusus untuk kerja jurnalisme. Calon pemilik setuju. Lalu kalkulasi ulang. Biaya yang sudah disepakati dipotong guna mengontrak lembaga konsultasi psikologi. Dia minta rekomendasi lembaga yang perlu dikontrak. Saya mengajukan lembaga yang dikelola rekan psikolog di Jakarta.
Lalu pada hari yang disepakati kami mendiskusikan pokok pikiran untuk materi tes. Bahwa materi tes dibuat khusus, jadi bukan hanya menerapkan baterai tes standar untuk manajemen.
Agak lama rekan psikolog berpikir, saat saya minta agar skor berkaitan dengan rendah hati mendapat perhatian lebih tinggi dibanding indikator lainnya yang lazim pada baterai tes seleksi manajemen. Rendah hati alias andap asor, bagaimana memasukkan dalam baterai tes yang diadopsi dari buku teks asal Barat? Kalau tidak salah kemudian dia mengembangkan indikator melalui konsep dorongan kebajikan (benevolance) dan kerja saling dukung (teamwork). Ini sebagai inti yang dicari dari rekrutan.
Begitulah rekan psikolog akhirnya menyodorkan sederet nama untuk mulai dilatih. Kemudian muncul masalah, sebab calon peserta tidak sepenuhnya hasil seleksi berasal dari lulusan anyar universitas (fresh graduate). Calon manajemen ternyata sudah merekrut sejumlah wartawan dari media pers lain. Artinya sudah terbentuk sebagai wartawan dengan budaya organisasi yang bermacam-macam.
Apa boleh buat, terpaksa format pelatihan dirombak. Untuk itu pelatihan difokuskan pada peserta fresh graduate hasil seleksi, sedang calon redaksi asal berbagai media sebagai pendukung. Para rekrutan muda diharapkan menjadi jangkar nantinya di lapangan. Kekuatan media pada pasukan reporter, bukan redaksi di kantor. Merekalah nanti yang akan berinteraksi dengan narasumber.
Demikianlah, saya tidak kecewa sebab lembaga psikologi ternyata berhasil menjaring calon yang sesuai dengan tujuan seleksi. Calon wartawan rendah hati! Dan setelah tahun-tahun berjalan, kota itu tidak lagi menjadi kuburan bagi koran harian.
Mungkin ada yang berkomentar, seluruh cerita yang berintikan pada ekspektasi sang pemimpin media pers itu, adalah untuk media pers cetak. Di sini hasil wawancara ditulis menjadi teks jurnalistik dengan deskripsi oleh wartawan. Kalaupun ada kalimat asli dari narasumber, dijadikan kutipan (quotation) berdasarkan kekhasannya. Berlaku juga untuk media radio, kalimat otentik yang menarik dan signifikan dari narasumber biasanya sedikit diambil sebagai sound-bite. Bagaimana dengan wawancara untuk media televisi?
Media televisi menuntut segala hal sebagai tontonan (spectacle). Sedapat mungkin wawancara dengan narasumber ditampilkan. Bahkan ada program wawancara sepenuhnya (talk show) untuk disiarkan. Interaksi antar manusia sedapat mungkin harus menjadi drama. Ini fungsi kamera dan ucapan yang menggugah pemirsa untuk naiknya peringkat program yang sedang disiarkan untuk mendongkrak pangsa pasar stasion televisi.
Maka saya membayangkan kerja untuk media televisi lebih berat. Sembari menjalankan proses wawancara sebagaimana dituntut dalam kerja jurnalisme secara umum, bawah sadarnya akan terus mengingatkan: mana dramanya? Drama adalah induk tontonan.
Tetapi untuk landasan yang standar perlu dipenuhi: jangan terbata-bata dan jangan pula menjadi penceramah apalagi interogator. Terbata-bata menunjukkan jurnalis kurang latihan diksi untuk pebuatan teks di dalam kepala, penceramah mengesankan pewawancara nyinyir, sedang sebagai interogator biarlah dimunculkan melalui dramaturgi program polisi yang sekarang marak di stasion-stasion televisi.