ASHADI SIREGAR
- SISWA DI TAMAN BAMBU ( 2 )
Setelah proklamasi, dengan hengkangya tentara pendudukan Jepang dari Pematangsiantar, ayah saya menjabat Wedana di Pematangsiantar. Tetapi kemudian kota harus ditinggalkan, sebab tentara Sekutu yang terdiri dari tentara Inggeris dan lainnya, masuk ke Pematangsiantar dengan dalih untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Di belakang tentara Sekutu ikut tentara Belanda yang disertai NICA (Netherland Indie Civil Administration), pemerintahan sipil Belanda. Sementara pemerintahan bentukan Republik Indonesia terpaksa keluar, pejabat yang tidak mau bekerjasama dengan NICA, masuk ke pedalaman, yaitu daerah yang dapat dipertahankan sebagai wilayah republik.
Selama perang kemerdekaan, ayah saya menjadi Wedana Militer dengan pangkat Kapten. Sedang ibu saya, karena dikenali sebagai orang pergerakan, terancam ditangkap oleh NICA di Pematangsiantar. Karenanya ibu juga harus keluar dari Pematangsiantar. Seorang ibu dengan tiga orang anak balita, dalam keadaan hamil anak keempat, harus mengungsi, jauh dari suaminya. Sampai di usia tua, ibu saya tetap tidak dapat berdamai dengan masa lalu, jika mengungkapkan pengalamannya selama dikejar-kejar antek NICA, dan setiap kali menyinggung sejumlah orang yang dikenal sebagai kooperator, yaitu orang-orang yang mau bekerja dalam pemerintahan NICA di Pematangsiantar. Ya, sejumlah orang karena alasan profesional menganggap bekerja dengan NICA bukan penghianatan terhadap republik, sebab keterampilan teknis seperti pekerjaan umum, pertanian, peternakan, listrik, air mimun dan lainnya diperlukan agar pelayanan pada masyarakat tetap berlangsung. Tetapi bagi ibu saya, mereka sama saja dengan orang-orang yang bekerja sebagai mata-mata NICA, yaitu yang memberikan nama-nama orang pergerakan. Selain itu ada pula Pohantui yaitu tentara bayaran bentukan orang-orang kaya Tionghoa, begitupun Barisan Pengawal Negara Sumatera Timur yaitu negara bagian bentukan van Mook. Kedua pasukan paramiliter ini meneror keluarga pejuang yang bergerilya. Semua itu bagi ibu saya, sungguh tidak dapat dimaafkan.
Kalau ada teman bermain saya yang dikenal oleh ibu saya bahwa ayahnya dari kelompok itu, dia akan mencibir:
“Huh, ayahnya itu pengikut NICA…,” kalimat itu mengandung seluruh kepahitan yang dialaminya selama rentang waktu 1945 – 1950. Memang orang-orang yang tidak ikut mengungsi dan ikut dalam pemerintahan NICA mendapat gaji dan catu logistik dari Belanda. Karenanya kehidupannya tetap makmur di tengah kemiskinan selama perang. ‘Indoktrinasi’ di masa kecil itu mengendap di benak saya, sehingga sering membuat saya bingung menata hubungan saat bergaul dengan sejumlah teman sebaya.
Titik perhentian pertama pengungsian ibu saya bersama anak-anaknya di masa revolusi adalah di Tanah Jawa, yaitu sebuah perkebunan di pelosok Sumatera Timur. Tempat itu sangat indah bagi ibu saya, karena disitu dia menemukan orang yang melindunginya, membantu dengan tulus, sampai pada penyediaan makanan dan pengobatan. Pemukim di daerah itu kebanyakan orang Jawa Deli, yaitu pekerja onderneming. Di masa perang itu onderneming berhenti beroperasi, sehingga penduduk bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan makan dari hari ke hari. Ibu saya sering separuh menuntut anak-anaknya agar selalu mengingat orang-orang di Tanah Jawa itu. Disitu ada seorang perempuan tua suku Jawa yang menjadi ibu angkat ibu saya, dan menolong persalinan anak keempat, yaitu adik saya. Apakah dia seorang dukun bayi, ibu saya tidak pernah menjelaskan. O ya, sebelum meninggalkan Pematangsiantar, ayah saya meninggalkan pesan untuk nama anaknya yang akan lahir, kalau laki-laki diberi nama Darma Negara, dan perempuan bernama Derita Negara Yati. Lahirlah anak perempuan, maka itulah awal penamaan bagi anaknya, ayah tidak lagi mencari-cari di Qur’an. Nama-nama saudara saya yang lebih tua Azwari dan Azhari. Kemudian disusul adik saya yang lahir menjelang akhir perang kemerdekaan Rizal Rasyidi (bukan Ridjal, dari Arab, tetapi merujuk nama Jose Rizal seorang pahlawan Filipina), disusul adik-adik saya yang lahir setelah masa damai, Mardiansyah (karena lahir bulan Maret), Ismik Efendi (lahir pada hari ISrak MIKraj), dan anak kedelapan meninggal sewaktu kecil. Kemudian datang seorang adik sepupu yang sepenuhnya menjadi saudara kami, bernama Parsaulian sehingga tetap melengkapi delapan anak bagi orang tua kami. Kami delapan orang bersaudara, yang lebih tua tiga orang laki-laki, di tengah seorang perempuan, kemudian empat orang yang lebih muda juga laki-laki.
Adapun kehidupan di pengungsian Tanah Jawa, dan adanya seorang ibu tua perempuan Jawa yang menjadi mbok bagi ibu saya, terkait erat dengan hidup saya. Seluruh kenangan berasal dari cerita ibu saya yang diulang-ulang sejak kami kecil.
Ketika adik saya lahir, saya berusia dua tahun. Dapat dibayangkan, betapa ibu saya sangat repot. Sebab harus mengasuh sekaligus empat orang anak, yang pertama usia lima tahun, kedua empat tahun kurang, lalu saya usia dua tahun, dan satu bayi yang masih merah. Konon saya sangat rewel, merengek-rengek, dan bergayut terus di baju ibu. Sedang dua anak lainnya, juga tidak terurus. Kami menumpang di rumah orang, lebih tepat disebut barak kuli perkebunan, berlantai tanah. Tidak ada listrik, tidak ada air leding seperti di Siantar. Tetapi syukurlah, dalam seluruh kesempitan itu, ibu angkat ibu, biasa ibu sebut si mbok sangat membantu. Keluarganya juga memperlakukan kami sangat baik, apa yang mereka punya dari hasil bercocok tanam, selalu diberi pada kami, ya, pengungsi yang sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan dengan mereka. Begitu juga tetangga lainnya. Tanpa mereka, tentulah kami berlima mati kelaparan. Orang-orang Jawa di onderneming perkebunan Tanah Jawa itulah yang menjadi saudara kami. Sebab sanak saudara lainnya tidak mengungsi, tetap tinggal di Siantar. Begitu pula tidak ada kabar dari ayah.
Syahdan saya mengalami nahas luar biasa. Saat itu ibu baru menjerang air di dalam panci (kami tidak punya ketel atau ceret) di tungku, untuk mandi bayi. Tungku itu berkayu bakar, berada di luar rumah. Setelah mendidih ibu mengangkat air dalam panci. Tiba-tiba kucing melengking dan meloncat, sebab terinjak ibu. Ibu kaget, karena tanah licin, ibu terjengkang. Panci tumpah. Air mendidih tercurah. Semua, menyiram saya yang tetap bergelayut di baju ibu. Ke seluruh tubuh saya. Dari bahu sampai kaki. Melepuh. Hanya bagian kepala tidak tersiram. Saya menggelepar. Ibu menjerit-jerit sehingga semua tetangga datang. Saya terkapar di tanah. Tidak bersuara.
Dan berbulan-bulan saya tergeletak. Sejak itu saya sama sekali tidak rewel. Bahkan nyaris tidak mengeluarkan suara, kecuali suara lirih. Seluruh tubuh melepuh, tetapi tidak ada dokter, tidak ada obat. Saya terpaksa dibaringkan di lincak bambu yang dihampari daun pisang, sebab kalau pakai lapik kain akan melekat dan kulit terikut saat kain dilepas. Dan hanya obat yang diramu si mbok yang diberikan. Ibu tidak tahu jenis bahan itu, diramu dari tumbuhan. Seperti tetangga yang berdesah risau, ibu sepakat, memang saya tidak akan tertolong. Tidak ada orang, apalagi anak kecil yang terkelupas seluruh kulit akibat air panas, dapat bertahan. Tetapi saya tetap hidup, walau seperti sudah mati. Hanya tarikan napas dan suara rintihan sesekali penanda agar badan dibalik. Setiap orang putus asa, tetapi si mbok tetap meyakinkan ibu. Saya tetap hidup.
Ibu tidak tidak tahu apakah si mbok generasi pertama atau kedua berada di onderneming Belanda itu. Mungkin keprihatinan hidup si mbok yang menjadikan Tuhan memberikan keajaiban di tangannya. Berangsur-angsur lepuhan kulit saya mengering. Hari berganti, begitu pula kulit berkali-kali berganti. Berminggu-minggu. Sampai kemudian sama sekali kering, dan yang ternampak hanya sekujur badan yang putih seperti diselimuti kulit belum matang. Berbulan-bulan saya hanya berseprei daun pisang. Dan kemudian saya pulih.
Menurut ibu saya:
“Kemudian ada yang berubah darinya. Dari yang biasa merengek tanpa henti, kini tahan berjam-jam tanpa suara. Sering tidak diketahui apakah dia ada atau tidak ada di rumah. Tidak pernah kedengaran suaranya. Sehingga ibu sendiri kadang-kadang kelupaan apakah dia sudah mendapat bagian atau tidak, jika ada pembagian makanan. Tidak pernah berebut menuntut dibelikan mainan dari ayah dan ibu. Kalau dia ingin punya mainan, dia akan memperbaiki mainan abang-abangnya yang sudah rusak.”
Sering saya berusaha merekonstruksi pengalaman itu agar dapat memahami diri saya. Tetapi saya sama sekali tidak punya kenangan sewaktu meniti kematian. Manakala ibu saya membuka cerita itu, namun sedikitpun tidak ada yang saya ingat. Mungkin menjadi bagian dari bawah sadar saya, sehingga saya tidak perduli dengan kematian. Belakangan, saat diinterogasi tentara, saat dimasukkan ke bui Wirogunan, diintimidasi intel, saya menjalaninya tanpa depresi apapun. Sehingga teman-teman yang mengalami hal yang sama, mungkin jengkel manakala saya memperolok mereka. Bukan saya sok berani. Bukan saya meremehkan depresi teman-teman yang diteror tentara. Saya hanya berpikir, bahwa risiko tertinggi adalah kematian. Lalu mengapa? Setelah saya punya anak, baru saya risau tentang kematian. Tetapi bukan menyangkut diri saya, saya hanya tidak bisa membayangkan bagaimana anak-anak saya harus menjalani kehidupan tanpa saya. Soal-soal ini, seperti ancaman, tekanan, teror dari kekuasaan, dan semacamnya akan saya ungkapkan di bagian lain. Disini saya ingin meneruskan cerita tentang orang tua saya.
Adapun kedua orang tua saya orang pergerakan, karenanya langsung terseret dalam arus republik. Setelah kondisi ibu lebih kuat, terlebih setelah daerah Sumatera Timur semakin tidak aman dari gangguan NICA, pengungsian kami kemudian beralih ke pedalaman Tapanuli Selatan. Perjalanan ditempuh berjalan kaki dari Tanah Jawa di Sumatera Timur ke Tapanuli Selatan, melewati daerah-daerah yang tidak dikuasai Belanda. Di daerah Tapanuli itu ayah saya bergerilya. Karenanya sewaktu-waktu kami dapat berkumpul. Tetapi ayah saya jarang ada di tempat. Dia berada di tengah pasukan republik.
Sementara keadaan pedalaman Tapanuli Selatan ini berbeda dengan lingkungan Tanah Jawa. Kendati sama suku dengan kami, sama-sama orang Batak, penduduk setempat tidak sebaik orang-orang Jawa di daerah perkebunan. Hubungan bersifat dagang. Karenanya untuk mencari makanan, harus dikerjakan ibu saya. Ibu saya menjuali seluruh perhiasan, kemudian digunakan untuk menggalas, yaitu membeli barang-barang dari satu tempat, membawa ke tempat lain untuk menjualnya, kemudian dari keuntungan yang terbatas untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Dalam situasi semacam itu, kami yang ditinggalkan di tempat pengungsian terbiasa menahan lapar. Dari sini agaknya terselip di balik kesadaran saya untuk kedekatan dengan orang-orang Jawa, dan ketidak-dekatan dengan orang Batak yang sama suku dengan keluarga saya. Pengalaman saya yang bersifat negatif dengan orang Batak bertambah lagi ketika saya sudah kelas empat sekolah rakyat. Tetapi itu akan menjadi cerita tersendiri.
Perang berhenti setelah KMB (Konfrensi Meja Bundar), dan kami kembali ke Pamatangsiantar. Jadi pengungsian itu berlangsung tahun 1947 sampai 1949. Ayah saya kembali bertugas sebagai Wedana di kota itu. Sedang ibu saya melanjutkan kegiatannya sebagai orang pergerakan, dengan aktif di PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia). Saya tidak punya kenangan yang menarik di masa itu, kecuali kami, anak-anak yang masih kecil sering ditinggal ayah saya yang turne berhari-hari untuk menata organisasi pemerintahan di pelosok-pelosok, dan ibu saya yang rapat-rapat di organisasinya. Kami bersaudara hanya diasuh seorang kakak perempuan berangkat remaja, suku Jawa yang menjadi anak angkat orang tua saya bernama Kamisah, berasal dari daerah pengungsian Tanah Jawa.
Kami tinggal di rumah dinas, sebuah gedung besar peninggalan Belanda. Rumah itu berhalaman luas, dan jauh dari tetangga di Jalan Simanuk-manuk Pematang Siantar. Saya hampir tidak punya teman bermain, kecuali teman-teman saya mau datang ke rumah kami. Dan itu sangat jarang. Karenanya saya sangat menikmati bermain dengan teman-teman usai jam sekolah. Tetapi itu tidak dapat berlangsung lama. Satu hari saya keasyikan bermain. Usai sekolah kami beramai-ramai ke kebun milik keluarga salah seorang teman sekelas. Di kebun itu banyak pohon buah. Baju saya berlumuran getah. Saya lupa waktu. Dan saat pulang, baru saya ingat kewajiban saya, harus menjemput adik saya yang bersekolah di frobel. Setiap hari kami berangkat dan pulang bersama. Saya tiba di sekolah itu, sudah sepi. Adik saya menangis di halaman. Guru yang menunggui adik saya memarahi saya. Dan di rumah, sayapun mendapat hukuman ganda. Hukuman karena melalaikan adik saya, dan hukuman karena getah di baju saya yang tidak akan bisa hilang. Saya lupa jenis hukuman itu. Yang jelas, opsi hukuman di keluarga saya bersifat fisik, dipukul dengan penjalin penggebuk kasur, atau tongkat, atau kayu bakar, atau sapu lidi, atau diikat kemudian diasap. Saya tidak tahu dari mana asal mula ‘tradisi’ hukuman itu. Saya tidak pernah berani menanyakan pada ayah saya, apakah kakek menghukum anak-anaknya seperti itu. Ya, ayah saya punya empat orang saudara laki-laki, tidak ada saudara perempuan. Karenanya saya tidak punya inangboru atau namboru. Tidak ada suasana perempuan (boru) dari adat Batak yang melunakkan dunia laki-laki keluarga ayah saya.
Suasana serba laki-laki dengan pola hukuman fisik itu terbiasa bagi anak-anak dalam keluarga kami sedari kecil. Hukuman dianggap untuk memberi efek jera. Orang tua mengharuskan tidur siang selepas makan. Katanya ini sebagai bentuk disiplin. Tetapi anak-anak laki-laki biasa masuk kamar tidur, kemudian keluar lewat jendela untuk bermain-main. Kalau ketahuan, kena gebuk. Tetapi jika kedua orang tua tidak ada di rumah, dan ini sering, semua anak laki-laki bersimaharajalela. Anak-anak bergembira manakala orangtuanya pergi, dan risau jika orang tua ada di rumah. Tidak terlatih rasa rindu pada orang tua. Hukuman fisik tidak menimbulkan jera, hanya takut. Boleh jadi pendisiplinan dengan cara paksaan ini memberikan pada saya pendidikan yang berkebalikan. Tidak perlu mengikuti ketentuan yang diberikan orang lain. Kalau mau tertib, akan lebih baik berasal dari diri sendiri. Saya mengalami bagaimana menentukan sendiri apa yang dianggap perlu bagi diri sendiri.
***