NARKOBA, POLISI DAN JURNALIS

Soal ini sudah pernah saya angkat dalam pertemuan diskusi dengan sejumlah editor suatu koran utama terbitan Jakarta. Tetapi rupa-rupanya sama sekali tidak ada pengaruhnya, sebab koran itu tetap saja membuat pemberitaan dengan cara yang sama. Dicuekin, mungkin karena para editor menganggap yang dijalankan selama ini dianggap sudah benar. Mau apa lagi?

Jadi lebih baik saya berbagi dengan Anda. Mungkin terlewatkan dari perhatian Anda. Setiap kali polisi berhasil menangkap penjual atau menggrebek pabrik narkoba, media massa memberitakannya. Tentu saja sukses itu perlu diketahui khalayak. Tetapi perlu disikapi cara media, koran maupun televisi, terlebih pemberitaan dari desk kota/metropolitan. Berbagai kajian tentang jurnalisme menunjukkan kerja jurnalis yang embeded dengan polisi (sebagaimana lazimnya city reporter) sangat mudah membuat jurnalis menjadi bagian perkomplotan dalam dunia kepolisian dan “mafioso”.

Coba perhatikan, berita berdasarkan sumber kepolisian, media biasanya memberitakan nilai ekonomi dari narkoba (ekstasi seharga sekian puluh miliar; atau bahan pembuat kalau sudah jadi ekstasi atau sabu-sabu bernilai sekian miliar).

Menimbulkan tanda-tanya, bagaimana polisi dapat menetapkan harga pasar/ekonomi (market price) sesuatu barang kejahatan/terlarang? Narkoba tidak sekadar barang ilegal, seperti komoditas yang tidak berijin atau tidak bayar cukai. Jadi tidak ada logika kerugian atau keuntungan ekonomis. Jika menyangkut bahan psikotropika kimiadasar untuk pembuatan ekstasi/narkoba, sepanjang barang legal memang ada harga pasarnya. Tetapi setelah menjadi ekstasi hanya ada harga di pasar kejahatan.

Dengan menunjukkan nilai ekonomi atas narkoba versi polisi, dapat menjadi sumber dalam penentuan “harga pasar” komoditas. Sekian puluh kg ekstasi berharga sekian puluh miliar rupiah. Begitu, seperti pemberitaan harga tomat bulat, kol gepeng, cabe kriting dan semacamnya.

Pemberitaan dengan menekankan pada nilai ekonomis dari kejahatan narkoba, pada satu sisi menunjukkan polisi dan media massa melihat kejahatan narkoba ini hanya sebagai fenomena ekonomi. Pada sisi lain, akan mengggiurkan warga yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, atau orang yang memang tamak untuk mendapat hasil dengan jalan pintas.

Apa yang perlu dilakukan media? Pertama, jurnalis perlu tahu dan dapat membedakan barang legal, ilegal dan terlarang. Barang terlarang bukan komoditas yang memiliki market price, sebab hanya berada di wilayah “pasar” kejahatan. Kedua, dalam konteks upaya gerakan anti narkoba, dari sukses polisi, kiranya media dapat menunjukkan masalah kerugian masyarakat jika ekstasi sampai beredar.

Penyeludupan atau produksi sekian puluh kilo dalam pengonsumsian per sekian gram, digunakan sekian ribu orang. Frekuensi penggunaan, jumlah pengguna yang terdampak, dan implikasinya terhadap kerusakan fisik personal dan masyarakat misalnya, lebih memiliki signifikan. Signifikansi ini bagi khalayak karena setiap kali diingatkan dengan dampak kerusakan dari narkoba; dan bagi polisi untuk selalu ingat pula bahwa keberadaannya bukan sekadar untuk menghentikan pasar ekonomi kejahatan, tetapi melindungi warga.

Karenanya walaupun polisi begitu bangga dengan sukses mengekspos keberhasilan menggagalkan arus ekonomi di pasar kejahatan, media lebih berguna jika menempatkan fokus pemberitaan pada keberhasilan menghentikan peredaran narkoba. Sekaligus mengawal agar barang terlarang yang sudah disita, tidak sampai keluar lagi dan masuk ke pasar kejahatan.

City editor perlu agenda untuk menelisik kemana saja barang-barang kejahatan itu selama, dan sesudah penjahatnya diadili. Artinya sukses polisi menangkap dan menyita, perlu disertai dengan kepastian bahwa ada penjahat yang dihukum, dan barang kejahatan dimusnahkan. Dengan kata lain, dalam agenda editor, frekuensi berita penangkapan dan penyitaan harus identik dengan frekuensi berita penghukuman dan pemusnahan. (Februari 2009, Ashadi Siregar)