AHMAD WAHIB (alm)

(Artikel ini pernah dimuat di SKH SUARA PEMBARUAN, Selasa 25 Maret 2003)

MENGENANG AHMAD WAHIB

(9 November 1942 – 31 Maret 1973)

Oleh Ashadi Siregar

Ahmad Wahib meninggal akibat ditabrak sepeda motor pengebut, 30 tahun lalu. Catatan hariannya yang diterbitkan pertama kali tahun 1981 (Pergolakan Pemikiran Islam,  LP3ES, Jakarta) tahun ini telah dicetak ulang 6 kali, mendapat perhatian sehingga menjadi perbincangan dalam diskusi publik. Ada yang menyambutnya dengan penuh simpati, tetapi tidak kurang pula yang menghujat berantipati. Hujatan itu sedemikian panas oleh hawa amarah, sehingga menimbulkan tanda tanya bagi saya, percikan macam apakah dari pemikiran Wahib itu sehingga memprovokasi kalangan yang marah itu. Bahasa yang digunakan oleh pihak yang marah itu sebegitu rupa tajam dan emosionalnya, rasanya kalau Wahib masih ada, seakan dihalalkan darahnya.

Saya sendiri, berasal dari lingkungan Islam tradisional di Sumatera Utara, artinya keluarga menerima dan menjalankan agama Islam turun-temurun entah sudah berapa generasi, tidak pernah mempelajari agama sampai ke tingkat filsafat. Saya tidak mampu menangkap percikan yang dapat “membakar” dalam buku itu. Maklum saya belajar agama pada masa kecil hanya dari guru agama di kampung, yang mengajar alif-bata hingga membaca Al-Qur’an disertai hikayat-hikayat dari sejarah Islam versi pak ustad kampung yang diceritakan usai mengaji Al-Qur’an. Bagi saya, agama Islam tidak akan dapat dihilangkan oleh wacana dari teks-teks yang dilahirkan oleh penulis macam apapun, sebab boleh dikata agama ini saya anut melalui proses internalisasi dalam keluarga. Sebagaimana saya alami di masa kecil, dan ini berlanjut pada anak-anak saya yang belajar agama Islam di rumah dengan meminta guru mengajinya datang mengajar. Dengan kata lain, saya menginginkan internalisasi agama Islam berlangsung di lingkungan privat, kendati saya tidak mampu untuk menjadi guru mengaji anak-anak saya.

Setelah dewasa saya tidak pernah ikut dalam pergulatan pemikiran tentang agama seserius Ahmad Wahib. Karenanya saya tidak akan menulis pembelaan atas catatan harian Ahmad Wahib. Terus terang, banyak kegelisahannya yang dicatatnya itu tidak saya pahami, sebab saya tidak pernah intens memikirkan dan merenungkan soal agama yang saya anut. Saya hanya ingin bercerita secara otentik, dari pengenalan saya secara personal Ahmad Wahib sebagai sesama orang muda.

Di antara sekian banyak keberuntungan yang saya nikmati dalam kehidupan ini adalah masa kemahasiswaan saya di Yogyakarta. Di sini saya bertemu dan bergaul akrab dengan sejumlah orang yang berbeda latar-belakangnya dari saya,  yaitu latar belakang disiplin keilmuan, suku atau daerah asal, dan agama. Entah magnit macam apa yang mendekatkan, sehingga saya sempat galang-gulung dengan Ahmad Wahib, anak muda santri asal Madura yang kuliah di Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Alam (MIPA) Universitas Gadjah Mada (UGM). Saya mulai akrab dengan Wahib ketika bersama-sama sebagai peserta dalam kongres luar biasa (KLB) yang diadakan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) di Kaliurang tahun 1969. Kongres diadakan di guest-house milik UGM yang sekaligus tempat menginap. Bersama-sama beberapa hari di penginapan sederhana itu agaknya menumbuhkan keakraban yang membuhulkan persahabatan.

***

Mari surut sejenak ke tahun-tahun akhir 60-an sampai pertengahan 70-an. Di sini ada Galaksi Maliboro. Kaki lima selarik jalan ini menampung berbagai variasi pergaulan. Dalam konteks pemikiran-pemikiran kefilsafatan bertemu sejumlah orang dalam pergaulan intens. Dalam konteks sebagai aktivis politik mahasiswa ada pergaulan sosial dan intelektual, sebagaimana halnya ada pergaulan dalam sastra, seni rupa, musik dan lainnya. Uniknya, manusia-manusia dengan bermacam-macam minat ini biasanya kalau bikin janji bertemu pasti di sepanjang Malioboro, yaitu dari palang kereta api stasiun Tugu sampai ke ujung selatan di Kantor Pos Besar.

Ahmad Wahib lebih getol dalam pergaulan berbau filsafat. Di luar Galaksi Malioboro dia juga aktif dalam kelompok yang mendiskusikan permasalahan agama. Kumpulan ini berbeda dengan makhluk-makhluk diskusi di Galaksi Malioboro yang penampilannya ditandai urakan. Di Galaksi Malioboro, dia juga akrab dengan sejumlah seniman. Jadi begitulah, mahasiswa MIPA, aktivis pers mahasiswa, tetapi lebih asik dengan pemikiran-pemikiran kefilsafatan, tetapi bergaul dengan berbagai macam manusia dengan latar belakang yang berbeda di Malioboro.

Pada tahun-tahun pergaulan itu, anak-anak muda sedang terpesona dengan teori-teori modernitas. Wacana  yang populer saat itu adalah dikhotomis antara negara berkembang (developing countries) dengan negara terbelakang (underdevelop contries). Pertanyaan yang selalu menggoda dalam berbagai diskusi di jalanan, warung atau teras rumah kos adalah perihal perubahan sosial macam apa yang harus diwujudkan. Kebanyakan anak muda percaya penuh pada kemajuan ilmu dan teknologi. Sedang Wahib, kendati terbata-bata sebagaimana kebiasaannya, selalu bicara mengenai nilai-nilai filosofis dari perubahan itu, dan biasanya pula tidak terlalu dipahami oleh teman-teman. Mungkin karena keterbata-bataannya bicara itu, dia merasa lebih leluasa untuk menuliskan gumamannya di buku harian.

***

Dari pergaulan, saya menangkap kesan tentang keugaharian hidup (asketisme) dari Wahib. Mulai dari pakaian yang dikenakan (mahasiswa pada tahun-tahun itu kebanyakan memakai celana jean, sebagai gaya trade-mark aktivis, tetapi saya tidak pernah melihat Wahib berpakaian seperti itu), makanan, sampai cara hidup lainnya. Satu hal yang tidak pernah saya lupakan adalah disiplinnya dalam menjalankan ibadah. Di antara teman-teman yang sok sekuler (ini juga semacam gaya anak muda tahun-tahun itu), pada waktunya solat, dia diam-diam menyisih untuk beribadat. Begitu juga di bulan puasa, di tengah anak muda yang “bangga” menunjukkan tidak berpuasa dengan merokok, dia tetap menjalankan ibadah puasa. Dan yang khas, dia tidak pernah mempersoalkan perilaku sejumlah temannya itu.

Karenanya saya tidak pernah meragukan religiusitas Ahmad Wahib jika beberapa praksis yang dapat tertangkap boleh saya jadikan sebagai parameter. Kesantunan dalam berbicara kepada teman bahkan yang lebih muda, ketaatannya menjalankan ritual, dan keugaharian dalam hidup, bagi saya mencerminkan penghayatan agamanya yang bersifat personal dan transendental. Dengan kata lain, saya melihat bahwa baginya penghayatan agama bersifat absolut manakala bersifat vertikal, yaitu dirinya sebagai individu dalam transendensi dengan Tuhan. Kalaupun individualitas penghayatan agamanya diperluas, adalah ruang privat dalam lingkup keluarganya, orang tua dan saudara-saudaranya. Dengan begitu, baginya doa merupakan transendensi individualitas untuk dirinya, dan orang tuanya.

Dia tidak pernah membawa individualitas penghayatan agama itu ke ruang sosial. Dalam pergaulan dengan teman-teman yang beraneka ragam latar belakangnya, diskusi-diskusi selamanya dengan referensi sosial atau kefilsafatan. Dengan membaca catatan hariannya, baru saya sadari tentang praksis penghayatan keagamaan ala Ahmad Wahib. Penghayatannya yang bersifat individual dan transendental itu saya tafsirkan dari pergaulan dari hari ke hari. Pada hemat saya, baginya penghayatan bersifat absolut dan otentik adalah dari dan bagi dirinya sendiri dalam lingkup ruang privatnya. Karenanya pula dia tidak pernah mempersoalkan penghayatan individual orang lain.

Perihal hubungan individual dan transendental dirinya atau perluasaan dirinya di ruang privat dengan Allah, sebagai suatu yang bersifat absolut, sama sekali tidak ada keraguan sepercikpun. Sementara penghayatan agama di ruang sosial, baginya boleh jadi  sebagai kondisi yang mengundang pertanyaan yang tidak pernah selesai. Bagaimana sesungguhnya penghayatan agama itu harus diwujudkan di ruang sosial? Bagian terbesar catatan hariannya boleh dibilang sebagai renungan tentang keberadaan di ruang sosial.

Pertanyaan-pertanyaannya tentang manusia di ruang sosial ini, agaknya lahir karena sikap dasarnya yang jauh dari kecenderungan kekuasaan dan dominasi. Kerisauannya adalah ketika agama Islam digunakan sebagai instrumen untuk dominasi di ruang sosial (termasuk politik), sebagaimana kerisauannya terhadap teori modernitas ketika menjadi nilai yang mendominasi ruang sosial pada awal tahun 70-an. Karenanya percikan pemikirannya dapat dilihat dari konteks keberadaan seorang yang menghayati agamanya di ruang sosial. Di ruang sosial dia tidak ingin hadir dengan kebenaran absolut agamanya. Jadi mengapa harus menghujat pikiran-pikiran seorang anak muda yang taat menjalankan ibadah agamanya, dan ingin melihat ruang sosial yang lebih nyaman bagi kehidupan manusia? Kehidupan manusia, ini kata kunci dalam melihat ruang sosial.

Hujatan terhadap pemikiran Wahib atau pemikir lain yang sama paradigmanya pada dasarnya bukan datang dari penganut fundamentalisme Islam. Saya membayangkan peran positif kaum fundamentalis di setiap agama yaitu memurnikan nilai keagamaan kembali pada substansi genesisnya, bukan untuk mendominasi ruang sosial. Dengan begitu agama dapat berfungsi kembali untuk purifikasi personal bagi manusia. Sedang dominasi atas ruang sosial tidak datang dari nilai agama, melainkan dari kepentingan politik pragmatis yang bertolak dari nilai otoritarianisme.

Mungkin keberadaan Ahmad Wahib dan pemikirannya tidak menguntungkan bagi pihak-pihak yang memandang agama Islam dapat dijadikan sebagai instrumen untuk mendominasi ruang sosial. Kalau itu terjadi, sudilah memaafkan saya, sebab tulisan ini saya buat karena saya merindukan teman saya yang telah pergi, teman saya yang meninggalkan negeri yang sedang dibisingi oleh kebenaran-kebenaran absolut dari pihak yang  menggunakan agama Islam untuk mendominasi ruang sosial kita. Galaksi Malioboro pun sudah lenyap. Wahib mati muda, karenanya dia tidak perlu menyaksikan ruang sosial Indonesia yang sedang diperebutkan oleh nilai-nilai absolut yang tidak toleran terhadap keberagaman manusia. Dan saya kehilangan seorang teman yang menunjukkan contoh perihal cara beragama secara intelektual, melengkapi tradisi keislaman yang saya bawa dari masa kecil saya. Terimakasih Bung Wahib, sampai bertemu. ***

 

 

 

 

 

Tentang Pancasila

1 JUNI DAN 1 OKTOBER UNTUK PANCASILA 

Ashadi Siregar 

31 Mei 2016

Dua tanggal almanak biasa dikaitkan dengan Pancasila, 1 Juni sebagai hari lahirnya dan 1 Oktober penanda kesaktiannya. Hari lahir itu selama Orde Baru secara sistematis dicoba-hilangkan dari memori bangsa. Dan sepanjang era itu, setiap 1 Oktober dipasang bendera setengah tiang. Rezim Orde Baru menyebut sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Mungkin tidak ada yang mempersoalkan bagaimana kaitan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di satu pihak dan kesaktian Pancasila di pihak lain. Menjadikan 1 Oktober sebagai hari perkabungan nasional akibat terbunuhnya sejumlah perwira TNI tentunya didukung alasan yang kuat. Setiap bangsa perlu memiliki momen-momen yang dapat dimaknai untuk menumbuhkan kesadaran atas identitas dan solidaritas bangsa.

Namun, menjadikannya sebagai momen guna mengagungkan Pancasila atas dasar kesaktiannya merupakan pembodohan rakyat. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ditandai dengan menumbuhkan kesadaran rasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bung Karno sebagai pemikir dan pencetus dasar negara ini mendekati Pancasila secara rasional. Pidato 1 Juni 1945 berisi rasionalisasi yang dilengkapi referensi konseptual atas Pancasila sebagai dasar negara. Sementara Jenderal Soeharto mengajak rakyat mendekati Pancasila secara mistis. Terminologi kesaktian hanya dapat dihayati dengan kesadaran mistis, tidak atas dasar rasionalisme.

Pendekatan konseptual Bung Karno tecermin dalam tulisan- tulisan otentik pribadi dan pidato tertulis dan lisannya sebelum dan sewaktu menjadi presiden. Sementara kecenderungan pemikiran Jenderal Soeharto tidak dapat diketahui dari masa sebelum menjabat presiden.

Pendekatan konseptual terkandung dalam pidato tertulis (yang disiapkan Sekretariat Negara) dan dibacakan Jenderal Soeharto dengan cara datar dan dingin. Sedangkan kecenderungan otentik personal tecermin saat pidato lisan maupun penampilan dalam temu wicara dengan kelompok-kelompok masyarakat yang disiapkan aparat birokrasi negara.

Dalam setiap kesempatan itu ujaran-ujaran lisan pendekatan mistis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara disosialisasikan kepada rakyat.

Mistifikasi kehidupan bernegara

Pancasila sebagai dasar negara perlu didekati dengan kesadaran rasional, dengan kembali kepada gagasan dasar yang dikembangkan Bung Karno. Perlu dibongkar ulang rekayasa intelektual dijalankan oleh Angkatan Darat yang dimotori almarhum Jenderal Nugroho Notosusanto untuk meniadakan faktor Soekarno melalui penataran Pancasila.

Terdapat dua arus besar sosialisasi Pancasila selama Orde Baru. Pertama, secara struktural diwujudkan dengan gaya doktriner melalui perumusan butir-butir yang jumlahnya disesuaikan dengan level target dari indoktrinasi. Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang diselenggarakan secara luas pada berbagai lapis masyarakat bersifat doktriner, jauh dari nilai dasar berbangsa dan bernegara sebagaimana diharapkan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945.

Kedua, secara simbolik, melalui berbagai wacana yang bersifat mistifikasi Pancasila. Di antaranya dengan hari berkabung atas terbunuhnya perwira TNI, dengan ritual untuk menghayati kesaktian Pancasila. Kehikmatan beraroma mistis di monumen Lubang Buaya ini dalam konteks kenegaraan menjauhkan masyarakat dari penghayatan rasional kehidupan bernegara. Upaya peyakinan terus-menerus sepanjang Orde Baru tentang hancurnya kekuatan anti Pancasila berkat kesaktian Pancasila.

Kehidupan bernegara dengan basis keyakinan mistis merupakan bencana bagi suatu bangsa negara modern. Jika aparat birokrasi negara, militer, polisi, bahkan elite masyarakat juga menghayati keyakinan mistis semacam ini, kiranya hanya dapat dibayangkan untuk kehidupan bernegara abad ke-16. Sulit membayangkan masa depan negara pada abad ke-21 dengan basis budaya negara yang dibangun selama 30 tahun oleh Orde Baru.

Karena itu, langkah mendesak adalah demistifikasi atas Pancasila. Termasuk juga meniadakan konteks mistis dalam kehidupan kenegaraan. Ritual ”ruwatan”, misalnya, memiliki signifikansi bagi kehidupan keluarga, tetapi sama sekali tidak punya makna bagi negara.

Presiden RI bukan kepala keluarga, melainkan kepala negara. Negara merupakan sistem yang terdiri dari komponen-komponen politis, sosiologis, dan ekonomis yang integrasinya atas dasar kepentingan rasional yang bertolak dari acuan nilai bersama (shared value). Karena kepercayaan bahwa kehidupan bernegara dapat ditata atas dasar mistis, hanya akan menjerumuskan kita ke dalam Orde Baru Kedua.

Makna perkabungan nasional

Ditumpasnya kekuatan anti Pancasila, atau berbagai pemberontakan, perlu disikapi dengan pemahaman kesejarahan yang bersifat rasional, bukan dengan irasionalitas keyakinan saktinya Pancasila. Setiap keberhasilan dan kegagalan pada hakikatnya berasal dari strategi dan operasi yang dijalankan secara rasional. Dengan rasionalitas ini pula 1 Oktober dapat disikapi sebagai hari perkabungan nasional, bukan untuk ritual kesaktian Pancasila.

Meninggalnya sejumlah perwira TNI pada 1 Oktober 1965 merupakan tragedi yang patut dikenang. Film Gerakan 30 September karya almarhum Arifin C Noer yang diputar berulang selama Orde Baru menggambarkan adegan penculikan dan pembunuhan yang dilakukan segerombolan militer yang disebut sebagai pasukan Cakrabirawa. Begitu juga adegan rapat-rapat yang berlangsung dihadiri oleh orang sipil yang digambarkan sebagai PKI di satu pihak dan militer di pihak lainnya.

Menelusuri tragedi 1 Oktober tidak mengurangi makna perkabungan bagi para perwira TNI. Ini merupakan tugas sejarawan, termasuk TNI sendiri, untuk mengungkap seluruh tabir yang menyelimuti penculikan dan pembunuhan itu, agar tragedi dan perkabungan dapat dihayati secara rasional.

Sejumlah pertanyaan kunci perlu dijawab, sebab yang melakukan penculikan dan pembunuhan, baik dalam buku sejarah ala Nugroho Notosusanto maupun film semidokumenter Arifin C Noer, adalah bagian dari pasukan Cakrabirawa, pengawal kepresidenan.

Soalnya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Cakrabirawa dibentuk atas unsur-unsur angkatan. Personel Cakrabirawa yang terlibat adalah Letkol Untung dan awak pasukannya yang berasal dari Angkatan Darat. Tidak pernah dibukakan bagaimana rekrutmen pasukan Cakrabirawa ini, khususnya yang berasal dari Angkatan Darat.

Apakah bergabungnya Letkol Untung dan awak pasukannya ke dalam Cakrabirawa, atas permintaan Presiden Soekarno dan Komandan Cakrabirawa, ataukah atas penugasan Komandan Kostrad sebagai induk pasukannya?

Begitu pula dalam sejarah resmi digambarkan adanya perwira- perwira Angkatan Darat yang berhasil dipengaruhi oleh tokoh-tokoh sipil dari PKI. Untuk itu perlu ditelusuri tipologi ”kedunguan” dari perwira Angkatan Darat yang begitu mudah dipengaruhi dan digerakkan oleh orang sipil.

Garis komando yang sering dipujikan dalam lingkungan militer dapat diambil alih oleh orang sipil, yang notabene dalam buku sejarah dan film Arifin C Noer orang ini tidak jelas posisinya dalam kepengurusan PKI.

Satu Oktober 1965 dapat dijadikan titik tolak dalam penelusuran sejarah bangsa. Siapa tahu kita akan sampai pada kesimpulan bahwa dengan terbunuhnya para pahlawan revolusi, yang kemudian disusul pembunuhan massal (belasan, puluhan, ratusan ribu korban rakyat Indonesia, yang mana pun bilangannya, perlu verifikasi) akibat eksploitasi konflik horizontal yang bersifat laten dalam masyarakat, maka kita memang sangat layak punya Hari Perkabungan Nasional.

Perkabungan untuk suatu bangsa yang sanggup membunuhi sesama manusia tanpa rasa bersalah.

ASHADI SIREGAR, PENELITI MEDIA DAN PENGAJAR JURNALISME, BERMUKIM DI YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul “1 Juni dan 1 Oktober untuk Pancasila”.