DARI KAMERAD

TESTIMONI

Oleh Ashadi Siregar

Ponsel saya berbunyi, panggilan masuk, tanpa nomor, tampilan private. Dari luar negeri atau menyembunyikan identitas? Seorang menyapa saya. Dari suaranya yang serak-serak kering, saya menyimpulkan dia selansia saya. Dan benar, sebab dia langsung menyebut nama saya tanpa embel-embel yang lazim: bang.

“Adi, sudah kubaca buku yang ditulis tentang kau, Penjaga Akal Sehat itu. Seingatku dulu otak kau méréng, bagaimana bisa menjaga akal sehat orang?” dia terbahak-bahak, lalu terbatuk-batuk.

Méréng? Menilik gaya bicaranya, orang dari seberang, Sumut, dan pastilah kenalan pada masa lalu saya. Buku yang dimaksudnya adalah Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru, terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Saya berusaha memeras ingatan, siapa orang ini? Karena saya masih diam, dia menukas:

“Halo, tak kau kenal aku?” katanya mendesak, seolah saya telmi (telat mikir).

Sinting atau sok akrab? Apakah saya sering ketemu dia, tapi dimana, dan dalam konteks apa?

“Aku ‘anu’…” (menyebut nama).

Saya tetap berusaha memeras ingatan. Tetapi nama itu tidak ada dalam benak saya. Kalaupun dia pakai videophone, belum tentu saya mengenalinya. Dari suaranya saja saya sudah bayangkan bahwa wajah tuanya pasti sulit saya kenali. Cuma simpul saya, karena dia sudah membaca buku yang belum beredar luas di pasar, tentunya dia ada Jakarta dan punya akses pada orang-orang yang mengurus penerbitan buku itu. Siapa kau pak tua? Saya penasaran.

“Kita satu angkatan, tahun 64 dulu di Pagelaran. Kau sospol aku hukum. Tapi kita kerap ketemu waktu belajar malam hari di Sitihinggil,” ujarnya.

Ya, saya ingat Sitihinggil, yaitu balai paseban kraton Yogyakarta yang dipinjam-pakaikan Sultan HB IX pada UGM. Dalam suasana keterbatasan daya listrik yang hanya 112 volt di Yogyakarta, mahasiswa yang di tempat kosnya remang-remang biasanya belajar ke Sitihinggil. Di tempat itu lampu listrik terang benderang. Kebanyakan anak luar Jawa, selain membaca, juga berdebat (lebih tepat bertengkar) dengan suara keras, membuat mahasiswa yang tekun membaca terganggu. Banyak kenalan saya, hampir semua mahasiswa dari seberang belajar di Sitihinggil.

“Kau tak ingat aku, tak apalah. Aku cuma kuliah satu tahun di situ. Tahun 66 aku diciduk.”

Ah, saya menarik napas dalam.

“Tahun 80-an aku baca novel kau Jentera Lepas. Aaah…, cerita kau ‘tu belum apa-apanya dibandingkan yang kami alami,” lanjutnya.

“Ya, ya, ya,” jawab saya. “Sebatas itulah imajinasiku. Tapi apa subyektivitasku itu cukup bernilai menurut kau?” kata saya meniru gaya bicaranya.

“Yaaa, lumayanlah. Calak-calak ganti asah…,” katanya dalam gaya Melayu Deli, “sebagai cerita yang dibuat orang yang tidak mengalami sendiri. Kau ‘kan beda sama Pram.”  Nadanya melecehkan.

“Terimakasihlah kalau begitu,” kata saya.

Tentu saja saya bukan padanan Pramudya Ananta Toer, seorang pengarang dan wartawan yang mengalami langsung seluruh bentuk penindasan kekuasaan negara, dari penjajah sampai pemerintahan sendiri. Saya tidak mengalami apapun, kecuali dunia sekolahan dan bacaan. Saya teringat teman-teman yang sering berkumpul malam hari di Sitihinggil. Belakangan, di antaranya saya tahu ada yang CGMI, organisasi mahasiswa yang diangggap sebagai onderbouw PKI. Gaya melecehkan seperti itu sering saya hadapi, yang memancing debat tarik urat leher. Tapi sekarang saya tidak berselera debat lagi. Capek.

“Tapi bukan soal novel  yang mau kubicarakan. Soal buku tentang kau itu. Dari tulisan-tulisan yang kubaca, tidak jelas bagiku, bagaimana sesungguhnya kau jadi penjaga akal sehat itu. Apa para penulis yang diminta menyumbang tulisan, memang membayangkan kau berguna sebagai penjaga akal sehat? Cuma judul saja barangkali? Tapi sudahlah. Karena ditujukan pada kau, tentunya testimoni. Sebagai testimoni, tentulah harus ada  subyektivitas yang bernilai disitu!”

“Maksud kau?” tanya saya.

“Testimoni adalah subyektivitas penulis tentang sesuatu, yaitu kau. Untuk itu si penulis harus punya imajinasi tentang sosok kau, dan dengan subyektivitasnya itulah kau direkanya jadi tulisan.”

“Kupikir seperti itu tulisan-tulisan di buku itu,” kata saya.

“Kau sendiri, sudah baca?” sergahnya.

“Eh, beberapa sudah, tapi baru baca cepat.“

Dia nyerocos. Ujarannya yang menggebu-gebu, sangat tidak teratur (maaf kamerad!). Jadi harus  saya susun ulang, begini:

Buku itu menggolongkan tulisan-tulisan dalam 2 kelompok: “Kawan, Kolega, dan Guru yang Sinis namun Humoris” dan “Aktivis, Novelis, dan Kritikus Jurnalisme yang Konsisten”.  Jadi buku ingin menyampaikan sosok ‘orang yang sinis namun humoris’ dan ‘orang yang konsisten’. Padahal apakah sosok kau sekadar 2 dimensi itu? Di buku setebal 374 halaman itu tak ada kulihat deskripsi bagaimana sinis atau humorisnya kau. Kalau hanya lewat ketawa atau senyum dibilang sinis, belum bisa menggambarkan kau sebagai homo-sinicum. Begitu juga soal kau humoris?  Humor kau cuma ada secuplik dalam tulisan Masmimar Mangiang, Ignatius Haryanto, atau pun Butet Kartarejasa. Lainnya komentar saja. Kalau kau memang humoris, pastilah banyak kumpulan anekdot yang bisa dicatat, meskipun tidak akan menyamai Gus Dur. Begitu pula soal konsistensinya kau, sebagai aktivis dan kritikus jurnalisme, mungkin bolehlah, walaupun masih terbuka untuk diperdebatkan seperti apa konsistensinya kau. Lalu macam mana pula konsistennya kau sebagai novelis? Bah, puja-puji kosong itu.

Tulisan-tulisan itu seharusnya terbagi 4, yaitu satu yang bertolak dari passion pribadi, kedua bersifat otentik, dan ketiga deskriptif, dan keempat dialektika dengan gagasan kau.

Seperti tulisan Jakob Utama, masuk kelompok satu, kulihat dia menggambarkan kau dengan subyektivitasnya, bertolak dari keprihatinannya mengenai dunia obyektif pers di Indonesia. Atau tulisan Daniel Dhakidae, saat membayangkan kau, dia menghidupkan subyektivitas dalam ruang ingatannya tentang gerakan mahasiswa di Yogyakarta tahun 70an. Subyektivitasnya bisa berinteraksi dengan obyektivitas. Banyak tulisan yang bagus, yang ditulis dengan passion. Subyektivitas bernilai kalau didorong oleh passion dalam menghadapi dunia obyektif.

Selanjutnya tulisan subyektivitas yang bagus pada kelompok kedua, seperti tulisan Saur Hutabarat, Rizal Mallarangeng, Hotman Siahaan, Budiman Tanuredjo dan beberapa yang lain. Orang-orang ini menanggalkan semua beban diri dan statusnya sekarang, kembali ke dunianya yang dulu sebagai mahasiswa. Menjadi otentik. Otentisitas itu diwujudkan dengan menulis dalam kejujuran. Jujur dengan dirinya lebih dulu, baru kemudian memotret kau, dalam arti menggambarkan keberadaan kau terhadap dirinya. Untuk itu harus rela menjadi tidak siapa-siapa, mengenangkan saat-saat membiarkan dirinya berproses bersama kau.

Tulisan kelompok satu dan dua itu, berupa testimoni bersifat subyektif-intelektual dan subyektif-otentik. Yang satu, subyektivitas dalam bingkai intelektualitas atau rasio menghadapi dunia obyektif untuk dijadikan ruang bagi kau sebagai sosok yang ditulis, mewacanakan bahwa kau punya impak secara obyektif. Dan yang kedua subyektivitas dalam bingkai kejujuran dalam perasaan atau hati saat menulis tentang kau, berupa impak kau terhadap pribadi si penulis secara subyektif.

Kemudian kelompok ketiga, menggambarkan kau sejauh yang diketahuinya. Tidak dengan passion atau otentisitas, tetapi mendeskripsikan sosok kau. Kebanyakan tulisan yang ada kumasukkan kesini, seperti tulisan duo Lubis Zulkifly dan Amarzan, atau Mohtar Masoed, Imam Yudotomo, Garin Nugroho, Bakdi Sumanto, dan lainnya, yaitu para sahabat atau teman kerja atau teman pergaulan di lingkup kampus, jurnalistik, lembaga swadaya masyarakat, dan seni, sesuai kiprah kau. Kelompok ini campuran orang-orang yang mengenal kau sejak muda, dan yang mengenal kau setelah tua bangkotan. Kau dilihat sesuai versi masing-masing, dengan deskripsi obyektif para penulis itu, mosaik kau bisa direkonstruksikan.

Tulisan jenis ketiga ini harus diwaspadai dari kecenderungan mitologisasi, atau pun dorongan voyerisme. Mitologisasi sebagai pemujaan dan voyerisme sebagai hasil pengintipan, ini sama buruknya sebab tidak memerikan realitas empiris, hanya berdasarkan dugaan, persangkaan, atau dengar-dengar dari kiri-kanan, sehingga kau semacam legenda, atau parahnya semacam obyek gosip.

Yang keempat, seperti tulisan Gunawan Mohamad, dia melihat gagasan kau tentang informasi, terus mengolah gagasannya sendiri. Begitu juga Veven SP Wardhana, menempatkan tema-tema dari novel kau di dalam gagasannya. Atau J Anto yang menggunakan gagasan kau soal media watch dalam praksis kegiatannya. Jadi mereka berdialektika sama gagasan kau.

Nah, barangkali konsep buku ini tidak secara jelas diberi tahu pada calon penulisnya. Apakah buku ini sebagai testimoni dan deskripsi tentang keberadaan kau dalam interaksi sosial yang melibatkan si penulis, ataukah plus mengupas gagasan atau wacana teks yang kau hasilkan.

Kalau mau dilengkapi dengan kupasan tentang dunia gagasan yang kau lontarkan dalam masyarakat, seharusnya banyak orang yang bisa diminta untuk tulisan semacam itu. Gagasan-gagasan kau tentang jurnalisme dan media umumnya dalam konteks politik, ekonomi dan kebudayaan tentunya dapat menggugah pemikiran. Begitu juga kau selama ini berinteraksi dengan kalangan seniman.

Artinya kau juga punya passion yang selama ini telah kau aktualisasikan dalam berbagai kesempatan. Bukan hanya soal pers dan jurnalisme, juga pernah kubaca tulisan kau tentang televisi, disitu ada passion. Kedengar kau masuk dalam lingkungan seni-rupa sehingga ada pelukis besar yang minta kau memberi pengantar pamerannya. Atau soal film, teater, dan kebudayaan lainnya. Ah, macam-macamlah yang kudengar. Banyak orang yang pernah bersentuhan dengan kau dalam berbagai bidang itu. Maksudku gagasan kau seharus dapat memancing orang untuk mengembangkan pemikirannya sesuai dengan wacana yang kau lontarkan. Gagasan akan bernilai jika dapat menggugah untuk munculnya ketidak-sepakatan atau pemikiran dan perspektif lain. Itu akan memperkaya wacana dalam ranah intelektual kita.

Tetapi kalau mau kembali sebagai testimoni dan despripsi obyektif saja, itu juga tidak sederhana. Sulitnya bikin tulisan semacam ini, tidak setiap orang punya subyektivitas dalam kerangka intelektualitas dan kejujuran, dan mengenali kau luar dalam. Kalau tidak ada sikap dengan passion dan otentik serta obyektivitas, seperti kubilang tadi, tulisan cuma puja-puji atau basa-basi, atau berdasarkan “yang disangka”nya, atau lebih parah kalau kau hanya dijadikan kapstok untuk memajang dirinya yang ‘berjasa’ besar.

Ada kutemukan jenis tulisan yang terakhir ini. Mungkin editor buku itu mengira, dikarenakan seseorang pernah bersama kau dimasa lalu, dapat menuliskan pengalaman itu. Masa kekiniannya dengan ambisi-ambisinya, mungkin telah merusak kejujurannya dalam membayangkan kau. Dia menulis bukan dari interaksi sebelum dia menjadi seperti sekarang. Dia menulis masa lalu dengan kecenderungan dirinya sekarang. Padahal sekarang dia sudah tidak punya pertalian lagi dengan kau. Artinya dia tidak surut ke belakang pada saat masih bergaul dekat. Dia menulis dengan kepentingannya dan latar dirinya sekarang, dalam melihat kedirian kau. Begitulah, untuk deskripsi secara obyektif, diperlukan kejujuran. Berikutnya, menuliskan apa yang terjadi dalam interaksi, bukan dengan kalimat penyimpul yang tidak dideskripsikan secara empiris!

“Baiklah, nanti kubaca ulang untuk menikmati tulisan kawan-kawanku itu,” kata saya.

“Tapi di luar itu, kalau orang lain bisa menulis tentang diri kau, kau ‘kan penulis, mengapa kau sendiri tidak menulis tentang kau?” katanya.

“Aku ‘kan bukan mantan menteri atau jenderal yang layak bikin biografi,” jawab saya.

“Biografi itu soal subyektivitas yang di-intelektualisasi-kan, dan kejujuran yang di-aktualisasi-kan. Mantan menteri atau jenderal belum tentu punya itu, mereka hanya punya rekening gemuk di bank,” katanya ketus.

“Awak ‘ni apalah. Apa pula jalannya berani-berani mau menulis tentang diri sendiri.”

“Setidaknya subyektivitas kau tentang diri kau, sama berhak dengan subyektivitas orang lain. Yang penting adalah mengungkapkan diri dalam konteks intelektualitas dan dorongan kejujuran.”

“Ah, terlalu berat untukku.”

“Paling tidak biar bisa dibaca bekas mahasiswa kau atau wartawan yang pernah kau didik.”

Saya diam.

“Paling tidak biar dibaca anak-anak kau,” katanya.

“Baik kupikirkan,” kata saya supaya pembicaraan diputus, sebab ponsel sudah panas di telinga saya.

“Okelah kalau begitu,” katanya meniru pelawak di tv.

“Eh, omong-omong, dimana kau selama ini?”

“Ah, itu tak penting,” katanya. “Bahwa aku bisa tahu nomor kau ini, menunjukkan aku punya akses kemana-mana.”

Bah, pembual tua dari mana pula ini? Tetapi dengan tantangannya, apakah saya harus mengatakan: mengapa tidak?

Dari kolega

Suratkabar Harian Surabaya Post, 4 Juli 1995

KANO KECIL ASHADI SIREGAR

Oleh Masmimar Mangiang

Kemarin, 3 Juli, Drs Ashadi Siregar, genap 50 tahun. Tokoh pendidik jurnalistik dan pengamat pers yang kritis, sekaligus dikenal sebagai novelis Cintaku di Kampus Biru ini, di hari ulang tahunnya justru “menghilang” mengikuti seminar sehari di salah satu universitas di Yogyakarta. Ia memang tak pernah menganggap hari ulang tahunnya sebagai sesuatu yang istimewa. Berikut ini sosok Ashadi Siregar digambarkan oleh Masmimar Mangiang – wartawan yang kini Pemimpin Redaksi Harian Ekonomi Neraca, juga staf pengajar F1SIP UI. (Redaksi)

TAKHAYUL atau bukan, percaya atau tidak itu, bukanlah soal. Yang terjadi, angka 13 pernah membawa sial bagi Ashadi Siregar. Mingguan Sendi yang dia terbitkan bersama beberapa aktivis pers mahasiswa di Yogyakarta pada 1971 silam, ditutup penguasa setelah 13 kali terbit. Edisi nomor 13 itu membawa Bung Ashadi, Pemimpin Redaksi Sendi, ke Pengadil-an Negeri Yogyakarta.

Adalah editorial tentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang menjadi pencetus perka­ra ini. Di sidang pengadilan diperta­nyakan, siapa penulis tajuk tersebut, Ashadi dengan rambut gondrong sepundak pada masa itu, mempergunakan haknya untuk tidak menjawab dan mengatakan, itu menjadi tanggungjawab dia sebagai pemimpin redaksi. Manakala pemeriksaan selesai, semuanya berlalu dan ia tinggal sebagai catatan sejarah. Selain dari pelarangan terbit untuk Sendi, vonis bagi Ashadi adalah hukum-an percoban satu tahun penjara.

Vonis ini memang tak pernah membawa Ashadi ke bui. Tapi kasus Sendi tcrcatat sebagai kasus pembredelan pers yang pertama yang dilakukan Orde Baru. Ironisnya, ia terjadi pada masa angin kebebasan pers mulai a­gak berembus setelah mengalami ma­sa sulit pada masa Orla. Sendi mati sekitar tiga tahun setelah beberapa surat kabar yang diberangus Orla rnendapatban hak hidupnya kembali.

Mingguan ini dibredel di masa pers Indonesia baru mulai sedikit agak leluasa berbicara tentang restrukturi­sasi politik dan penyelenggaraan pe­milihan umum, korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan. Hanya saja pa­da masa seperti itu pula pembelaan terhadap Sendi yang dimatikan ini, sedikit sekali diperdengarkan.

Proses Degradasi

Entah karena kasus Sendi atau bukan, entah karena pengadilan itu atau tidak – itu bukanlah soal – berbagai aspek dalam peri-kehidupan pers dan profesi kewartawanan bagi Ashadi masuk di tempat yang paling banyak diperhatikan dalam pemikirannya dan menjadi aktivitas yang cukup banyak dia kerjakan dalam mengisi ha­ri-harinya kemudian.

Kasus Sendi adalah kasus yang timbul hampir seperempat abad yang silam. Kasus ini adalah kasus penca­butan hak hidup institusi pers. Untuk hal mendapatkan hak hidup atau ke­hilangan hak hidup, dalam rentang waktu dari kasus Sendi hingga hari ini, pers Indonesia tidak pernah men­catat adanya kemajuan.

Walau ada surprise yang agak “menghibur” yang diberikan PTUN Jakarta dengan memenangkan guga­tan karyawan majalah Tempo terha­dap Menteri Penerangan – atas pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo – soal ini belum membuahkan kegembiraan. Ia belum selesai, karena masih harus menunggu proses peradilan selanjutnya.

Riwayat macam apakah riwayat kebebasan pers di Indonesia? Jawab­annya sudah sangat jelas bagi banyak orang. Para wartawan sangat paham dan punya pengalaman yang tak sedikit tentang imbauan langsung dan imbauan via telepon untuk berita (kenyataan sosial) yang tak boleh diberitakan. Para penerbit tentu punya pula catatan, berapa penerbitan pers yang mati karena bangkrut, dan berapa lagi yang lenyap karena dilarang terbit. Para pembaca pun tak keku­rangan pengalaman dalam hal kehilangan media yang disukainya sewak­tu-waktu.

Ashadi pernah menulis, “Dari tahun ke tahun sebenarnya terjadi pro­ses degradasi institusi pers. Jika pada masa awal republik, kemitraan pers dengan birokrasi dimulai dari hubungan antar individu sesamanya, ma­kin lama hubungan yang berlangsung semata-mata bersifat institusional. Berbagai macam regulasi dan ’treat­ment’ atas institusi pers menjadikan kemitraan bersifat tidak seimbang”.

Pers Indonesia mungkin memang ditakdirkan untuk selalu menghadapi berbagai masalah yang tak dapat di­katakan ringan. Belum setahun pembatalan SIUPP Tempo, DeTik, dan E­ditor berlalu sebagai persoalan yang mewakili masalah kebebasan pers, tiba-tiba suplai dan harga kertas menjadi masalah yang cukup serius bagi bisnis penerbitan. Ia membuat daftar persoalan kian panjang.

Makin panjang daftar persoalan ini, makin panjang pula catatan yang menggugat pemikiran orang seperti Asha­di. Kepeduliannya un­tuk persoal­an pers dan kewartawa­nan senan­tiasa hidup dan muncul sebagai tema berbagai tulisannya dan topik dalam ber­bagai cera­mah yang dia berikan.

Dia mengin­gatkan orang ketika menyaksi-kan nilai-­nilai mana­jemen dalam bisnis pers industri mu­lai menjadi dominan di atas nilai-nilai jurnalisme. Dia terganggu melihat warta-wan yang kemampuan teknis jurnalismenya sangat ala kadarnya dalam memeriksa persoal-an dan melayani masyarakatnya dengan infor-masi yang bernilai. Dia risau ketika menyaksi-kan mulai terganggunya moral profesi wartawan.

Hanya sedikit orang, baik sarjana ilmu komunikasi maupun wartawan itu sendiri, yang memberikan kepedu­lian pada masalah ini sampai pada taraf seperti itu. Di antara yang sedikit ini, ada sedikit lagi yang terikat pada persoalan itu begitu kuat, gelisah dan memper-soalkannya karena melihat perkem-bangannya dari waktu ke waktu. Ashadi Siregar adalah salah satunya. Obsesinya itu seakan men­dapat tempat di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogyakar­ta (LP3Y) yang kini dipimpin dan dikembangkannya bersama bebe-rapa kawannya yang sepemikiran.

LP3Y adalah lembaga yang menyeleng-garakan pendidikan jurnalisme, tak sebatas meningkatkan kemampuan teknis penghimpun-an bahan lapor­an dan penulisan, tapi mencoba me­mulai pelatihan itu pada penyadaran akan fungsi pers dan wartawan. Ba­rangkali LP3Y sendiri akan menam­pik jika dikatakan sudah mencoba ba­nyak berbuat untuk itu. Namun ada­lah kenyataan, lembaga ini mencoba memi-kirkan dan berbuat untuk investasi sumber daya manusia dalam dunia pers. Jika dikatakan tidak banyak yang mencoba melakukan hal yang sama – yang tidak pernah men­janjikan keuntungan material ini – a­gaknya tidaklah pula berkelebihan.

Kenapa upaya ini bisa hidup di lembaga tersebut, agaknya karena ia memang berangkat dari ide seperti itu sejak didirikan pada 1978 lalu. Tapi kenapa ide itu dapat terpelihara, itu adalah karena Ashadi.

Wartawan adalah sejarawan yang beraksi setiap saat. Dia bekerja menyingkap realitas masyara­katnya, untuk diketahui dan dihayati dengan pemikiran serta tindakan oleh masyara-katnya dalam mengisi peradaban.

Kalimat ini terlalu gagah dan agak som­bong di telinga orang yang melihat profesi jur­nalistik se­bagai pekerjaan yang hanya ”bertanya, mendengar, melihat, mencatat, dan menuliskan”.

Tapi bagi Ashadi itu bukanlah se­suatu yang sombong, karena hakikat kehadiran jurnalisme dan wartawan memang harus demikian. Jurnalisrne – setelah terlalu sering terpental-pental oleh kepentingan politik dan kepentingan bisnis – agaknya me­mang harus dikembalikan ke tempat semula. Ikhtiar yang dilakukan Ashadi dalam mengingatkan orang dan mencoba menegakkan martabat pers serta profesi kewartawanan itu terkadang bagaikan kano kecil yang dikayuh melawan arus. Tapi jika kano itu tidak ada, kita mungkin telah hanyut terlalu jauh.

Ashadi Siregar lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Dia tamat dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM, kemudian jadi pegawai negeri, mengajar di sana. Dia sudah menjadi “orang Yogya”. Bersama istri­nya, Helga Korda – lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia – dia punya dua anak laki-laki, Banua (13) dan Mesa (9). Keluarga ini tinggal di perumahan Minomartani, Yogyakarta bagian utara.

Di luar keluarganya, Ashadi sebe­narnya punya beberapa dunia. Du­nianya yang pertama (penomoran ini tidak menunjukkan urutan prioritas) adalah kampus. Sebagai doktorandus ilmu komunasi tidak pernah terde­ngar ada niat dia untuk menempuh pendidikan S2 atau keinginan untuk menjadi doktor. Dunianya yang kedua adalah jurnalisme. Dunia berikutnya adalah sastra. Novelnya, yang membuat namanya dikenal lebih luas ada­Iah Cintaku di Kampus Biru, Kuga­pai Cintamu, Terminal Cinta Terakhir, Frustrasi Puncak Gunung dan Jentera Lepas.

Rambutnya kini tak lagi gondrong seperti ketika dia bersama para seniman Yogya bergentayangan di Ma­lioboro. Rokok pun sudah ditinggal­kan. Bir? Sekali-kali, ala kadarnya. Perawakannya biasa saja. Tapi mung­kin lebih cocok kalau dia disebut kerempeng. Tubuhnya tak berlemak seperti orang yang berkelebihan menikmati berkat pembangunan. Cara berjalan-nya sama sekali tidak gagah. Kacamatanya tebal. Kalau berbicara aksen Siantarnya masih terdengar, tipis. Dia bisa kocak jika dia rasa enak untuk kocak, tapi bisa ketus, di mana perlu. Dia tidak pandai mengukur ni­lai kerja dirinya dengan duit. Mungkin anak pegawai negeri ini tidak barbakat dagang. Kalau itu kelemahan, itu mungkin takdir baginya. Jika itu kekuatan, sikap seperti itulah yang membuat, dia tak pernah menjual diri.

Kemarin, 3 Juli 1995, usia Bung Ashadi 50 tahun. Banyak orang, konon, pada usia setengah abad itu mencoba melihat ke belakang ke jalan yang pernah dia lalui. Jika Bung Ashadi juga melakukan itu, dia akan melihat hampir separo dari usianya yang dia jalani sebagai orang yang amat peduli dengan kehidupan pers dan dunia profesi kewartawanan.

Besok mungkin dia masih berada di jalan itu, dan pers Indonesia yang besok itu, boleh jadi pers Indonesia yang masih merisaukan alam pemikirannya. ***