Pelajaran Sederhana (1)

WAWANCARA JURNALISTIK

Oleh Ashadi Siregar

Pada suatu sore di akhir 80-an. Sedang asyik-asyiknya menikmati kesendirian dengan sebuah buku, saya terusik bel rumah. Seorang muda bertamu. Saya tidak mengenalnya, karenanya setelah menjawab salam awal persuaan, saya menunggu dia memperkenalkan diri.

”Saya dari ’….’,” dia menyebut nama sebuah media majalah mingguan terbitan Jakarta, ”saya mendapat tugas untuk mewawancarai bapak.”

Bukan namanya yang dia sebut. Jadi dia ingin anonim saat berwawancara.

Dia mengeluarkan selembar kertas faks dan tape recorder. Kelihatannya dia yakin, dengan menyebut nama medianya, setiap orang akan sangat ingin diwawancarai. Hm, pasti dia bukan mahasiswa saya, dan juga tidak pernah mengikuti latihan jurnalisme yang di dalamnya saya terlibat. Sebab tidak lazim mahasiswa atau calon wartawan yang mengenal saya, memperlakukan saya sebagai bapak-bapak, apalagi dengan gaya congkak saat menyebut nama medianya. Boleh jadi oleh seniornya ditanamkan kebanggaan akan reputasi medianya, tapi dalam tangkapan saya menimbulkan kesan arogan. Bisakah dibedakannya pride (bangga) dengan congkak?

”O, begitu,” kata saya, tentu sudah dengan nada yang datar. Bisa anda bandingkan dua situasi: kenikmatan dari buku, dengan waktu yang harus saya sediakan untuk si reporter?

Boleh jadi dia terintimidasi dengan nada datar sambutan, duduknya mulai gelisah.

Saya tidak tertarik dengan nama medianya, meskipun banyak di antara pengelola media itu yang sudah saya kenal belasan tahun, dan media ini punya reputasi tinggi. Tetapi yang lebih penting bagi saya adalah tentang dirinya. Saya ingin  mengenalnya, dan sedapat mungkin tahu latar belakang yang mempertalikan dia dengan saya. Saya tidak memerlukan basa-basi, apalagi nama besar media tempatnya bekerja yang dibanggakannya. Saya hanya ingin tahu bahwa dia sebagai reporter memang pernah bertemu dengan saya dalam kesempatan atau forum-forum yang membahas masalah jurnalisme. Kalau dia (bekas) mahasiswa, dapat menyebut kelas yang saya ampu manakala dia pernah menjadi peserta. Atau di antara sekian banyak pelatihan atau diskusi yang telah saya hadiri, dan dia ada di dalamnya. Percakapan dapat dimulai dari persoalan yang pernah dibahas disitu. Atau dia mempertalikan dengan seseorang yang saya kenal baik, yang pernah berurusan dengan dia. Kalau memang perlu basa-basi profesional, percakapan semacam itu yang saya perlukan.

Mungkin reporter muda ini tidak pernah mendapat pelatihan wawancara di kantornya. Bukankah selalu ditekankan perlunya ’ice-breaking’ dalam suatu interaksi? Dan pemecah kebekuan yang efektif adalah percakapan dengan topik yang mempertalikan diri si pewawancara dengan terwawancara.

***

Perjuangan awal seorang reporter muda adalah menghadirkan diri dalam interaksi, dan dalam perjalanan panjang akan memiliki hubungan dengan berbagai kalangan, orang-orang yang punya peran dalam kehidupan publik. Karenanya nilai diri seorang jurnalis adalah goodwill, berupa daftar panjang relasi yang mengenal dan mempercayainya, sekaligus bersedia menjadi narasumber,

Bagaimana jika deretan ”daftar nama” relasi belum panjang? Saur Hutabarat, lulusan jurusan Ilmu Komunikasi UGM, belakangan sebagai jurnalis handal, pernah bercerita dalam salah satu program pelatihan calon wartawan di LP3Y. Saat dia baru meninggalkan kampus dan masih dalam status reporter pemula, oleh redakturnya ditugasi mewawancarai Prof Oemar Senoadji. Bayangkan, seorang wartawan greenhorn, harus menemui seorang mahaguru hukum sekaligus Ketua Mahkamah Agung.

Setelah diterima di ruang kerja Prof Oemar, Saur membuka percakapan: ”Boleh dibilang, saya ini cucu murid atau bahkan mungkin cicit murid bapak.”

Prof Oemar melengak.

”Iya pak, saya tidak beruntung langsung menjadi mahasiswa bapak, tapi diktat kuliah bapak sewaktu mengajar Hukum Pers di Gadjah Mada, diwariskan dari generasi ke generasi, sebagai pegangan kami,” lanjut Saur.

Prof Oemar terkuak nostalgianya manakala mengajar di Pagelaran Kraton Yogyakarta, tempat kuliah mahasiswa Fakultas Sosial dan Politik dan Fakultas Hukum saat Universitas Gadjah Mada belum punya gedung. Percakapan bermula tertang pengajaran hukum. Maka terbuhul pertalian. Di sini Prof Oemar sebagai guru Ilmu Hukum. Setelah bercakap-cakap beberapa menit, kemudian dia menyediakan diri, sebagai narasumber untuk isu yang akan diangkat media tempat Saur bekerja. Maka Ketua Mahkamah Agung berbicara pada si reporter pemula.

Dapat dipahami bahwa terwawancara yakin bahwa reporter muda pewawancara dihadapannya, memiliki pengetahuan memadai yang diperlukan dalam wawancara tentang masalah hukum. Karenanya dapat dimaklumi manakala kemudian wawancara sesuai isu yang akan ditulis, berlangsung dalam diskusi yang intensif. Dan Prof Oemar Senoadji menyediakan waktu melebihi yang ditentukan semula oleh stafnya.

***

Wawancara jurnalisme bukan tanya jawab dengan kuesioner. Wawancara merupakan dialog, yaitu interaksi antara pewawancara dengan terwawancara. Walaupun menggunakan piranti perekam, mungkin berupa tanya-jawab, tetapi sebagai suatu dialog yang bertolak dari upaya merekonstruksikan suatu fakta atau wacana.

Pekerjaaan jurnalisme pada hakikatnya diwujudkan dengan wawancara. Jurnalis tidak pernah menciptakan berita, sebab berita selamanya berasal dari fakta. Fakta berada dalam ruang dan waktu tertentu, biasa disebut berada di lapangan (field). Setiap fakta lapangan, melibatkan orang atau person yang mengalami atau menyaksikan (bersifat empiris), atau person yang berpendapat atas suatu fakta. Dengan begitu suatu berita akan bertumpu pada pengalaman empiris atau pun pendapat seseorang. Untuk mendapatkan pengalaman dan pendapat ini setiap jurnalis harus menggunakan teknik wawancara. Dalam kerjanya seorang jurnalis dapat juga menggunakan teknik observasi, tetapi harus disadari bahwa hanya fakta fisik yang sedang berlangsung dapat diobservasi. Jaranglah seorang jurnalis berhadapan dengan fakta semacam itu. Fakta fisik yang dipertunjukkan sehingga tersedia untuk diobservasi hanyalah dalam upacara, olahraga, acara seni atau kegiatan teragenda lainnya. Sedang fakta selamanya sudah berlalu saat jurnalis berada di lapangan.

Ya, fakta lapangan umumnya sudah berlalu, karenanya harus direkonstruksi dari keterangan narasumber. Begitupun suatu pendapat, hanya dapat ’dikeluarkan’ dari alam pikiran seseorang dengan wawancara, kecuali dia menceramahkannya. Kerja jurnalisme pada hakikatnya upaya merekonstruksikan pengalaman empiris narasumber dalam suatu deskripsi faktual, atau merekonstruksikan pendapat narasumber sebagai suatu wacana.

Perlu disadari bahwa dalam suatu wawancara untuk mendapatkan pendapat, terwawancara pada dasarnya perlu meyakini bahwa reporter pewawancara punya pengetahuan yang memadai untuk interaksi dialog itu (Disini berpengetahuan harus dibedakan dengan sok tahu. Berpengetahuan bersumber dari kualitas diri, sok tahu hanya dari pencitraan). Mengapa? Sebab ”mengeluarkan” pendapat dari alam pikiran seseorang untuk kemudian merekonstruksinya sebagai wacana diperlukan pengetahuan untuk mendukung proses dialog.

***

Nah, kembali ke reporter muda yang mau mewancarai saya. Sebelumnya saya sudah mengetahui ada kasus yang dialami oleh satu media pers berhadapan dengan aparatur kekuasaan negara. Jelas saya bukan penguasa ataupun pengelola media dalam kasus itu, karenanya tentulah dia tidak bermaksud merekonstruksi fakta dari saya. Dugaan saya, dia ingin mendapatkan komentar atau pendapat saya tentang kejadian yang menimpa media tersebut.

Kendati tidak mendapat petunjuk apapun yang dapat membuka interaksi, saya menyediakan diri untuk diwawancarai. Untuk itu saya berkata:

”Wawancara tentang apa?”

”Dari kantor sudah ada daftar pertanyaannya,” katanya.

”Apa pertanyaannya?”

Dia menyodorkan kertas faks. Sederet pertanyaan. Saya baca dengan cepat. Redaktur yang membuat assignment wawancara itu telah menyusun dengan sistematis. Saya dapat menangkap tesa yang digunakan oleh si redaktur mengenai kasus yang akan ditulisnya. Daftar pertanyaan itu akan menjadi ”batang tubuh” beritanya. Saya juga membayangkan kebiasaan redaktur majalah itu, sebenarnya tidak memerlukan pendapat saya sebagai wacana utuh.  Yang diperlukannya hanya sebaris duabaris kalimat yang dapat dicupliknya dari jawaban saya untuk mengisi teks yang sudah memiliki tesa dan ”batang tubuh” itu. Daftar pertanyaan itu saya kembalikan.

”Dapat kita mulai pak?”

”OK,” jawab saya.

Repoter muda meng’on’ perekamnya. Lalu membacakan pertanyaan pertama.

Saya jawab. Jawaban saya panjang lebar, kelihatan si reporter muda bingung. Saya menyediakan beberapa jeda dalam rentang waktu tertentu, menunggu interupsinya. Tapi dia tidak bereaksi. Sekitar sepuluh menit saya mengoceh. Selesai.

Begitu saya berhenti bicara, reporter muda membacakan pertanyaan kedua.

”Lho, itu ’kan sudah saya jawab tadi,” kata saya.

Reporter muda bingung. Dia membacakan pertanyaan butir ketiga:

”Itu juga sudah saya jawab tadi. Begini deh, karena kamu tidak mendengar yang saya omongkan, kamu dengar saja rekamannya. Semua pertanyaan dalam assignment kamu itu sudah terdapat dalam jawaban saya. Kalau kamu ragu, transkripsikan keterangan saya tadi. Setiap pertanyaan bisa kamu temukan jawabannya kalau kamu breakdown keterangan saya tadi.”

Reporter muda itu terdiam, kemudian pamit. Bagi si wartawan muda, mungkin saya dianggap ”ngerjain”.

Ah, itu belum seberapa. Dalam latihan calon waertawan, entah berapa ratus halaman tugas-tugas yang dibuang ke keranjang sampah, dan yang berlatih harus mengetik ulang tugasnya. Latihan spartan sebelum memasuki profesi untuk penajaman penalaran, pengetahuan konseptual, kemampuan observasi dan wawancara, penguasaan diksi, dimaksudkan menjadikan seorang wartawan siap melihat, siap mendengar, siap berpikir, siap merekonstruksi, siap menuliskan. Tempaan mental dalam teknik wawancara hanya salah satu di antara sekian banyak latihan lainnya.

***

Apa sebenarnya yang terjadi dalam interaksi dengan si wartawan muda? Dia malas mendengar. Bahkan malas berpikir. Saya prihatin, bagaimana mungkin seorang jurnalis malas mendengar dan berpikir? Dia mengandalkan daftar pertanyaan yang dibuat redakturnya, dan pita kaset rekorder. Dia ingin setiap pertanyaan diikuti jawabannya sesuai urutan, dan nanti dia tinggal mentranskripsikan untuk dikirim ke redakturnya.

Jika dia menyukai profesi jurnalisme, tentulah saat menerima assignment itu, dia akan membaca masalah yang berkaitan dengan latar dari isu yang akan diangkat majalahnya. Disini diperlukan pengetahuan. Sebagaimana Saur Hutabarat, membongkar tumpukan buku eks kampus, mencari warisan diktat Hukum Pers sebelum menemui Prof Oemar.

Untuk mendapatkan pendapat seorang ekonom tentang suatu isu moneter, misalnya, pada tahap pertama tentunya jurnalis harus kenal bahwa ekonom itu seorang pakar di bidang moneter. Di balik itu, si jurnalis tentunya perlu memahami (setidaknya konsep elementer) ekonomi moneter. Dengan begitu wawancara berjalan secara kritis. Jurnalis bukan gentong yang menampung keterangan, tetapi seorang profesional yang menghadapi fakta dan pendapat, untuk menjadikannya informasi jurnalisme.

Seorang jurnalis profesional bukan hanya mengandalkan teknik jurnalistik 5W-1H, tetapi bermodalkan pengetahuan yang memadai dalam menghadapi isu-isu dalam kehidupan publik, ditambah dengan metode kerja (termasuk wawancara) dalam memeroses fakta publik dan pendapat narasumber  menjadi informasi.

***