https://youtu.be/t-DAbmtlC3Q

https://youtu.be/UKr8YbOhAn8

FILMTV-TAJUK

Novel Sunyi Nirmala diterbitkan Gramedia Pustaka Utama

PENGHARGAAN ACHMAD BAKRIE XVII TAHUN 2019

PENGHARGAAN ACHMAD BAKRIE XVII TAHUN 2019

Jakarta, 14 Agustus 2019

Yth Bapak dan Ibu Aburizal Bakrie

Yth Ibu dan Bapak pengurus dan anggota Yayasan Achmad Bakrie, dan segenap keluarga besar almarhum bapak Achmad Bakrie.

Para penerima Penghargaan Achmad Bakrie XVII 2019, dan hadirin yang saya muliakan.

Pertama-tama perlu saya sampaikan penghormatan saya pada ‘Bakrie untuk Negeri’ yang telah mencapai 77 tahun, usia lebih tua dari Republik Indonesia. Semoga dapat berlangsung 78 tahun, 79 tahun, 80 tahun, 90 tahun, satu abad dan seterusnya abadi bersamaan dengan Republik Indonesia kita. Amin.

Terlepas dari gonjang-ganjing yang mungkin melingkupi kita pada konteks sekarang atau yang akan datang, saya ingin melihat event ini sebagai momen bagi kita bersama-sama mengenang Bapak Achmad Bakrie almarhum, seorang pengusaha nasional yang tangguh, merangkak dari daerah dalam hal ini Sumatera, dapat membangun kerajaan bisnis berskala global, untuk kemudian dengan legacy berupa semangat kewirausahaan dan orientasi sosial yang dapat menjadi contoh bagi masyarakat dari generasi ke generasi. Artinya apa pun yang terjadi sekarang dan akan datang, tidak akan dan janganlah mengurangi kenangan dan kehormatan kepada Bapak Achmad Bakrie almarhum.

Berikutnya saya mengucapkan terimakasih pada Yayasan Achmad Bakrie, Freedom Institute, dan dewan juri yg menetapkan saya selaku  penerima penghargaan untuk bidang atau kategori sastra populer dalam Penghargaan Achmad Bakrie XVII 2019.   Pengkategorian ini tentu sebagai dasar bagi dewan juri dalam memberikan penilaian atas subyek yang perlu mendapat penghargaan. Saya pribadi yakin bahwa banyak person lain dalam bidang karya kreatif fiksi yang lebih layak dibanding diri saya untuk menjadi perhatian yayasan dan institut.

Namun karena pengkategorian dan penilaian dengan kriteria yang bertolak dari visi dan misi Yayasan Achmad Bakrie dan Freedom Institute, dan saya yakin dengan keseriusan kerja Komite dan Dewan Juri Penghargaan Achmad Bakrie ke-17 tahun 2019, saya merasa sangat tersanjung karena dapat memenuhi kriteria yang ada.

Penghargaan atas karya fiksi saya, mengingatkan dengan kegiatan penulisan saya, yang saya jalani secara tidak sungguh-sungguh. Sungguh, sebab sebagai debutan tahun 1970an, saya berkarya fiksi dengan novel yang pada dasarnya lahir dari suatu kecelakaan, bukan dari cita-cita. Benar kecelakaan, tapi syukurlah ternyata tidak celaka. Dari awal, dambaan saya untuk penulisan adalah jurnalisme, yaitu kegiatan yang bertumpu pada realitas atau fakta, bukan pada fiksi. Tapi hambatan yang menghadang pada tahun 1970an menyebabkan saya merasa bahwa kegiatan dalam jurnalisme tidak mungkin lagi saya raih. Jadi karya seperti ‘Cintaku di Kampus Biru‘ yang ditulis tahun 1972, tidaklah lahir dengan motif kesastraan yang mungkin ada ukurannya menurut para peneliti atau kritikus sastra.

Disiplin akademik yang saya jalani yaitu Ilmu Publisistik atau Ilmu Komunikasi dalam lingkup Ilmu Sosial dan Ilmu Politik menetapkan untuk bekerja atas dasar epistemologi untuk realitas atau fakta. Begitu pun epistemologi dalam jurnalisme, sepenuhnya adalah untuk mendapatkan dan menyampaikan fakta. Dalam disiplin kerja jurnalisme malah mengharamkan fiksi. Disini imajinasi hanya boleh untuk perspektif ataupun sudutpandang, bukan untuk fiksi. Dengan kata lain, pembelajaran yang saya geluti menyangkut realitas atau fakta, bukan fiksi. Begitulah, saat menulis novel, landasannya adalah ingin mengkomunikasikan fakta-fakta. Dunia imajiner bagi saya hanyalah sarana untuk menyampaikan dunia faktual. Fakta-fakta disini sebagai latar atau setting bagi dunia imajinasi saya. Latar faktual ini ada yang berasal dari realitas sehari-hari yg saya kenal, tetapi ada pula merupakan realitas kesejarahan yang perlu referensi historiografi.

Jika ditanyakan dari karya fiksi saya, apa yg saya pandang sebagai nilai terpenting, harus saya jawab: tidak lain adalah latar faktual yang menjadi ruang bagi dunia imajinasi saya. Jadi,  bukan nilai fiksional yang saya pandang sebagai tujuan akhir. Saya akan lebih senang jika pembaca novel saya dapat menemukan dan menghargai realitas yang saya sampaikan, seperti dunia kampus dan kemahasiswaan (novel-novel: Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Frustrasi Puncak Gunung), atau kehidupan metropolitan tahun 1970an (novel-novel: Terminal Cinta Terakhir, Sirkuit Kemelut, Gadisku di Masa Lalu, Sunyi Nirmala), atau revolusi 45 (novel: Warisan sang Jagoan), atau G30S (novel: Jentera Lepas), atau yang terakhir mengenai komunitas agama asli Batak yang terpinggirkan dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/PRRI (novel: Menolak Ayah). Semua novel saya menempatkan sebagai tokoh sentral adalah orang muda yang mencari jati diri. (Sedikit promosi: bagi yang belum membacanya, dapat saya sampaikan bahwa semua novel itu dicetak-ulang oleh Penerbit Gramedia dan telah beredar lagi di toko buku).

Apakah format penulisan novel-novel ini dapat berarti, tentulah pembaca yang dapat menilainya. Karenanya, penilaian dewan juri yang telah memberi penghargaan atas karya penulisan saya, memberi keyakinan pada saya bahwa jalan yang saya tempuh dari kecelakaan itu, ternyata cukup berarti. Untuk itu saya mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada dewan juri, juga pada bapak Rizal Mallarangeng, bapak Bambang Priatmono dan ibu Zoraya Perucha selaku Komite Penghargaan Achmad Bakrie ke-17 tahun 2019, dan sekali lagi terimakasih kepada ibu dan bapak pengurus dan anggota Yayasan Achmad Bakrie,  serta tidak lupa kepada para aktivis di Freedom Institute.

ASHADI SIREGAR