Soebadio Sastrosatomo Pengemban Misi Politik

Soebadio

Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) ANWAR, Rosihan Soebadio Sastrosatomo pengemban misi politik / Rosihan Anwar. — Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995 viii, 264 hlm.; 21 cm. Indeks ISBN 979-444-351-4 1. Indonesia – Sejarah – 1945-1995 2. Indonesia – Politik dan pemerintahan I. Judul. 959.8 SOEBADIO SASTROSATOMO Pengemban Misi Politik Rosihan Anwar © Pusat Dokumentasi Politik “Guntur 49” No. 333/95 Rancangan Kulit Muka Studio OK! Foto Kulit Muka Meutia Hatta Foto Kulit Belakang Koleksi Pribadi Rosihan Anwar Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti Jl.UtanKayuNo.68E Jakarta 13120 Anggota Ikapi Cetakan Pertama, 1995 Percetakan PT Intermasa, Jakarta

Disampaikan dalam acara peluncuran buku Soebadio Sastrosatomo Pengemban Misi Politik, Pusat Dokumentasi Politik Guntur 49 dan PT Pustaka Utama Grafiti

Jakarta 19 Desember 1995

MENYAMBUT BUKU SOEBADIO SASTROSATOMO PENGEMBAN MISI POLITIK

Belajar Kebangsaan dari Pak Kiyuk dan Kawan-Kawan

ASHADI SIREGAR

 (1)

Pada awal jabatannya sebagai Komandan Militer di Yogyakarta tahun 1995, Kolonel Susilo Bambang Yudoyono, menyelenggarakan rangkaian pertemuan dengan berbagai kalangan, mulai dari akademi­si, seniman, tokoh masyarakat dan lainnya. Saya menghadiri satu di antara forum itu, tidak jelas apa dipandang sebagai akademisi ataukah seniman oleh staf di kantor komandan itu. Tetapi sebagai tokoh masyarakat, jelas tidak.

Dan ketika diminta memberikan masukan, saya malah bertanya. Mungkin mengecewakannya karena saya tidak memberikan apa-apa yang bermanfaat baginya secara langsung dalam mengurusi keamanan di wilayah ini. Soalnya, sudah menjadi pembawaan saya untuk bertan­ya, apalagi tak kuasa saya menahan keinginan mendengar pendapat seorang perwira Angkatan Darat keluaran akademi militer Indonesia sekaligus juga lulusan universitas di Amerika Serikat. Ketemu dengan tentara boleh dikata saya hampir tidak pernah, kecuali ketika diinterogasi semasa masih jadi aktivis dulu. Terlebih tentara yang bergelar master, saya bayangkan betapa beruntung dapat berdialog.

Pertanyaan saya kalau diformulasikan sekarang kira-kira begini: “Apakah menurut bapak, duapuluh lima tahun yang akan datang, kita masih akan merayakan proklamasi seperti yang kita peringati dalam tahun emas ini?”

Jawabannya mungkin tidak terlalu penting dipergunjingkan disini, sebab sebagai tentara yang baik, selalu yakin dengan doktrin yang dianutnya. Ini pertanyaan yang selalu saya bawa-bawa, ketika memberi ceramah kepada calon wartawan yang dilatih di lembaga yang saya dan teman-teman kelola di Yogyakarta. Ka­dang-kadang kepada mahasiswa di ruang kelas. Tetapi terutama kepada diri saya sendiri, setiap kali menyaksikan acara televisi yang menyiarkan pidato atau temu wicara yang mengajak rakyat agar loyal sebagai bangsa. Loyalitas itu bahkan kalau perlu membeli produk dalam negeri kendati mutunya lebih rendah dan harganya lebih tinggi.

Kebangsaan selama ini diajarkan sebagai rasa senasib yang bertolak dari kesadaran kesejarahan dan kebudayaan. Kebangsaan Indonesia adalah respon penduduk yang berada dalam wilayah Hindia Belanda terhadap penjajahan asing. Lingkup geopolitik dengan budaya penduduk pribumi di dalamnya, dianggap sebagai suatu enti­tas yang mendasari kebangsaan Indonesia.

Nilai kebangsaan sebagai dunia alam pikiran berhadapan dengan kenyataan empiris. Kenyataan empiris itu dengan cara lain, dunia dapat dilihat dalam pilahan antara kegiatan produksi dan konsumsi. Maka kehidupan umat manusia adalah suatu pasar dunia. Produksi yang berlangsung merupakan suatu dunia yang tidak perlu lagi kita ketahui siapa dan dimana adanya. Bagi kekuatan produk­si, tidak ada batas negara. Manusia hanya perlu diidentifikasi dari kecenderungan variabel sosiografis dan psikografisnya yang relevan untuk dibangkitkan agar dia bertindak sebagai konsumen.

Dunia produksi semakin intensif dalam memelihara pasar dunia. Berbagai perjanjian internasional pada dasarnya adalah menjadikan dunia sebagai sebuah pasar tanpa batas negara. Bahkan kekuasaan negara-negara, khususnya negara selatan tidak lagi punya kekuatan untuk menjaga lingkungan negaranya agar tidak dipenetrasi oleh kekuatan produksi asing.

Tuntutan yang berasal dari dinamika pasar ini tidak berdiri sendiri. Mengingat dunia ekonomi adalah yang langsung berada dalam kenyataan keras dari proses globalisasi, tidak heran jagad ekonomi domestik Indonesia tidak tertahan untuk harus menyesuai­kan diri di dalamnya.

Alasan kultural apalagi politis, ternyata tidak dapat digu­nakan dalam menghadapi arus komoditas modal dan produk. Arus komoditas yang menuntut dunia dengan dunia tanpa sempadan (bor­derless), merupakan kenyataan empiris yang selalu disebut-sebut sebagai gejala globalisasi.

(2)

            Tahun 2020, saat proklamasi 17 Agustus berusia 75 tahun, biasa dibicarakan dalam konteks ekonomi, waktu formal yang sering disebut-sebut sebagai batupal terbentuknya pasar bebas dunia.

Apakah memadai ideologi kebangsaan yang ditanamkan sekarang, terutama yang dikembangkan oleh kekuasaan negara, sebagai sumber nilai bagi keberadaan suatu bangsa? Memadaikah ideologi ini menghadapi proses perubahan tatanan dunia dan kehidupan antar­bangsa? Ideologi kebangsaan yang diinternalisasikan melalui pendidikan formal, maupun non formal melalui media massa dan media sosial, dicitrakan bersumber dari semangat suatu angkatan, secara populer biasa dinamakan Angkatan 45.

Semboyan-semboyan semangat 45, ideologi kebangsaan yang bersumber darinya, masih perlu dipertanyakan. Apakah ranah (domain) konsep yang dikembangkan selama ini, terutama pada era Orde Baru, sepenuhnya memang mencerminkan kesadaran kebangsaan yang tepat menjadi landasan bagi keindonesiaan. Baik ranah konsep maupun cara penghayatan, adalah dengan perspektif hasil tafsiran semata-mata oleh kekuasaan negara. Bertahun-tahun ini saya mera­sakan bahwa ranah konsep ideologi yang dimasukkan sebagai bagian kesadaran kebangsaan rakyat, tidak memberikan ruang bagi kesadar­an lainnya.

Arus besar kesadaran kebangsaan yang ditanamkan oleh kekua­saan negara, adalah interpretasi sepihak dengan perspektif mili­ter. Ciri perspektif ini adalah melihat ke dalam (inward looking), dengan mengupayakan tumbuhnya solidaritas atas dasar nilai kesejarahan maupun kultural. Kedua macam nilai ini pada dasarnya bersifat konservatif, sehingga sulit menghadapi proses perubahan baik di dalam maupun luar negeri.

Bahwa kesadaran kebangsaan yang mendukung proklamasi 45, tidaklah semata-mata dalam perspektif militer, seperti yang dikembangkan oleh para sejarawan yang menjadi “pujangga kraton” dari kekuasaan negara Orde Baru. Disaini nilai kebangsaan selalu dipertalikan dengan peperangan fisik dalam menghadapi tentara musuh.

Dalam arus besar perspektif tafsir-tunggal, apalagi dengan perspektif militer semata, karenanya perlu diterima, tetapi dengan tidak membunuh upaya pencarian perspektif lainnya. Masalah yang dihadapi bukan sekadar keasyikan mencari kebenaran sejarah, tetapi sejauh mana ideologi yang menjadi sumber kesadaran kebang­saan, dapat menjawab tantangan masa depan. Akankah kesadaran kebangsaan yang bersumber dari tafsir-tunggal perspektif militer, dapat tetap bertahan dalam memelihara keindonesiaan seperti yang dicitakan-citakan para “founding fathers“?

(3)

            Dalam kerisauan alam-pikiran inilah saya selalu menggeragap mencari-cari pegangan. Di antaranya dengan membaca tulisan-tulisan para aktivis kemerdekaan. Dari semangat berbagai wacana itu, saya berusaha mencari konsep yang mendasari kesadaran ke­bangsaannya. Saya membaca “Perjuangan Kita”, tetapi rasanya saya menghadapi dunia alam pikiran. Saya ingin berhadapan dengan sosok yang terdiri atas darah dan daging, dengan semangat yang otentik, dengan harapan dan kekecewaan, dengan kesetiaan dan pengkhiana­tan, dengan kerinduan dan kepasrahan, dan seterusnya.

Sayangnya saya tidak pernah bertemu dan mengenal penulis “Perjuangan Kita” dan artikel lainnya, Sutan Syahrir. Begitu pula secara pribadi saya tidak pernah berada dalam lingkaran yang ditinggalkannya, baik secara sosial apalagi geneologis. Saya hanya mengenal Syahrir yang lain, yang dalam “kehiruk-pikukan”nya sebagaimana kebiasaannya, sulit saya renungkan semangat yang otentik. Jadi kebetulan saja beliau bernama Syahrir juga.

Baru pada pertengahan tahun 70-an kalau tak salah ingat, saya berkenalan dengan Pak Badio saat beliau berkunjung ke Yogya­karta. Beberapa teman menyebutnya Om Kiyuk. Panggilan ini saya kira berasal dari satu generasi anak-anak dari lingkaran kawan yang ditinggalkan Syahrir. Karena saya bukan berasal dari kelom­pok ini, saya tidak ikut menyebutnya Om Kiyuk. Biasanya saya menyebut Pak Badio, kadang terseret memanggil Pak Kiyuk.

Boleh dikata saya menjadikan Pak Badio sebagai guru dari kejauhan. Dalam pertemuan-pertemuan terbatas, percakapan yang berlangsung menjadi kilasan-kilasan tentang suatu semangat bagi kesadaran kebangsaan. Saya merasa beruntung karena dapat menyerap dari seorang pelaku. Berhadapan dengan sosok manusia yang kita ketahui signifikan berada dalam lintasan sejarah, sangat membantu dalam upaya mengenali semangat suatu zaman. Terutama karena tidak ada pretensinya untuk merekayasa sejarah untuk kepentingan kekua­saan, dalam kepolosan itu dia dapat merasuk, saya terima dalam ranah kesadaran saya dengan senang hati.

Rasanya bertambah beruntung lagi karena sekarang telah ditulis biografinya. Dengan biografi ini maka sosok perjalanannya sebagai manusia dalam latar sejarah keindonesiaan yang selama ini merupakan kilasan-kilasan dalam temaram, menjadi lebih jelas bagi saya.

Apalagi biografi ini ditulis oleh Pak Rosihan dengan gaya reportase. Dengan gaya jurnalistiknya yang khas, kadang-kadang seperti “ngeledek” subyek yang dihadapinya, maka sebuah reportase tentang kehidupan seorang manusia terbentang di depan kita. Khasnya lagi, dalam sejumlah fragmen, karena penulisnya juga berada di dalamnya, dia dapat pula bertindak sebagai narasumber. Dan yang lebih penting, reportase masa lalu ditulis secara senga­ja sebagai suatu kilas-balik. Dengan begitu pemikiran reflektif juga dapat mewarnai keberadaan Pak Badio dan pelaku-pelaku lain dalam latar yang diceritakan.

Dalam mengungkapkan sosok pak Badio pada masa lalu, sembari berjalan pada masa sekarang, penulis mengajukan “usikan-usikan”, sehinggga si pelaku bercerita. Pada mulanya saya terganggu dengan gaya berdialog itu, karena saya terbiasa dengan berbagai buku biografi yang konvensional. Tetapi setelah saya ikuti dan hayati, saya menyadari bahwa pertanyaan si penulis, apalagi kadang-kadang bergaya “ngeledek”, merupakan wacana yang penting dan memperenak tuturan. Pertanyaan-pertanyaan “mengusik” itu pada dasarnya datang dari seorang teman seperjalanan, dulu dan sekarang. Kare­nanya dalam membaca prolog dan epilog dalam buku ini, adalah menemukan catatan otentik dari teman perjalanan itu, bukan dari seorang jurnalis yang mendeskripsikan sosok yang direportase­kannya.

Lebih jauh, buku ini tidak sekadar reportase atau cerita “human interest”. Biografi ini sekaligus karya sejarah. Sosok yang direportasekan tidak hanya yang bersifat kekinian, tetapi juga sosok yang berada dalam latar masa lalu, terutama pada masa yang dianggap penting dalam perjalanan bangsa.

Biografi ini ditulis dengan menggunakan  rangkaian fragmen bersifat kronologis sebagai latar bagi sosok Pak Badio. Mulai dari fragmen pra-kemerdekaran sampai peristiwa 15 Januari 1974. Fragmen-fragmen ini dipilih tentunya karena di dalamnya Pak Badio berperan atau setidaknya sinifikan kehadirannya. Tetapi yang tak kalah pentingnya, dengan menetapkan fragmen-fragmen itu sebagai latar bagi sosok yang ditulisnya, bagi penulis tentunya setiap fragmen itu dipandang signifikan dalam sejarah keindonesian. Pilihan fragmen semacam ini, sekaligus penggambaran sosok manusia dengan orientasinya di dalannya, akan memberikan alternatif perspektif dalam menghayati kesadaran kebangsaan dan kenegaraan.

Kemudian ada dua bab yang menggambarkan suatu fragmen perja­lanan kebudayaan Pak Badio dalam menghayati spiritualismenya. Fragmen ini menarik, sebab menggambarkan bagaimana Pak Badio menghaji dan menjawa, atau sebaliknya menjawa dan menghaji. Tetapi terus terang, saya belum memahami makna perjalanan spirit­ual ini dalam konteks kebangsaan. Mungkin memang tidak perlu diperkaitkan, sebab signifikansinya sepenuhnya bersifat pribadi.

(4)

            Begitulah, dari biografi Pak Badio ini, saya merasa belajar ulang tentang semangat kebangsaan yang dihayati secara otentik oleh pelaku sejarah. Dari Pak Badio dan kawan-kawannya, saya dapat menyerap setidaknya kesadaran yang berkaitan dengan nilai kebangsaan. Di antaranya adalah kebangsaan yang ditempatkan dalam perspektif antarbangsa. Dari sini keberadaan sebagai bagian dari suatu bangsa dapat ditempatkan dalam dimensi yang lebih utuh, dalam politik dan ekonomi. Bagaimana menjalani kehidupan ini dalam dimensi politik dan ekonomi, sesuai dengan cita-cita kebu­dayaan.

Cita-cita kebudayaan ini secara sederhana disebut sebagai nilai demokrasi dan anti fasisme. Dengan begitu keberadaan seba­gai manusia politik dan ekonomi pada dasarnya menjaga diri dalam rentangan demokrasi dan fasisme ini.

Masih banyak yang perlu didiskusikan, mengingat masalah yang dihadapi generasi yang berada dalam latar pasar dunia, tentunya berbeda dengan masalah yang dijalani oleh pendiri republik. Tetapi setidaknya, pertarungan antara demokrasi (hak pada masyar­akat) dan fasisme (kesewenangan kekuasaan negara), akan tetap menjadi dataran yang tetap perlu dipertaruhkan.

Peperangan antara demokrasi dan fasisme merupakan proses yang selalu muncul dalam sejarah peradaban dunia, dan mungkin akan menjadi momentum bagi perubahan konstelasi keindonesiaan di masa depan. Apakah mozaik Indonesia akan menjadi bagian-bagian yang terpisah, ataukah akan menemukan formatnya yang lebih pas dalam menampung kebangsaan di tengah pasar dunia, merupakan tanda-tanya yang perlu dijawab dengan semangat ala Pak Badio dan kawan-kawan.

Fragmen-fragmen sejarah yang digunakan dalam menceritakan sosok Pak Badio dalam buku ini, saya bayangkan dapat mendampingi perspektif tafsir-tunggal yang dijadikan arus besar dalam kesa­daran kebangsaan oleh kekuasaan negara Orde Baru. Cerita tentang manusia-manusia dalam masing-masing fragmen setidaknya akan mem­perkaya apresiasi tentang bagaimana cara menjalani kehidupan sebagai bangsa Indonesia. Versi yang dijadikan arus besar mungkin memang berguna dalam konteks tertentu. Tetapi hendaknya tetap terbuka versi dengan perspektif lain.

Siapa tahu, versi arus besar itu kelak gagal dalam menghada­pi gelombang besar perubahan dunia, yaitu terbentuknya pasar dunia dengan negara tanpa sempadan (borderless). Dengan begitu tetap ada generasi yang siap dengan kesadaran kebangsaan dengan perspektif yang lain, yaitu perspektif yang mungkin relevan bagi dunia di masa depan itu.

 

 

SBY DAN KEBEBASAN PERS

SBY dan KebebasanPers

SBY DAN KEBEBASAN PERS Testimoni Komunitas Media ISBN 978-602-70576-0-9 Editor: Agus Sudibyo Co-editor: AunulHuda Pewawancara : Yul Amrozi, Adi Harnowo Pendanaan : Kiki Iswara Darmayana, Agus Yuli, Muhamad Ihsan, Indra Lesmana Tata letak : Sijo Sudarsono Penerbit: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Gedung Dewan Pers Jl. Kebon Sirih No. 34 – Jakarta Pusat 10110 Tel. 021 345 3131 Fax. 0213453175 Didukung oleh: Matriks Indonesia Cetakan Pertama, Juni 2014

Kontribusi tulisan dalam buku

SBY dan KEBEBASAN PERS

(Di beberapa bagian telah disunting oleh Editor buku. Apresiasi saya sampaikan)

TIMBAL-BALIK HUBUNGAN SBY DAN PERS

ASHADI SIREGAR

Direktur Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta

Timbal-baliknya Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan pers dapat dilihat bagaimana Presiden SBY memperlakukan pers di satu pihak, dan dipihak lain bagaimana pers memberitakan Presiden SBY. Pak SBY sebagaimana setiap pemimpin, adalah trimurti. Wajah pertama sebagai kepala eksekutif (Chief Executive) yang membawahi struktur pemerintahan dengan “manajer-manajer”nya para menteri kabinet, kedua sebagai personafikasi lembaga kepresidenan, dan ketiga  sebagai person dengan berbagai fungsi sebagai ketua partai politik dan kepala keluarga. Dari ketiga fungsi ini interaksi dengan pers khususnya dan media massa umumnya. Karenanya pers juga akan memberitakan tiga ranah ini. Artikel ini hanya akan membahas ranah pertama, tulisan bersifat analitis, tidak bersifat otentik dari pengalaman langsung. Sedang untuk ranah kedua dan ketiga akan lebih menarik jika ditulis oleh wartawan yang biasa meliput aktivitas kepresidenan, atau biasa disebut “wartawan istana”. (selengkapnya –> klik Presiden SBY- Media Pers )

LINUS SURYADI AG (03 MARET 1951 – 30 JULI 1999)

Pengakuan Pariyem

karya ini karya imajiner tak ada sangkut pautnya dengan individu maupun kalangan tertentu PENGAKUAN PARIYEM Oleh Linus Suryadi AG 81/SB/04 Perwajahan: Wiwik Swestu Hak Pengarang dilindungi oleh Undang-undang Penerbit Sinar Harapan Jakarta 1981 Cetakan Pertama Dicetak oleh PT Harapan Jakarta

 

 

Tulisan ini dimuat sebagai epilog

dalam buku Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG

Linus Suryadi  AG Yang saya kenal

Ia seorang Jawa yang bangga akan tradisi yang dileluri dari nenek moyangnya, tapi pun siap menerima pergaulan yang kadangkala mempercandai kejawaannya. Begitu kesan saya pada lelaki ini, dan itu pula yang menjadi lanskap senang saya bergaul dengannya. Dia bukan tipe orang yang suka pasang kuda-kuda jika ada yang mengejek beberapa aspek nilai budaya Jawa. Dia hanya menganggap setiap ejekan disebabkan ketidaktahuan, karenanya dia berusaha menjelaskan, sembari mendengarkan sisi pembicaraan orang lain. (selengkapnya –> klik LINUS SURYADI AG-1980 )

 

MENGENANG LINUS SURYADI AG  PADA 30 JULI 2014

ASHADI SIREGAR

Rabu 30 Juli 2014, Bentara Budaya Yogyakarta memperingati 15 tahun meninggalnya penyair dan esais Linus Suryadi AG.  Sebagai seorang yang dianggap mengenali sosok dan mengetahui perjalanan karir penyair kelahiran Sleman Yogyakarta itu, panitia meminta agar saya menyampaikan kesan dan kisah mengenai dirinya. (selengkapnya –> klik LINUS SURYADI AG-2014 )

 

Buku Pelukis Haris Purnomo

HarisPameran1

Ths book was published as a supplement to the solo exhibition by Haris Purnomo  Alien nation at The National Gallery of Indonesia; September 28 – October 7, 2007; Curator Hendro Wiyanto; English Translation Landung Simatupang; Catalog Design Umbu LP Tanggela; Photography Haris Purnomo, Hendro Wiyanto, F.B, Sudjuanda, Heri Suvele, Sutriyono, courtesy Redha Sorana; Printed by Mahameru Offset Printing; Edition 500; Published by Langgeng Gallery Cempaka 8B, Magelang 56123, Central Java, Indonesia; Ph +62 293 313 338 Fx +62 293 313 468; info@langgeng.net http://www.langgeng.net

Pipa-Kepribadian Apa – Kelompok Senirupa-Ind

Pipa-Kepribadian Apa-Group of Artists-Eng

Buku Ignatius Haryanto

IgHariantoDigital

IgHariantodisgital

Krisis Dua Profesi

Kompas, Senin 11 Agustus 2014
Krisis Dua Profesi
Oleh: Ashadi Siregar
DUA profesi, jurnalis dan peneliti, pada dasarnya memiliki kesamaan episteme, yaitu obyektivitas. Bahwa obyektivitas selamanya memiliki dua sisi mata koin tak terpisah: kebenaran (truth) pada obyek faktual dan netralitas pada diri pelaku. Artinya di satu sisi menghargai kebenaran pada obyek dan menekan kepentingan subyektif diri pada sisi lainnya. Pilpres 2014 membawa implikasi ke dua profesi ini. Jika pengabaian obyektivitas dianggap enteng, publik dihadapkan situasi krisis sebab dua profesi yang berbasis kepercayaan (credibility) dibiarkan bobrok.
Sebagai perusahaan media, televisi mungkin masih tertolong, misalnya dengan siaran sepak bola yang sangat diminati publik. Namun, siaran berita televisi dan media cetak dengan materi utama jurnalisme pada dasarnya menjebloskan diri. Seusai pilpres, sebagai institusi sosial, dia harus keluar dari lubang kuburnya dan berusaha memulihkan diri, sementara politisi yang bersaing sudah menikmati kursi masing-masing.

Jika politisi tak menghargai obyektivitas, mudah dipahami. Pemeo populer menyatakan, dalam politik tak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan yang sama. Tak perlu akal sehat (reason) dengan kerangka ideal publik dalam komunikasi, cukup dengan kekuatan retorika dalam propaganda.

Untuk kepentingan subyektif yang bersifat pragmatis, sudah biasa segala cara dihalalkan. Apa jadinya manakala kecenderungan ini merasuk ke dunia jurnalisme dan penelitian?
Yang abadi bagi media jurnalisme dan lembaga penelitian adalah kepercayaan publik. Kepentingan pragmatis mungkin menguntungkan jangka pendek, tetapi kehilangan kepercayaan memerlukan upaya panjang membangun ulang hubungan organis dengan publik luas.

Krisis jurnalisme
Partisanship oleh media biasa terjadi. Namun, keberpihakan ini bersifat gradual, tak absolut. Biasanya karena mendukung gagasan tertentu yang berkesesuaian dengan visi media. Dukungan pada gagasan diikuti simpati, tecermin dari pemberitaan tentang kandidat bersangkutan. Namun, bukan berarti menutup sama sekali peluang pemberitaan atas kandidat lain.

Karena itu, masa pilpres senantiasa jadi ranah kajian dalam studi komunikasi, yaitu melalui analisis isi kuantitatif (content analysis) melihat komposisi pemberitaannya. Di sini diukur derajat netralitas dan keseimbangan terhadap pihak-pihak yang bersaing. Artinya setiap pihak tetap diberitakan. Media digolongkan sebagai simpatisan, bukan partisan.
Koran Tempo yang disebut-sebut berpihak, atau Jakarta Post yang eksplisit mendukung salah satu kontestan, dengan pengamatan sederhana terlihat sebagai media simpatisan. Simpati tecermin dalam pemberitaan. Namun, koran-koran ini tetap memberi tempat ke kontestan lain. Asas jurnalisme dijalankan, yaitu setiap pemberitaan dari tiap-tiap kontestan berdasarkan narasumber dari pendukung kontestan tersebut.

Krisis dalam kerja jurnalisme yang tampak dalam Pilpres 2014 lebih dari partisanship yang biasa dikenal. Belum pernah dunia jurnalisme semabuk sekarang. Media pers dijalankan tanpa rikuh sebagai partisan dengan berpihak secara mutlak kepada kontestan politik. Keberpihakan ini di satu sisi dengan memberi tempat total kepada yang dipihaki, di sisi lain tak memberi tempat ke kompetitor. Atau kalau memberitakan kompetitor secara tendensius bersifat negatif, tanpa narasumber dari pihak yang diberitakan. Karena itu, disebut kampanye gelap. Asas keseimbangan dan ketidakberpihakan yang jadi ciri netralitas dalam kerja jurnalisme tak lagi dihormati.

Apakah keberadaan media partisan masih dinilai dengan norma etika jurnalisme? Kiranya sudah tak relevan bicara etika. Etika hanya dapat berlaku pada ranah perbuatan yang bersifat relatif, antara baik dan kurang baik. Jika yang dilihat semata-mata perbuatan buruk yang absolut, bukan lagi ranah etika. Itu urusan aparat hukum karena bersifat pada pencemaran kehormatan/ martabat, fitnah atau sejenisnya sebagai pidana umum.

Jika sebelumnya hitung cepat (HC) dapat jadi acuan yang menenangkan tensi kontestasi, pilpres kali ini malah dikisruhi data HC. Pada waktu lalu, biasanya kisruh pemilu adalah pada penghitungan riil universe voterdalam struktur KPU, mulai dari TPS sampai rekapitulasi di atasnya. Keterbukaan KPU sekarang adalah menyediakan hasil pemindaian data mentah dari struktur paling bawah (C1 dari PPS) secara daring. Kemudahan perangkat lunak untuk capture dari layar monitor menjadikan pengawasan pada rekap dapat ditingkatkan. Partisipasi publik melalui media daring menandai proses kerja pemilu di Indonesia.

Kisruh terjadi di antara dua set kelompok data HC: versi 1 dari empat lembaga yang memenangkan Prabowo-Hatta dan versi 2 dari delapan lembaga yang memenangkan Jokowi-JK. Dengan jaringan stasiun televisi lebih banyak, keberulangan tinggi data versi 1 terkesan lebih lantang. Secara masif jaringan televisi MNC Group yang pemiliknya pendukung Prabowo-Hatta menyiarkan data versi 1, dengan tak menyiarkan sama sekali data versi 2. Stasiun lain menyiarkan data versi 1 dan 2, tetapi memberi keberulangan lebih tinggi pada data versi 2. ”Perang” data HC berlangsung di layar kaca. Dengan tak memberitakan data versi 2, jaringan MNC menempatkan diri partisan absolut.

Sampel lembaga HC adalah proporsi TPS, sedangkan data universe KPU adalah seluruh TPS. Jadi publik perlu tahu bahwa keberadaan data HC sangat ditentukan oleh kesahihan (validitas) atas sampel, dari sini keterujian (reliabilitas) data ditentukan. Setiap kali HC dipublikasikan media pada dasarnya memberikan pendidikan level akademik kepada publik luas tentang kaidah metodologi penelitian. Karena itu, jika ada desakan agar lembaga-lembaga HC membuka metodologi, mungkin tak harus deskripsi detail sebaran sampel, yang penting publik kembali dididik tentang reasoning dalam penentuan proporsi sebaran sampel penelitian HC.

Membangun profesi

Fungsi HC—terutama di negara yang rentan kecurangan (fraud) dalam penyelenggaraan pemilu—adalah untuk pembanding bagi publik sehingga kalau perlu melakukan gerakan masif dengan menunggui penghitungan di semua polling station. Pengalaman NAMFREL (National Citizen Movement for Free Election) di Filipina yang mengakhiri kekuasaan Marcos jadi contoh fungsi penting HC.

Persoalan yang tersisa dari kisruh dunia jurnalisme dan penelitian akibat Pilpres 2014 adalah menegakkan standar moral dalam menjalankan profesi. Untuk profesi jurnalisme, persoalannya sederhana sebab media partisan absolut jelas tak menjalankan kaidahepisteme jurnalisme. Sementara kaidah etika profesi hanya perlu diterapkan untuk melihat derajat ketidakberpihakan yang dipermasalahkan (disputed). Untuk itu organisasi profesi/majelis kehormatan dapat turun tangan memeriksa kerugian publik yang diakibatkan malapraktik sang jurnalis.

Kenyataan bersimpati pada satu pihak, dan tak menutup peluang bagi pihak lain, tuntutan etika adalah dalam menegakkan derajat obyektivitas yang paling ideal. Bersimpati atau tidak ke satu pihak merupakan hak preferensial pelaku profesi. Untuk itu harus disadari konsekuensi ke depan, bagaimana memulihkan iklim netralitas paling optimal dalam kerja keredaksian.

Mengenai HC, pertaruhannya bagi eksistensi lembaga survei adalah derajat paralelisme dengan data KPU nanti. Data palsu (sama sekali bertolak belakang dengan data real count) akan mengakhiri hidup lembaga HC yang mengeluarkan. Tantangan keberadaan lembaga HC akan berbeda jika lembaga pemilu secara relatif tak lagi dicurigai. Semoga ke depan kredibilitas kelembagaan KPU dapat dibangun dengan profesionalisme komisioner sekarang. Artinya publik tak akan dikecewakan atas kasus korupsi, atau komisioner sebenarnya diam-diam disiapkan sebagai orang partai, seperti KPU yang sudah-sudah. Dengan kredibilitas lembaga pemilu, data HC bukan lagi pembanding. Di sini peran lembaga HC yang kredibel adalah memenuhi hasrat ingin tahu publik, dengan asas media pers yang utama, yaitu kecepatan. Kemajuan teknologi informasi yang sangat mendukung kecepatan proses penelitian di satu sisi dan pemediaan (termasuk media daring) di sisi lain menuntut penampilan profesional dua ranah ini.

Ashadi Siregar
Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme di LP3Y, Yogyakarta

Perang Komunikasi

Kompas, Rabu 09 Juli 2014

PERANG KOMUNIKASI
Oleh: Ashadi Siregar

PADA masa perang, publisis yang patriotik dengan tulus mengabdi kepada negara. Tanpa ragu disebut sebagai partisan. Padahal, menjadi partisan dalam kerja komunikasi, khususnya jurnalisme, merupakan tindakan amoral. Namun, panggilan suci demi negara menabalkan partisanship disertai moral suci. Akan tetapi, kapan suatu peperangan dapat dimasuki para publisis?

Tidak setiap aksi militer dapat disebut sebagai peperangan. Perang ditandai dengan pihak-pihak (belligerent) antarnegara yang dinyatakan secara terbuka dalam lingkup hukum internasional. Karena itu, betapapun banyak jatuh korban, ”perang” di Timor Timur disebut aneksasi menurut hukum internasional, atau Aceh disebut sebagai daerah operasi militer (DOM) menurut bahasa Pemerintah Indonesia.

Setelah perang kemerdekaan, dan sebentar saat pembebasan Irian Barat, Indonesia tidak pernah menyatakan perang dengan negara lain. Bahkan, ”perang” saat ”Ganyang Malaysia” Presiden Soekarno tak digolongkan sebagai perang secara hukum internasional. Karena itu, Pemerintah Singapura berani menghukum mati gerilyawan Indonesia yang tertangkap.
Kalau publisis terjun sebagai partisan dalam politik militer pemerintah masa aneksasi Timtim dan DOM di Aceh, mungkin baginya pihak ”sana” dianggap sebagai ”negara”. Bersyukurlah bahwa pemerintahan Presiden Habibie segera menarik tentara Indonesia dari Timtim sehingga kita tidak sempat berperang dengan pasukan gabungan PBB.

Apa kata dunia (meminjam film Asrul Sani, Nagabonar) kalau Indonesia, yang sering dipuji-puji sebagai pengirim pasukan PBB yang unggul, bertempur dengan pasukan gabungan PBB? Begitu juga jalan damai yang dilakoni pemerintahan SBY-JK dapat meredam keinginan menjadi negara dengan kemerdekaan ala Gerakan Aceh Merdeka sehingga tidak pernah sebagai belligerent yang harus diurus pasukan PBB.

Seorang militer yang ditugasi di daerah tempur mungkin tidak perlu tahu konstelasi hukum internasional yang melingkupi operasinya. Setiap operasi pada dasarnya berjangka pendek. Sedikit orang yang menempatkan kediriannya dalam rentang yang panjang. Untuk itu dia tidak hanya melihat dirinya dengan tujuan pragmatis, tetapi perlu memahami ruang sosial dengan perspektif yang universal (”apa kata dunia…” kata Asrul Sani).

Seorang publisis, khususnya jurnalis, bukan militer. Dia dilatih bukan untuk memerangi musuh. Jika dia ikut sebagai partisan dalam perang negaranya, panggilan utama adalah ke dalam negeri, yaitu memupuk semangat dan moral bangsa. Demoralisasi bangsa dalam masa perang dapat menghancurkan negara.

Mungkin ada yang mau ikut berperang dengan menjalankan perang psikologis (psychological warfare) tertuju pada musuh. Namun, dengan panggilan semacam ini harus berpindah profesi, bukan lagi sebagai jurnalis, melainkan agen rahasia.

Disiplin jurnalisme
Tanpa perang antarnegara, jurnalis mana yang mau sebagai partisan? Disiplin jurnalisme adalah obyektivitas yang selamanya dalam dua sisi: kebenaran (truth) pada obyek faktual dan netralitas pada diri jurnalis. Karena itu, bukan sekadar tujuan pragmatis dalam berkomunikasi yang perlu, tetapi menyadari keberadaan diri dan hasil kerja dalam ruang sosial.

Namun, dalam hal tertentu, media biasa mengambil posisi segaris dengan pandangan pihak tertentu, atau posisi mendukung sikap pro atau kontra dalam menghadapi isu publik yang kontroversial atau diperdebatkan (disputed). Keberpihakan dan sikap macam apa yang dapat diterima dalam kerangka obyektivitas yang dijunjung tinggi dalam kerja jurnalisme?
Media jurnalisme tidak boleh bersifat partisan secara organis pada pihak/kelompok, sebab partisanship-nya adalah pada gagasan moral yang dijadikan dasar dalam menghadapi fakta. Karena itu, di atas episteme jurnalisme, masih ada tujuan jurnalisme yang lain, yaitu nilai kebajikan umum yang harus dijaga dan diwujudkan.

Pembelajar jurnalisme menghayati dua dimensi yang akan menjadikan media bersifat organik bagi publik secara luas, yaitu secara pragmatis sosial melalui obyektivitas dan secara kultural sebagai penjaga moral publik. Dari sini media jurnalisme menjadi ekstensi bertimbal balik dengan publik dalam platform rasionalitas.

Menjelang pemilihan presiden mungkin ada yang menghidupkan atau hidup dalam suasana perang. Jurnalis tentunya tidak terseret untuk berpandangan senaif itu sebab suatu kontestasi politik tidaklah perang antarpihak yang bermusuhan. Pihak-pihak dalam kontestasi ini adalah kandidat dan organisasi pendukungnya, masing-masing berusaha merebut perhatian publik. Jelas kiranya media independen dan non-partisan tidak akan melibatkan diri dalam perang antarpihak.

Dalam kontestasi, pemberitaan berasal dari peristiwa empiris (interaksi dengan kelompok pendukung) maupun gagasan yang dinyatakan setiap kandidat. Setiap informasi berasal dari kontestan tentang dirinya perlu diasumsikan sebagai propaganda putih, sedangkan berkaitan dengan ”musuh” sebagai propaganda hitam.

Media jurnalisme tidak perlu membuang energi memuat propaganda hitam sebab harus menyediakan porsi yang sama untuk pembelaan diri. Ofensif dan defensif dalam komunikasi setiap pihak memboroskan sumber daya media.

Kepentingan publik
Media jurnalisme pada dasarnya tidak berkepentingan dengan siapa pemenang di antara kandidat sebab sebagai tujuan tetap dan akhir (ultimate) dalam jurnalisme adalah publik, bukan penguasa. Demi kepentingan publik, dari dinamika kontestasi perlu dicari wacana yang perlu digaristebalkan. Pada setiap informasi apakah dari peristiwa dan pernyataan dalam dinamika kontestasi, dilihat gagasan moral yang terkandung maupun dinyatakan oleh pihak mana pun.
Informasi diperlakukan sebagai wacana yang kebenarannya bersifat terbuka. Dengan begitu, media dapat mengangkat gagasan moral/kebajikan umum dari setiap kandidat. Media jurnalisme dapat mengambil peran dalam menumbuhkan rasionalitas masyarakat politik di ruang publik dalam menghadapi wacana politik.

Namun, dengan alam pikiran ”perang”, platform jurnalisme
obyektivitas dan kebajikan umum tidak mendapat tempat. Bagi kalangan ini hanya ada kawan dan musuh. Media jurnalisme independen dan non-partisan dianggap tidak mendukung sehingga digolongkan sebagai musuh.

Disayangkan kaum publisis yang terlibat dalam kontestasi politik ini juga terseret dalam perang komunikasi. Akibatnya kontestan dirugikan oleh tim pendukungnya sendiri karena bersikap apriori bermusuhan dengan media. Mengusir awak media karena menganggap tidak sebagai media pendukung, siapa yang rugi?

Publisis yang ikut dalam barisan kontestan ini agaknya tidak mentaklimat tim lapangan yang menjaga pintu (gate keeper) ajang kampanye. Penjaga pintu di sini bertugas secara harfiah, tetapi sekaligus juga berfungsi komunikator. Konsep public relations yang elementer menggolongkan media tiga macam bagi klien (kontestan), yaitu favourable (menguntungkan), netral, dan unfavourable (tidak menguntungkan).

Dalam komunikasi, tidak ada musuh, tetapi bagaimana menjalankan strategi menjaga yang sudah menguntungkan dan mengubah yang belum menguntungkan agar sesuai dengan track kontestan.

Bersama publisis yang ada sebagai pendukung, kontestan perlu menjalankan komunikasi rasional. Namun, kalau yang dijalankan komunikasi dengan strategi perang psikologis, pemahaman jurnalisme sudah tidak diperlukan. Lebih baik menjauh sebelum digebuk.

Ashadi Siregar
Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme di LP3Y, Yogyakarta