Oleh ASHADI SIREGAR
Keberadaan dan karakter surat kabar “Kompas” pada dasarnya mudah diidentifikasi jika dilacak melalui kesejarahan pendiri dan generasi pertama pengelola surat kabar ini. Mereka umumnya memiliki latar belakang sebagai guru. Mulai terbit 1965, di tahun politik yang panas Orde Lama, sebagai surat kabar untuk partai politik. Kemudian berkali-kali tersandung di era Orde Baru, tetapi berhasil mengatasinya, hingga saat ini menjadi kapal bendera bagi suatu imperium bisnis.
Untuk mengenali surat kabar Kompas, bayangkan saja sosok seorang guru. Sebagai guru, bedakan dengan menggurui. Guru, ditandai dengan dedikasinya untuk memproses alam pikiran dan nilai-nilai kultural pada manusia, dari suatu tahap ke tahap lebih tinggi. Dunia dipandang akan menjadi lebih baik jika diisi dengan perikehidupan manusia yang baik. Karena itu panggilan hidup seorang guru adalah menyiapkan manusia yang baik. Sang guru dapat berada dalam lingkup kelas, jemaah pengajian, suatu komunitas, atau sekalian suatu bangsa.
Sikap dan proses kerja sebagai guru ini biasa disebut sebagai pendekatan kultural. Pendidikan sebagai suatu proses kultural melihat manusia sebagai individu yang mengalami transformasi karena adanya nilai yang diinternalisasi, dan komunitas merupakan kumpulan person yang memiliki acuan nilai yang sama (shared values).
Pendiri surat kabar Kompas tidak hanya menghadirkan media sebagai institusi sosial dan bisnis, tetapi juga berpretensi menjadikan orang-orang pengelola surat kabar ini sebagai suatu komunitas dengan nilai-nilai yang menghidupinya. Acuan nilai bagi komunitas surat kabar Kompas dan kelompok korporasi bisnis media dapat ditelusuri melalui pemikiran-pemikiran pendiri Kompas, Jakob Oetama, yang tersebar dalam berbagai ceramah, seminar, dan tajuk rencana yang ditulis dari hari ke hari. Kesemuanya sudah dirangkum-terbitkan sebagai buku; sampai buku penanda 80 tahun, Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama, Penerbit BukuKompas, 2011. Komunitas Kompas layak mengingat jasa St Sularto sebagai pencatat yang tekun atas buah pemikiran pendiri Kompas, dengan harapan tidak hilang tergerus waktu. Orientasi jurnalisme surat kabar Kompasdapat diringkas begini.
Manusia dan kemanusiaan, serta karena itu juga cobaan dan permasalahannya, aspirasi dan hasratnya, keagungan dan kehinaannya, adalah faktor yang ingin ditempatkan secara sentral dalam visi Kompas.Karena itu, manusia dan kemanusiaan senantiasa diusahakan menjadi napas pemberitaan dan komentarnya.
Surat kabar ini tergerakkan oleh visi itu, berusaha pula senantiasa peka akan nasib manusia, dan semestinya juga berpegang pada ungkapan klasik dalam jurnalistik: menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan (Jakob Oetama,Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Penerbit Buku Kompas, 2001, hal 147).
Baik pemikiran maupun catatan empiris kehidupan Jakob Oetama dapat dijadikan acuan nilai. Namun, perlu disadari nilai sebagai teks akan berhadapan dengan realitas. Bagaimana komunitas Kompas secara praksis nantinya mewujudkan nilai tersebut, dalam kondisi yang sangat berbeda dengan era awal dan pertumbuhan surat kabar Kompas. Pada masa generasi pertama surat kabar Kompas, khususnya pada masa pertumbuhan sejak tahun 1980-an, fungsi pemimpin umum (chief executive) dan pemimpin redaksi (chief editor) berada pada Jakob Oetama.
Media pers merupakan institusi bisnis, untuk ini fungsi seorang pemimpin umum sangat menentukan. Di bawah kepemimpinan Jakob Oetama, perusahaan Kompas menjadi salah satu usaha bisnis besar di Indonesia, dapat disebut sebagai pemuka di pasar media (market leader). Keberhasilan dari aspek bisnis ini merupakan faktor penting dalam mendukung peran Kompassebagai institusi sosial. Fungsi sosial suatu media pers dijalankan oleh kaum profesional jurnalis. Organisasi bisnis yang dimulai dengan menghadirkan surat kabar Kompas, kemudian bertumbuh sebagai imperium bisnis dengan rantai bisnis media dan korporasi nonmedia lainnya.
Adapun pemimpin redaksi merupakan personifikasi dari media pers sebagai institusi sosial. Keberadaan institusi ini merupakan suatu komunitas kultural yang dibangun dan dipelihara dengan solidaritas internal. Kantong kultural ini sebagai wahana yang memelihara nilai-nilai kemanusiaan dan orientasi sosialKompas, di tengah-tengah anomie bahkan hiruk-pikuk (chaotic) yang berlangsung di luar. Maka, organisasi keredaksian dipandang sebagai rumah yang perlu dijaga oleh anggota komunitas karena semangat di rumah ini diharapkan menjadi pendorong warganya untuk “Menghibur yang Papa, Mengingatkan yang Mapan”, sebagaimana menjadi misi surat kabar Kompas.
Cetak dan digital
Regenerasi pengelola surat kabar Kompas telah berlangsung lapis demi lapis. Tantangan yang dihadapi generasi sekarang jauh lebih kompleks. Pada masa lalu tantangan terbesar adalah menjalankan institusi media bak meniti buih di tengah kerasnya represi rezim negara Orde Baru. Tantangan bersifat politis senantiasa terancam kematian akibat pemberedelan oleh pemerintah. Sementara sekarang masalah yang harus direspons adalah tantangan bersifat sosiologis, yaitu menghadirkan diri dengan personalitas yang sesuai dengan perubahan masyarakat.
Tantangan terbesar adalah kecenderungan demografis. Akhir abad ke-20 ditandai dengan lahirnya “generasi digital” yang lebih banyak menggunakan waktu dengan perangkat audiovisual elektronik dalam serapan pembelajaran dan aktivitas komunikasi.
Artinya, sebagai konsumen sekaligus produsen yang sangat aktif dalam komunikasi berbasis teknologi dan produk digital. Dari sini cara dan gaya hidup khalayak memiliki kekhasan sebagai basis konten yang relevan bagi varian lapis demografis yang ada.
Teknologi cetak konvensional telah membentuk budaya khas untuk media pers (buku, majalah, surat kabar), dikenal sebagai budaya tinggi (high culture) yang serius dan mengutamakan substansi. Komunikasi dengan khalayak bersifat elitis. Sementara budaya digital bertumpu pada sensasi dan bersifat trivial. Kalaupun ada yang berusaha keluar dari orientasi elitis budaya cetak dengan berupaya menjangkau publik lebih luas adalah dengan popularisasi media, biasanya menyentuh aspek sensasi melalui pola tabloidisasi. Sensasionalisme tabloid mengeksploitasi selera rendah (low taste) publik. Karenanya dua pola komunikasi media, yaitu penekanan pada isi substansial versus sensasional, seakan-akan opsi manajemen media dalam mengejar konsumen. Namun, dengan personalitas yang diwariskan pendiri, surat kabar Kompas punya daya tangkal tidak terjerembab pada orientasi sensasionalisme yang mengabaikan substansi pada nilai kemanusiaan.
Persoalan perubahan peta demografis ini perlu mendapat perhatian pengelola surat kabar Kompas. Dalam kaitan dengan khalayak, dengan besaran sirkulasi dan keterbacaan, boleh dikata koran ini pemuka di pasar media. Namun, bagi masyarakat generasi baru, bukan mustahil koran ini dipandang usang (obsolete) yang hanya cocok dibaca orang tua. Karena itu, menjaga agarKompas menjadi bagian dari lapis demi lapis generasi masyarakat adalah melakukan penyesuaian terus-menerus dengan menengok perubahan kecenderungan sosiografis dan psikografis khalayak. Antara lain, mengambil kemanfaatan dari teknologi digital yang bersifat cepat dan efisien dalam penyajian konten-konten produk jurnalisme. Ini telah dikerjakan oleh pengelola dengan mengembangkan media digital multiplatfom surat kabarKompas.
Titian dua sisi
Generasi pelanjut pengelola surat kabar Kompas kini berjalan di titian dengan dua sisi, di sebelah adalah kondisi eksternal, yaitu faktor sosiologis dan psikografis khalayak yang sangat mudah berubah, dan kepungan teknologi media yang bertumbuh pesat. Faktor-faktor ini menjadi penekan dalam persaingan bagi keberadaan surat kabar Kompas. Dari sini jawaban orientasi yang harus dijalankan dalam memenangi persaingan, bagaimana menyajikan konten yang tidak kehilangan makna substansial isu sosial sesuai dengan visi-misi (karakter institusional) surat kabar Kompas untuk khalayak yang hidup dengan way of life dan life style masa sekarang.
Di sebelah lainnya adalah kondisi internal organisasi Kompas dan kelompok bisnisnya. Jika pada generasi awal fungsi pemimpin umum menyatu dengan pemimpin redaksi pada seorang Jakob Oetama, dengan begitu dapat sepenuhnya menjadi personifikasi dari dua bilah institusi media, yaitu sosial dan bisnis. Sebagai sumber nilai dapat berperan dalam dua dimensi, yaitu sosial melalui orientasi keredaksian dan kapitalisasi melalui orientasi bisnis. Sekarang dapat terjadi dua bilah perusahaan media ini berjalan timpang akibat acuan nilai yang berbeda.
Dari perjalanan lima puluh tahun, nilai kultural yang menggerakkan personel keredaksian telah menghadirkan Kompas sebagai suatu surat kabar yang memiliki personalitas sehingga memiliki citra sosial (social image) pada publik. Bagaimana menjaga nilai ini agar tetap relevan di tengah perubahan, baik perubahan organisasi dan manajemen internal Kompas maupun perubahan masyarakat, itulah yang menjadi tantangan bagi generasi penerus dalam menjalankan surat kabar Kompas melalui versi cetak konvensional maupun digital.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juni 2015, di halaman 40 dengan judul “Surat Kabar “Kompas” Menjaga Nilai bagi Dirinya”.