Pelajaran Sederhana (3)

FOTO JURNALISTIK
Oleh Ashadi Siregar

Fakta empiris pada tahap pertama harus tertangkap secara visual. Disini fotografi merupakan sarana utama dalam memperoleh fakta. Fotografi mencakup kedua hal dari dimensi fakta yaitu akurasi dan presisi, sebab dengan perangkat teknologi, fakta secara obyektif direpresentasikan ke dalam foto. Dalam kajian kultural, foto biasa disebut sebagai index dari fakta-fakta di luar sana.

Sifat obyektivitas foto-jurnalisme biasa dipersoalkan dari 2 sisi yaitu pada perekaman fakta (rekayasa dengan lensa/filter), dan pada proses produksi (rekayasa digital pengolahan dan pencetakan). Sedang rekayasa ambilan dan produksi tidak dapat ditoleransi jika untuk mengubah bentuk dari obyek, sedang untuk memperjelas bentuk atau mengembalikan ke suasana waktu (pagi/siang/sore/malam) fakta, dengan rekayasa digital sudah biasa dilakukan. Untuk keperluan jurnalisme rekayasa yang mengubah citra fakta untuk tujuan estetika, masih diperdebatkan.

Bertolak dari sudutpandang dunia fotografi, maka foto-jurnalisme pada hakikatnya menangkap fakta, dengan pilihan bahwa penggalan proses fakta dipandang memiliki nilai berita (penting atau menarik), dan dapat dianggap sebagai representasi dari fakta. Bagaimana hubungan fotografi dengan teks-verbal? Segala yang tidak dapat terungkap dari fotografi, baru kemudian dideskripsikan secara verbal. Sebaliknya, yang sudah ternampak dalam fotografi, tidak perlu dideskripsikan secara verbal.

Fotografi di media cetak bukan hanya urusan jurnalis spesialis fotografi. Kedudukan fotografi dimulai dari setiap reporter manakala berada di lapangan. Kendati disiapkan sebagai jurnalis yang akan mendeskripsikan fakta secara verbal, apapun yang dihadapinya, sejak dini harus punya pertimbangan untuk merekam visual fakta sebagai bagian dari kerjanya. Kecuali kalau kerjanya hanya memungut dunia fiksi dari narasumber, cukup mengambil foto profil.

Kedudukan fotografi di media cetak dapat dilihat sebagai:
1) Pendamping dari fakta yang dideskripsikan secara verbal;
2) Ilustrasi pendukung deskripsi verbal berita;
3) Berdiri sendiri sebagai features.

Dengan demikian teks verbal yang melekat pada fotografi adalah:
1) Caption fotografi pendamping dan pendukung deskripsi verbal;
2) Caption fotografi berdiri sendiri;
3) Teks verbal features dari fotografi berdiri sendiri.

Jika diikuti kerangka pemikiran bahwa dari suatu fakta, visualisasi fotografi adalah setara dengan deskripsi verbal, kesetaraan itu terwujud melalui foto = judul & kickers; caption = lead. Selain itu, caption bukan untuk mendeskripsikan apa yang sudah ternampak secara visual, melainkan memberikan fakta bersifat latarbelakang tempat, waktu, atau atribusi orang. Sedangkan fotografi-features dengan sendirinya berkurang “kecerewetan” (verbose)nya dibanding features verbal.

Kelemahan yang biasa dihadapi dalam foto jurnalistik di media cetak adalah:
1) Teknikalitas, yaitu komposisi, pencahayaan, dsb dalam visual fotografi;
2) Pilihan fakta dalam snapshot, berkaitan dengan nilai signifikansi sebagai pendamping dari deskripsi verbal;
3) Relevansi fotografi sebagai ilustrasi pendukung;
4) Kurangnya perhatian dalam pengembangan foto-features.

ANEKDOT FOTOJURNALISTIK PADA MASA UNI-SOVIET.
Gara-gara foto kunjungan Pimpinan Partai Komunis sekaligus Pemerintahan Kruschev ke suatu pertanian kolektif, redaktur dan fotografer koran utama negara komunis itu dibuang ke Siberia.
Kisahnya begini :
Alkisah Krushchev berkunjung ke suatu pertanian kolektif yang sangat sukses. Kebanggaan kelompok petani adalah keberhasilan mereka mengembangkan babi yang sangat gemuk menggairahkan. Karenanya, dengan sangat sumringah, Kruschev minta agar fotografer mengambilnya bersama babi-babi. Saat dimuat, redaktur foto memasang caption yang heroik begini:
Di bawah naungan panji-panji partai yang gemilang, kamerad petani telah sukses membiakkan babi di tanah pertanian Kucluk. Di antara babi-babi yang gemuk dan sehat tampak ketua Krushchev tersenyum (kedua dari kiri).
Pertanyaan untuk anda yang pernah melihat foto Kruschev: apakah perlu diidentifikasi yang mana Kruschev?

Pelajaran Sederhana (2)

BERITA JURNALISTIK: MENULIS SINGKAT – PADAT
Oleh Ashadi Siregar

( 1 )
Kerja dalam jurnalisme pada dasarnya mengolah fakta menjadi informasi, dapat ditempatkan dalam 2 kelas, pertama: dalam level teknikalitas dengan kemampuan menemukan dan menuliskan fakta sesuai format dan struktur teks berita, biasa disebut sebagai proses reportase/liputan berita (news reporting/covering), Kedua dalam level analisis dengan kemampuan menulis/membentuk teks sesuai dengan wacana (discourse) yang memiliki makna publik (public meaning), disebut sebagai proses analisis berita (news analysis).

Uraian dalam risalah ini berkaitan dengan level pertama. Secara teknis, proses jurnalisme pada terdiri dua tahap, pertama untuk memperoleh fakta, dan kedua menulis teks berita. Menulis singkat dan padat dapat dipelajari sebagai keterampilan berbahasa (diksi – komposisi – eksposisi – deskripsi). Sedang nilai informasi dari suatu berita dapat bersifat pragmatis yaitu sesuai dengan keperluan bersifat teknis (bernilai/fungsional bagi pengguna), yang dapat dibedakan dari makna dalam konteks kultural sebagai public meaning (makna publik: apa yang dianggap benar dalam kehidupan publik)

Makna secara umum (pragmatis dan kultural) dimaksudkan untuk membangun kredibilitas media jurnalisme. Kredibilitas diperoleh dari interaksi bertahun-tahun dengan publik, dibangun secara sosiologis dengan bertolak dari visi dan misi yang dianut penyelenggara media, menjadi landasan keberadaan seterusnya. Secara eksternal kredibilitas merupakan persepsi publik terhadap media, dan secara internal diwujudkan melalui kualitas yang dibentuk. Parameter kualitas hadir melalui praktik sosial untuk mewujudkan produk berita media pers. Operasi teknis dengan kinerja dan output pemberitaan dalam azas kecermatan faktual (accuracy), keseimbangan/ ketidak-berpihakan (balance/impartiality), dan kepantasan (fairness). Dari sisi lain, azas ini dapat dilihat sebagai proses untuk mencapai obyektivitas dan kebenaran (truthness). Dengan capaian akhir inilah kredibilitas media pers sebagai institusi sosial diwujudkan sehingga publik menghargai media persnya.

Selain itu kualitas media pers dapat dibangun melalui daya tarik (attractiveness). Desain untuk penampilan fisik termasuk urusan ini. Tetapi daya tarik dari desain hanya berkaitan dengan aspek motorik psikhis. Yang utama adalah daya tarik yang berasal dari substansi teks, sebab dari sinilah kredibilitas disentuh. Ini berkaitan dengan makna publik, yaitu apa yang dianggap benar bertolak dari sisi akal sehat maupun kesadaran kolektif dalam kehidupan publik. Makna publik tidak bersifat ekplisit, melainkan sebagai wacana yang terkandung dalam teks.

Karenanya sebagai “roh” yang terdapat disebalik (beyond) suatu teks.
Kredibilitas media membawa implikasi dalam posisinya bagi publik. Media dipersepsikan menjadi sumber dari makna publik, karenanya dipercaya sebagai sumber kebenaran, dan pada sisi lain memiliki kekuasaan (power) secara intelektual di tengah publik. Dalam posisi semacam ini media pers akan di”cemburui” oleh pihak yang berkepentingan untuk memonopoli makna publik. Karenanya makin tinggi kredibilitas, makin besar kekuasaan, makin keras hantaman kekuatan yang memperebutkan hegemoni dalam kehidupan publik.

( 2 )
Media beroperasi tidak di ruang hampa. Dia berada di tengah lingkungan dengan konstruksi sosial tertentu. Konstruksi sosial menjadi landasan kebenaran yang dianut secara kolektif, karenanya mempengaruhi seluruh cara pandang pada level pertama maupun kedua. Setiap relasi sosial merupakan fakta yang selamanya dilihat dalam dataran kebenaran. Sedang kebenaran merupakan suatu nilai yang didefinisikan untuk tujuan idealisasi. Dengan kata lain, kebenaran menjadi dasar bagi posisi lebih dominan dalam setiap relasi sosial. Pihak yang benar, memiliki kekuasaan untuk memiliki pembenaran bagi tindakannya dalam situasi sosial yang diciptakan. Karenanya suatu situasi sosial memiliki kualitas yang parameternya ditetapkan atas dasar definisi nilai kebenaran. Nilai kebenaran perlu dilihat dalam 3 aras, pertama pada aras empiris, kedua pada aras legalitas, dan ketiga pada aras rasa keadilan.
Kebenaran empiris bagi kalangan positivis cukup dilihat dari adanya terjadi dalam ruang dan waktu yang dapat dibuktikan dengan inderawi (sense) manusia. Prinsip jurnalisme konvensional bertumpu pada kebenaran empiris. Pembuktian sesuatu situasi sosial memang benar ada, merupakan titik awal dalam kerja jurnalisme dan akademik. Seluruh prinsip metodologi sosial yang konvensional atau klasik pada dasarnya bertumpu pada upaya mendapatkan situasi sosial yang ada secara empiris. Penyimpangan atas kebenaran dipandang sebagai kepalsuan atau dusta dalam tindakan. Kebenaran bersifat empiris penting sebagai titik berangkat, tetapi tidak memadai dalam menata kehidupan sosial. Lalu dari sini dikenal kebenaran lainnya.

Kebenaran legalitas bertolak dari hukum positif, dengan memperbedakan tindakan atau perbuatan manusia dengan ukuran hukum formal. Setiap perbuatan manusia dinilai dari ketentuan yang dirumuskan dengan kaidah hukum formal, baik hukum positif maupun hukum agama (fikih) dan hukum tradisional (adat). Parameter dari kebenaran legalitas dilihat dari kesesuaian perbuatan individu dalam situasi sosial yang tertata (social order), karenanya penyimpangan dari standar merupakan perbuatan salah yang harus mendapat sanksi. Hukum agama dan adat memiliki sifat primordial, karenanya dalam kehidupan modern berlaku hukum positif sebagai sumber kebenaran legalitas. Dengan kebenaran ini kedudukan manusia ditempatkan di bawah kaidah yang dirumuskan, sehingga sering terjadi makna kehidupan manusia tidak perlu dilihat, sebab yang dinilai adalah perbuatan empiris.

Kebenaran atas dasar rasa keadilan dilihat melalui keberadaan manusia secara total dalam kaitan dengan hak-haknya sebagai manusia. Kebenaran semacam ini bertolak dari pendefinisian makna kemanusiaan. Perbuatan apalagi yang bersifat momentum, hanya merupakan bagian penggalan kecil dari kehidupan seseorang. Sedangkan kehidupan merupakan proses panjang dan mendalam menyangkut totalitas kedirian dalam dimensi fisik dan dimensi psiko-sosial yang berada dalam masa lalu, kini dan masa datang, berada dalam konteks dunia empiris dan dunia simbolik. Dengan kata lain, setiap manusia hadir dalam kaitan kontekstual antara dunia-dalam (inner-world) dan dunia-luar (outer-world)nya, yang perlu dilihat maknanya secara total dan kontekstual.

Hak asasi melekat pada setiap manusia, dari sini keberadaan setiap manusia dapat dilihat dari kapabiltasnya dalam mewujudkan hak-haknya, atau sebaliknya hambatan dalam mewujudkan hak tersebut. Karenanya parameter untuk mengidentifikasi masyarakat secara kritis adalah melalui pertanyaan kunci, sejauh mana interaksi antar warga dan antar kelompok dalam konteks negara dan masyarakat. Kondisi tidak ekual secara sederhana dilihat dari hambatan bagi person atau kelompok dalam mewujudkan hak-haknya dalam situasi sosial. Hambatan ini berada pada tiga level: pertama faktor fisik, kedua faktor akses/interaksi personal, dan ketiga faktor struktural. Setiap level menghadapi kendala yang khas.

Faktor pertama, bersumber dari kondisi fisik. Pengwujudan hak dapat terhambat akibat keterbatasan fisik antara lain dialami oleh kalangan berbeda kapasitasnya (different abilities, difable), sebutan untuk person yang mengalami keterbatasan secara fisik maupun mental yang mempengaruhi kapasitas dalam interaksi sosial. Begitu pula anak-anak dan perempuan atau seseorang yang karena faktor fisik mengalami diskriminasi sering mengalami ketertindasan sehingga kehilangan hak-haknya.

Faktor kedua, hambatan yang bersumber dari kondisi status sosial seseorang. Tingkat pendidikan yang rendah, atau kedudukan ekonomi yang lemah, serta status sosial yang rendah mengakibatkan seseorang mengalami keterbatasan dalam relasi sosial, lebih jauh tidak punya akses terhadap fasilitas yang ada di ruang publik. Dengan begitu tidak dapat memanfaatkan hak-haknya atas fasilitas tersebut.

Sedang faktor ketiga bersifat struktural dilihat dari kondisi relasi-relasi sosial yang berlangsung di ruang publik yang melahirkan konstruksi sosial dalam memperlakukan manusia, dengan menganggap ketidak-setaraan sebagai suatu kebenaran. Konstruksi sosial yang bersifat diskriminatif terhadap warga dianggap sebagai hal yang normal, maka keberadaan kelompok yang tidak dapat mewujudkan hak-haknya dengan sendirinya tidak ternampak.

Dari sini setiap person atau kelompok pada dasarnya perlu dilihat dari kondisi subyektifnya yang berhadapan dengan pihak lain dalam suatu situasi sosial. Dengan sudut pandang ini person ditempatkan dalam posisinya yang berhadapan dengan kendala-kendala atas hak-haknya dalam suatu perspektif. Sehingga dalam perspektif kritis yang bertolak dari asumsi dasar adanya ketidak-setaraan ketidak-seimbangan dan ketidak-samaan (inequality). Dalam situasi sosial, diperlukan sudut pandang dengan memberi perhatian terhadap person yang berada dalam situasi ketidak-setaraan. Situasi sosial semacam ini diisi oleh interaksi antara pihak yang powerful dengan pihak yang powerless pada interaksi emprisi, dan sekaligus voiceful dan voiceless dalam politik pencitraan.

( 3 )
Berita adalah cerita tentang fakta. Apakah fakta? Yaitu aspek tertentu yang didefinisikan (defining) atau spesifikasi dari suatu realitas. Fakta jurnalisme adalah aspek dari suatu realitas yang dispesifikasikan atau didefinisikan dengan kategori kelayakan berita (newsworthiness).
Seluruh kaidah kerja bertujuan untuk mendapatkan obyektivitas dan kebenaran ontologis atas fakta. Dalam kaidah ini, hukum besi dalam epistemologi jurnalisme adalah: reporter tidak boleh menciptakan fakta. Fakta berasal dari dunia obyektif, sepenuhnya berada di luar dunia subyektif jurnalis. Secara sederhana fakta adalah seseorang / person (Who) yang mengalami atau terlibat dalam peristiwa, kasus atau fenomena (What) dalam ruang/tempat (Where) dan waktu (When) yang teruji kebenarannya (secara ontologis). Disini reporter juga perlu mewaspadai subyektivitas dari pihak-pihak dalam fakta. Subyektivitas dapat muncul dari setiap person yang menjadi narasumber. Dalam prakteknya, media menyiarkan berita yang diolah dari bahan/materi dari varian fakta sebagai berikut:

Varian pertama, fakta sebagai dunia obyektif yang dapat direkonstruksi oleh jurnalis atas dasar tangkapan inderawinya. Fakta semacam ini dihadapi secara langsung oleh jurnalis melalui observasi. Dalam merekonstruksikan fakta ini, jurnalis mutlak harus dapat menyisihkan emosi dan perferensinya yang mungkin ada dalam menghadapi fakta tersebut. Biasanya fakta semacam ini hanya dalam lingkup tontonan seperti kesenian atau olahraga, sebab “Who” yang terdapat dalam fakta dapat dideskripsikan atas dasar observasi langsung oleh jurnalis.

Varian kedua, fakta adalah dunia obyektif yang direkonstruksi atas dasar bantuan keterangan pihak yang mengalaminya. Bagian terbesar berita berupa fakta sosial yang merupakan hasil rekonstruksi semacam ini. Disini pentingnya narasumber (resource person) yang akan menjadi who dalam beritanya. Kebenaran atas suatu fakta mutlak harus teruji melalui segiempat: WHAT – WHO – WHERE – WHEN, yang dapat diyakini adanya. Prinsip ontologis metodologi jurnalisme adalah untuk memperoleh pembuktian bahwa faktor segiempat ini memang ada secara empiris. Inilah yang menjadi fakta keras (hard fact). Kebebasan orang media untuk merekonstruksikan fakta keras dalam konteks untuk kepentingan publik (pro bono publico) merupakan bagian dalam kebebasan pers (freedom of the press). Tanggungjawab atas suatu hasil rekonstruksi fakta adalah pada jurnalis, bukan pada narasumber.

Varian ketiga, fakta buatan adalah adanya seseorang menyatakan komentar, pendapat, sikap, atau perasaan seseorang atas suatu fakta keras. Dengan kata lain, merupakan who yang menyatakan (stated, expressed) suatu hal atas suatu fakta keras. Kebebasan warga untuk menyatakan alam pikiran ini merupakan bagian dalam kebebasan ekspresi (freedom of the expression). Fakta semacam ini dapat disebut sebagai fakta buatan, sebab dibentuk saat jurnalis meminta komentar/pendapat dari seseorang. Sebelum seorang mengekspresikan alam pikirannya, belum terbentuk fakta. Suatu pendapat sebagai alam pikiran tidak dapat menjadi fakta, sebab yang menjadi fakta adalah adanya seseorang berpendapat. Tanggungjawab atas alam pikiran tersebut pada orang bersangkutan, kecuali dia sebagai narasumber menganggap jurnalis salah dalam mengutip ekspresinya.

Selain itu varian fakta buatan dapat pula berupa peristiwa yang direncanakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan subyektif, ataupun kepentingan sosial untuk pencitraan bersangkutan. Biasanya wartawan diundang untuk meliput. Nilai berita tdak terdapat dalam peristiwa, tetapi dari substansi permasalahan yang dinyatakan pada peristiwa.
Varian keempat, bahan berita seolah-olah suatu fakta tetapi tidak dibuktikan secara empiris (to state as fact without proof), merupakan sinyalemen, dugaan, kabar burung yang tidak dibuktikan. Jurnalis tidak akan memberitakan bahan berita semacam ini. Kalaupun ada bahan semacam ini, jurnalis akan mengivenstigasi guna mendapatkan fakta bersifat empiris. Dengan demikian suatu dugaan hanya akan menjadi titik tolak dalam investigasi.

Proses kerja jurnalisme pada dasarnya berkaitan dengan jurnalis mendapatkan fakta. Untuk itu berlangsung hubungan JURNALIS – FAKTA – NARASUMBER. Disini faktor narasumber sangat penting, sebab hanya melalui narasumber jurnalis dapat memperoleh fakta. Seorang jurnalis mungkin saja memperoleh fakta tanpa adanya narasumber kalau dia dapat mengobservasi secara langsung fakta tersebut. Sebaliknya, jurnalis mutlak harus menghindari penulisan berita tanpa adanya narasumber, manakala fakta tidak diobservasi secara langsung. Berita “dugaan” adanya fakta semacam ini mutlak harus dihindari dalam proses jurnalisme.

( 4 )
Dalam proses kerjanya setiap reporter pada umumnya bertolak dari kaidah teknis yang biasa disebut sebagai nilai berita atau standar kelayakan berita. Kadangkala kaidah teknis ini dianggap sebagai dogma yang keramat, dengan melupakan masalah epistemologi yang mendasari kerja profesi ini. Dalam kaidah epistemologi, jurnalis perlu melakukan pendenifisian (defining) atas kedua ranah (domain) fakta dan informasi. Untuk itu perlu disadari bahwa setiap pendefinisian selamanya bertolak dari preferensi atau kecenderungan terarah dari pihak yang mendefinsikan. Preferensi ini dapat dalam konteks skala pribadi, kolektif dalam manajemen korporasi, atau yang lebih universal. Selain itu preferensi dapat juga bersifat subyektif atau sebaliknya obyektif. Berbagai buku teks jurnalisme umumnya memberikan pendefinisian atas fakta sekaligus informasi jurnalisme.

Kaidah teknis kelayakan informasi secara umum dirumuskan melalui sifat fakta seperti: berakibat (impact), nilai keuangan (currency), kewaktuan (timeliness), keterkemukaan (prominence), kedekatan (proximity), pertentangan (conflict), kebaruan (novelty), keganjilan (unusual), dan lainnya. Secara teknis sifat fakta digolongkan penting dan menarik, bertolak dari kepentingan khalayak. Suatu fakta dipandang penting jika memiliki nilai guna sosial, sedang menarik jika memenuhi nilai guna psikhis.

Nilai berita suatu fakta dapat dilihat dari dua sisi, pertama bersifat intrinsik, terkandung dalam fakta itu sendiri, dan kedua bersifat ekstrinsik sesuai dengan pemaknaan yang dilakukan oleh khalayak. Suatu fakta pada dasarnya merupakan penggalan dari suatu proses sosial, dan sebagai suatu peristiwa yang tidak diperkirakan terjadinya. Dengan kata lain, makna suatu fakta tidak dapat dilepaskan dari ruang sosial dimana fakta itu muncul. Pada sisi lain, secara ekstrinsik fakta tadi memiliki arti penting bagi kehidupan khalayak media.

( 5 )
Menulis singkat dan padat boleh dipandang sebagai masalah penyuntingan bahasa. Prinsip sederhana dalam kerja ini adalah menciptakan teks yang efisien dan efektif. Sifat ini dalam tulisan jurnalistik dapat dilihat dari 2 sisi. pertama dari sisi pembaca, kita sebut efektif jika dengan cara pembaca yang sambil lalu ia dapat paham dan menghayati isi bacaannya; dan efisien jika dengan waktu yang cepat ia dapat menyelesaikan bacaannya dengan hasil yang maksimal. Jadi kalau pembaca sampai berkerut kening untuk memahami suatu tulisan, katakanlah tulisan itu sudah gagal sebagai teks jurnalistik. Begitu pula kalau ia harus membuang waktu terlalu banyak untuk memahami tulisan tadi. Kedua, dari sisi penulis, penulisan disebut efektif jika seluruh ide atau gagasan dapat disampaikan dengan lengkap; sedang efisien jika dengan kata yang lebih sedikit dapat menyampaikan ide dengan jelas.

Di luar urusan penulisan, masalah penyuntingan teks berita dapat dikembalikan pada basisnya, yaitu pendeskripsian fakta sebagai langkah untuk menghadirkan makna dari fakta tersebut. Tahap awal adalah menentukan bagian dari bangunan (struktur) fakta yang akan dideskripsikan. Karenanya komposisi suatu teks akan mengikuti struktur fakta sesuai dengan tangkapan reporter.

Struktur paling sederhana suatu fakta adalah segiempat unsur (apa, siapa, tempat dan waktu terjadi suatu fakta), deskripsi pada level pertama dilakukan atas unsur-unsur tersebut. Pendeskripsian semacam ini, melekat sebagai keterampilan setiap anak didik sejak sekolah dasar. Kalau dalam proses pendidikan anak didik dibimbing untuk bercerita atas fakta, diharapkan setamat SD sekadar menulis teks berita dengan 4 unsur bukan hal yang asing lagi. Kalaupun dianggap ada yang perlu dipelajari adalah dalam komposisi/struktur teks.

Deskripsi level berikutnya dengan faktor mengapa (WHY) dan bagamana (HOW) diterapkan atas satu unsur berkonteks pada unsur lainnya (mengapa: siapa berkonteks apa, atau apa berkonteks tempat, dan sebagainya). Deskripsi singkat dan padat biasanya berhadapan dengan kepentingan pengungkapan kelengkapan dan detail dalam penulisan teks berita. Kelengkapan dan detail bertolak dari 4 unsur pokok atau pun dengan faktor mengapa dan bagaimana bertolak dari keperluan kejelasan dalam kerangka efisiensi dan efektivitas komunikasi.

Pelajaran Sederhana (1)

WAWANCARA JURNALISTIK

Oleh Ashadi Siregar

Pada suatu sore di akhir 80-an. Sedang asyik-asyiknya menikmati kesendirian dengan sebuah buku, saya terusik bel rumah. Seorang muda bertamu. Saya tidak mengenalnya, karenanya setelah menjawab salam awal persuaan, saya menunggu dia memperkenalkan diri.

”Saya dari ’….’,” dia menyebut nama sebuah media majalah mingguan terbitan Jakarta, ”saya mendapat tugas untuk mewawancarai bapak.”

Bukan namanya yang dia sebut. Jadi dia ingin anonim saat berwawancara.

Dia mengeluarkan selembar kertas faks dan tape recorder. Kelihatannya dia yakin, dengan menyebut nama medianya, setiap orang akan sangat ingin diwawancarai. Hm, pasti dia bukan mahasiswa saya, dan juga tidak pernah mengikuti latihan jurnalisme yang di dalamnya saya terlibat. Sebab tidak lazim mahasiswa atau calon wartawan yang mengenal saya, memperlakukan saya sebagai bapak-bapak, apalagi dengan gaya congkak saat menyebut nama medianya. Boleh jadi oleh seniornya ditanamkan kebanggaan akan reputasi medianya, tapi dalam tangkapan saya menimbulkan kesan arogan. Bisakah dibedakannya pride (bangga) dengan congkak?

”O, begitu,” kata saya, tentu sudah dengan nada yang datar. Bisa anda bandingkan dua situasi: kenikmatan dari buku, dengan waktu yang harus saya sediakan untuk si reporter?

Boleh jadi dia terintimidasi dengan nada datar sambutan, duduknya mulai gelisah.

Saya tidak tertarik dengan nama medianya, meskipun banyak di antara pengelola media itu yang sudah saya kenal belasan tahun, dan media ini punya reputasi tinggi. Tetapi yang lebih penting bagi saya adalah tentang dirinya. Saya ingin  mengenalnya, dan sedapat mungkin tahu latar belakang yang mempertalikan dia dengan saya. Saya tidak memerlukan basa-basi, apalagi nama besar media tempatnya bekerja yang dibanggakannya. Saya hanya ingin tahu bahwa dia sebagai reporter memang pernah bertemu dengan saya dalam kesempatan atau forum-forum yang membahas masalah jurnalisme. Kalau dia (bekas) mahasiswa, dapat menyebut kelas yang saya ampu manakala dia pernah menjadi peserta. Atau di antara sekian banyak pelatihan atau diskusi yang telah saya hadiri, dan dia ada di dalamnya. Percakapan dapat dimulai dari persoalan yang pernah dibahas disitu. Atau dia mempertalikan dengan seseorang yang saya kenal baik, yang pernah berurusan dengan dia. Kalau memang perlu basa-basi profesional, percakapan semacam itu yang saya perlukan.

Mungkin reporter muda ini tidak pernah mendapat pelatihan wawancara di kantornya. Bukankah selalu ditekankan perlunya ’ice-breaking’ dalam suatu interaksi? Dan pemecah kebekuan yang efektif adalah percakapan dengan topik yang mempertalikan diri si pewawancara dengan terwawancara.

***

Perjuangan awal seorang reporter muda adalah menghadirkan diri dalam interaksi, dan dalam perjalanan panjang akan memiliki hubungan dengan berbagai kalangan, orang-orang yang punya peran dalam kehidupan publik. Karenanya nilai diri seorang jurnalis adalah goodwill, berupa daftar panjang relasi yang mengenal dan mempercayainya, sekaligus bersedia menjadi narasumber,

Bagaimana jika deretan ”daftar nama” relasi belum panjang? Saur Hutabarat, lulusan jurusan Ilmu Komunikasi UGM, belakangan sebagai jurnalis handal, pernah bercerita dalam salah satu program pelatihan calon wartawan di LP3Y. Saat dia baru meninggalkan kampus dan masih dalam status reporter pemula, oleh redakturnya ditugasi mewawancarai Prof Oemar Senoadji. Bayangkan, seorang wartawan greenhorn, harus menemui seorang mahaguru hukum sekaligus Ketua Mahkamah Agung.

Setelah diterima di ruang kerja Prof Oemar, Saur membuka percakapan: ”Boleh dibilang, saya ini cucu murid atau bahkan mungkin cicit murid bapak.”

Prof Oemar melengak.

”Iya pak, saya tidak beruntung langsung menjadi mahasiswa bapak, tapi diktat kuliah bapak sewaktu mengajar Hukum Pers di Gadjah Mada, diwariskan dari generasi ke generasi, sebagai pegangan kami,” lanjut Saur.

Prof Oemar terkuak nostalgianya manakala mengajar di Pagelaran Kraton Yogyakarta, tempat kuliah mahasiswa Fakultas Sosial dan Politik dan Fakultas Hukum saat Universitas Gadjah Mada belum punya gedung. Percakapan bermula tertang pengajaran hukum. Maka terbuhul pertalian. Di sini Prof Oemar sebagai guru Ilmu Hukum. Setelah bercakap-cakap beberapa menit, kemudian dia menyediakan diri, sebagai narasumber untuk isu yang akan diangkat media tempat Saur bekerja. Maka Ketua Mahkamah Agung berbicara pada si reporter pemula.

Dapat dipahami bahwa terwawancara yakin bahwa reporter muda pewawancara dihadapannya, memiliki pengetahuan memadai yang diperlukan dalam wawancara tentang masalah hukum. Karenanya dapat dimaklumi manakala kemudian wawancara sesuai isu yang akan ditulis, berlangsung dalam diskusi yang intensif. Dan Prof Oemar Senoadji menyediakan waktu melebihi yang ditentukan semula oleh stafnya.

***

Wawancara jurnalisme bukan tanya jawab dengan kuesioner. Wawancara merupakan dialog, yaitu interaksi antara pewawancara dengan terwawancara. Walaupun menggunakan piranti perekam, mungkin berupa tanya-jawab, tetapi sebagai suatu dialog yang bertolak dari upaya merekonstruksikan suatu fakta atau wacana.

Pekerjaaan jurnalisme pada hakikatnya diwujudkan dengan wawancara. Jurnalis tidak pernah menciptakan berita, sebab berita selamanya berasal dari fakta. Fakta berada dalam ruang dan waktu tertentu, biasa disebut berada di lapangan (field). Setiap fakta lapangan, melibatkan orang atau person yang mengalami atau menyaksikan (bersifat empiris), atau person yang berpendapat atas suatu fakta. Dengan begitu suatu berita akan bertumpu pada pengalaman empiris atau pun pendapat seseorang. Untuk mendapatkan pengalaman dan pendapat ini setiap jurnalis harus menggunakan teknik wawancara. Dalam kerjanya seorang jurnalis dapat juga menggunakan teknik observasi, tetapi harus disadari bahwa hanya fakta fisik yang sedang berlangsung dapat diobservasi. Jaranglah seorang jurnalis berhadapan dengan fakta semacam itu. Fakta fisik yang dipertunjukkan sehingga tersedia untuk diobservasi hanyalah dalam upacara, olahraga, acara seni atau kegiatan teragenda lainnya. Sedang fakta selamanya sudah berlalu saat jurnalis berada di lapangan.

Ya, fakta lapangan umumnya sudah berlalu, karenanya harus direkonstruksi dari keterangan narasumber. Begitupun suatu pendapat, hanya dapat ’dikeluarkan’ dari alam pikiran seseorang dengan wawancara, kecuali dia menceramahkannya. Kerja jurnalisme pada hakikatnya upaya merekonstruksikan pengalaman empiris narasumber dalam suatu deskripsi faktual, atau merekonstruksikan pendapat narasumber sebagai suatu wacana.

Perlu disadari bahwa dalam suatu wawancara untuk mendapatkan pendapat, terwawancara pada dasarnya perlu meyakini bahwa reporter pewawancara punya pengetahuan yang memadai untuk interaksi dialog itu (Disini berpengetahuan harus dibedakan dengan sok tahu. Berpengetahuan bersumber dari kualitas diri, sok tahu hanya dari pencitraan). Mengapa? Sebab ”mengeluarkan” pendapat dari alam pikiran seseorang untuk kemudian merekonstruksinya sebagai wacana diperlukan pengetahuan untuk mendukung proses dialog.

***

Nah, kembali ke reporter muda yang mau mewancarai saya. Sebelumnya saya sudah mengetahui ada kasus yang dialami oleh satu media pers berhadapan dengan aparatur kekuasaan negara. Jelas saya bukan penguasa ataupun pengelola media dalam kasus itu, karenanya tentulah dia tidak bermaksud merekonstruksi fakta dari saya. Dugaan saya, dia ingin mendapatkan komentar atau pendapat saya tentang kejadian yang menimpa media tersebut.

Kendati tidak mendapat petunjuk apapun yang dapat membuka interaksi, saya menyediakan diri untuk diwawancarai. Untuk itu saya berkata:

”Wawancara tentang apa?”

”Dari kantor sudah ada daftar pertanyaannya,” katanya.

”Apa pertanyaannya?”

Dia menyodorkan kertas faks. Sederet pertanyaan. Saya baca dengan cepat. Redaktur yang membuat assignment wawancara itu telah menyusun dengan sistematis. Saya dapat menangkap tesa yang digunakan oleh si redaktur mengenai kasus yang akan ditulisnya. Daftar pertanyaan itu akan menjadi ”batang tubuh” beritanya. Saya juga membayangkan kebiasaan redaktur majalah itu, sebenarnya tidak memerlukan pendapat saya sebagai wacana utuh.  Yang diperlukannya hanya sebaris duabaris kalimat yang dapat dicupliknya dari jawaban saya untuk mengisi teks yang sudah memiliki tesa dan ”batang tubuh” itu. Daftar pertanyaan itu saya kembalikan.

”Dapat kita mulai pak?”

”OK,” jawab saya.

Repoter muda meng’on’ perekamnya. Lalu membacakan pertanyaan pertama.

Saya jawab. Jawaban saya panjang lebar, kelihatan si reporter muda bingung. Saya menyediakan beberapa jeda dalam rentang waktu tertentu, menunggu interupsinya. Tapi dia tidak bereaksi. Sekitar sepuluh menit saya mengoceh. Selesai.

Begitu saya berhenti bicara, reporter muda membacakan pertanyaan kedua.

”Lho, itu ’kan sudah saya jawab tadi,” kata saya.

Reporter muda bingung. Dia membacakan pertanyaan butir ketiga:

”Itu juga sudah saya jawab tadi. Begini deh, karena kamu tidak mendengar yang saya omongkan, kamu dengar saja rekamannya. Semua pertanyaan dalam assignment kamu itu sudah terdapat dalam jawaban saya. Kalau kamu ragu, transkripsikan keterangan saya tadi. Setiap pertanyaan bisa kamu temukan jawabannya kalau kamu breakdown keterangan saya tadi.”

Reporter muda itu terdiam, kemudian pamit. Bagi si wartawan muda, mungkin saya dianggap ”ngerjain”.

Ah, itu belum seberapa. Dalam latihan calon waertawan, entah berapa ratus halaman tugas-tugas yang dibuang ke keranjang sampah, dan yang berlatih harus mengetik ulang tugasnya. Latihan spartan sebelum memasuki profesi untuk penajaman penalaran, pengetahuan konseptual, kemampuan observasi dan wawancara, penguasaan diksi, dimaksudkan menjadikan seorang wartawan siap melihat, siap mendengar, siap berpikir, siap merekonstruksi, siap menuliskan. Tempaan mental dalam teknik wawancara hanya salah satu di antara sekian banyak latihan lainnya.

***

Apa sebenarnya yang terjadi dalam interaksi dengan si wartawan muda? Dia malas mendengar. Bahkan malas berpikir. Saya prihatin, bagaimana mungkin seorang jurnalis malas mendengar dan berpikir? Dia mengandalkan daftar pertanyaan yang dibuat redakturnya, dan pita kaset rekorder. Dia ingin setiap pertanyaan diikuti jawabannya sesuai urutan, dan nanti dia tinggal mentranskripsikan untuk dikirim ke redakturnya.

Jika dia menyukai profesi jurnalisme, tentulah saat menerima assignment itu, dia akan membaca masalah yang berkaitan dengan latar dari isu yang akan diangkat majalahnya. Disini diperlukan pengetahuan. Sebagaimana Saur Hutabarat, membongkar tumpukan buku eks kampus, mencari warisan diktat Hukum Pers sebelum menemui Prof Oemar.

Untuk mendapatkan pendapat seorang ekonom tentang suatu isu moneter, misalnya, pada tahap pertama tentunya jurnalis harus kenal bahwa ekonom itu seorang pakar di bidang moneter. Di balik itu, si jurnalis tentunya perlu memahami (setidaknya konsep elementer) ekonomi moneter. Dengan begitu wawancara berjalan secara kritis. Jurnalis bukan gentong yang menampung keterangan, tetapi seorang profesional yang menghadapi fakta dan pendapat, untuk menjadikannya informasi jurnalisme.

Seorang jurnalis profesional bukan hanya mengandalkan teknik jurnalistik 5W-1H, tetapi bermodalkan pengetahuan yang memadai dalam menghadapi isu-isu dalam kehidupan publik, ditambah dengan metode kerja (termasuk wawancara) dalam memeroses fakta publik dan pendapat narasumber  menjadi informasi.

***