
FilmTV ide cerita Ashadi Siregar, disutradarai Slamet Raharjo, menceritakan sisi kehidupan profesi jurnalisme. Episode 4 dari 6 Kisah. Produksi 1996. https://youtu.be/QAebuYM2B7g

FilmTV ide cerita Ashadi Siregar, disutradarai Slamet Raharjo, menceritakan sisi kehidupan profesi jurnalisme. Episode 4 dari 6 Kisah. Produksi 1996. https://youtu.be/QAebuYM2B7g
Posted by Ashadi Siregar on 21/11/2017
https://ashadisiregar.com/2017/11/21/filmtv-tajuk-4/

FilmTV ide cerita Ashadi Siregar, disutradarai Slamet Raharjo, menceritakan sisi kehidupan profesi jurnalisme. Episode 3 dari 6 Kisah. Produksi 1996. https://youtu.be/UdbzVh9FIvY
Posted by Ashadi Siregar on 09/11/2017
https://ashadisiregar.com/2017/11/09/filmtv-tajuk-3/

FilmTV ide cerita Ashadi Siregar, disutradarai Slamet Raharjo, menceritakan sisi kehidupan profesi jurnalisme. Episode 2 dari 6 Kisah. Produksi 1996. https://youtu.be/t7dcnyU646Q
Posted by Ashadi Siregar on 05/11/2017
https://ashadisiregar.com/2017/11/05/filmtv-tajuk-2/

FILMTV-TAJUK
FilmTV ide cerita Ashadi Siregar, disutradarai Slamet Raharjo, menceritakan sisi kehidupan profesi jurnalisme. Episode 1 dari 6 Kisah. Produksi 1996. https://www.youtube.com/watch?v=eGuZafIBUD8
Posted by Ashadi Siregar on 02/11/2017
https://ashadisiregar.com/2017/11/02/filmtv-tajuk/
Membaca Ulang Film ”Pengkhianatan G-30-S PKI”
ASHADI SIREGAR
Baiklah diterima bahwa film Pengkhianatan G-30S-PKI suatu karya dengan kandungan estetika. Suatu karya kreatif, khususnya seni, tidak ada salahnya dibaca, didengar, ditonton berulang-ulang, jika memang muatannya mengesankan.
Karya seni akan mengasah rasa dan memperkaya batin. Namun, jika harus digiring rame-rame oleh kekuasaan di luar diri, tentulah tak elok untuk nalar dan kecerdasan pribadi. Interaksi dengan karya seni hendaklah bersifat otentik, antara daya magnet dari karya dan persepsi dari penikmatnya.
Bagi generasi milenial yang lahir dan besar di era pasca-Orde Baru, baik diungkapkan sedikit latar belakang. Film Pengkhianatan G-30S-PKI diproduksi tahun 1984 oleh perusahaan film negara, disutradarai oleh sineas terkemuka Arifin C Noer. Film ini berdurasi tiga setengah jam lebih, diputar secara masif di bioskop-bioskop dengan penonton yang dikerahkan dari sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah. Kemudian, secara berkala setiap akhir September, diputar di media pemerintah: TVRI.
Film ideologis
Film itu dibuat setelah konsolidasi kekuasaan Orde Baru optimal, dengan keberhasilan meniadakan setiap oposisi. Mulai dari gerakan intelektual kampus dekade 1970-an sampai kekuatan parpol Islam awal 1980-an, telah dimatikan. Sejak itu kekuasaan dibangun atas dasar ideologi Orde Baru.
Sebenarnya seperti apa ideologi Orde Baru? Ada dua, yaitu pertama, yang bersifat manifes dijabarkan resmi, secara struktural disosialisasikan dengan Ketetapan MPR No II/1978 berupa penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). P4 adalah penjabaran lima sila Pancasila ke dalam 36 butir pedoman untuk sikap dan perilaku sosial. Ini boleh kita sebut ideologi terbuka. Kedua, yaitu ideologi tertutup, berlangsung dalam struktur tersembunyi (hidden structure) yang dimunculkan melalui pembunuhan misterius, intimidasi dengan memarjinalkan warga sebagai di luar sistem, dan semacamnya.
Film Pengkhianatan G-30S-PKI tentunya untuk mengisi alam pikiran warga dengan ideologi terbuka, tetapi di balik itu juga terkandung ideologi tertutup. Film ini berusaha menggambarkan peranan militer dalam melindungi Pancasila sebagai dasar negara RI dari ancaman komunisme melalui perebutan kekuasaan oleh PKI. Bahaya PKI adalah kekerasan yang dilakukan terhadap sesama warga ataupun kekejaman terhadap aparat TNI di sejumlah daerah. Puncaknya adalah penculikan dan pembunuhan jenderal Angkatan Darat. Penggambaran ini diwujudkan melalui sejumlah visualisasi serta ujaran dialog pelaku dan komentar oleh narator.
Struktur film ini kuat, dengan menggabungkan dokumenter dan teatrikal, karena itu tidak membosankan menontonnya. Jika diringkas, film ini menyangkut latar sosial dari keberadaan PKI; keadaan Soekarno (Bung Karno) yang sakit-sakitan sehingga perlu perawatan dokter-dokter dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT); gerakan PKI; penculikan dan pembunuhan jenderal; serta peranan Soeharto dalam penumpasan PKI. Film ini oleh Badan Sensor Film dinyatakan layak untuk remaja. Namun, dramatisasi adegan, terutama mengenai kekejaman, agaknya tidak membayangkan bahwa film akan ditonton oleh murid-murid SD yang digiring oleh guru-gurunya ke gedung bioskop.
Komunikasi disfungsional
Kreator film ini mulai dari sutradara, pengarah seni, sampai pemain tentulah berniat tulus dalam mendukung pembuatan film ini. Semua bersetuju bahwa kekejaman seperti yang dilakukan oleh PKI harus dihindari. Rakyat Indonesia jangan sampai dikuasai oleh komunisme. Tak pelak, begitu intensi dan tujuan yang menggerakkan para pekerja kreatif di film ini. Dari sini efek diharapkan terwujud.
Namun, tidak setiap intensi dan tujuan komunikasi akan fungsional. Dalam propaganda memang bersifat linier, efek bisa dicapai sesuai tujuan. Efek propaganda akan pudar setelah kekuasaan pendukung runtuh dan kebenaran muncul. Apakah efek Pengkhianatan G-30S-PKIsudah pudar sehingga ancaman komunisme di depan mata sehingga generasi milenial akan terkontaminasi?
Tunggu dulu. Pengkhianatan G-30S-PKI tidak sepenuhnya film propaganda. Film itu dikreasi dengan dramaturgi yang kuat, penggarapan estetis yang tinggi, dan pemeranan yang bagus. Ada intensi estetika, tidak semata-mata mendukung propaganda. Bahkan, Arifin C Noer menyediakan berbagai celah untuk mengintip kebenaran. Walau kebenaran itu harus dilihat melalui teks terbalik atau biasa disebut “baca di antara baris” (read between the lines), mencari wacana yang tersembunyi.
Kekejaman PKI di ruang sosial sebelum 1965 ditunjukkan melalui dan ilustrasi dari peragaan intimidasi terhadap kelompok agama dan kliping koran-koran menyangkut aksi sepihak petani yang berani melakukan kekerasan terhadap aparat TNI. Peragaan dan kliping koran sebagai pendahuluan wacana, untuk diikuti tentang rencana PKI yang digambarkan melalui pertemuan tokoh-tokoh partai itu. Untuk generasi muda sekarang tentu nama pimpinan partai itu sudah kehilangan konteks, karena itu tidak ada maknanya sebagai rapat untuk gerakan besar. Kesannya hanya sekumpulan orang yang duduk di kelas sempit. Yang menonjol hanya adegan laki-laki merokok tiada henti.
Setelah itu, kekejaman menjelang peristiwa G-30-S, digambarkan melalui sejumlah adegan penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Seluruh adegan sadisme dinarasikan sebagai tindakan PKI. Namun, secara visual, sama sekali tak ada pertaliannya dengan PKI. Bahkan, secara auditif, dalam dialog pelaku dan narasi, digambarkan sejumlah militer. Dan, seluruh adegan demi adegan penculikan dilakukan oleh militer. Suara terompet yang biasa terdengar di barak tentara, suara derap sepatu, semuanya mengindikasikan suasana militer. Begitu juga dalam adegan penyiksaan di Lubang Buaya, beberapa kali dalam ambilan dekat dan medium kamera menggambarkan pelaku militer atau setidak-tidaknya paramiliter.
Kemudian, boleh difokuskan pada sekuen persiapan penculikan, ada adegan tentara menerima dan meneliti beberapa foto jenderal yang akan diculik. Secara bersengaja (dengan close-up), diambil wajah-wajah yang akan diculik. Tidak ada foto Soeharto. Luar biasa bukan?
Karena itu, kalau Pengkhianatan G-30S-PKI dimaksudkan untuk mendukung ideologi militerisme di Indonesia, dengan menggambarkan peran militer dalam menumpas komunisme, agaknya dengan cara lain film ini boleh dibaca dengan cara lain. Betapa berbahayanya jika militer disusupi oleh ideologi radikal sehingga seorang prajurit berani menghardik atasan, untuk kemudian membunuhnya. Itu secara gamblang digambarkan film Pengkhianatan G-30S-PKI. Mari menonton ulang.
Ashadi Siregar, Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme
Posted by Ashadi Siregar on 26/09/2017
https://ashadisiregar.com/2017/09/26/artikel-opini-kompas-15-september-2017/

credit=”Istimewa
Tercatat 147 pahlawan nasional yang terdiri dari 135 laki-laki dan 12 perempuan (www.kemsos.go.id). Dari sana, hanya seorang pahlawan yang kelahirannya dijadikan hari nasional, yaitu RA Kartini (21 April 1879-17 September 1904).
Pada hari itu, perempuan dewasa dan anak-anak mengenakan pakaian tradisional, kaum bapak lomba bikin nasi goreng. Mengisi 21 April dengan sukacita boleh jadi malah melupakan sosok Kartini. Ia hanya menjadi ikon yang kehilangan makna. Padahal, sosok Kartini sempurna dijadikan prototipe dua dunia: realitas empiris dan media, yang ironis ketika dijajarkan.
Manusia nilai
Dalam realitas empiris yang keras (hard reality), manusia harus bertarung dengan hasil yang diharapkan berujung pada menang atau kalah. Dalam realitas media yang lunak (soft reality) manusia muncul dengan informasi yang diproses oleh alam pikiran. Kedirian manusia dapat dilihat dalam kehadirannya di kedua dunia. Apa yang dilakukan dalam realitas empiris dan apa yang dipikirkan dalam realitas media menjadi alur yang direkam dalam kehidupan.
Secara populer disebut rekam jejak (track record), akan menandai seseorang sebagai manusia berbuat (person of action) atau manusia nilai (person of value). Dalam realitas empiris manusia selalu ingin mencapai keberhasilan walaupun mungkin akan berbuat dengan menghalalkan segala cara. Namun, sebagai manusia nilai, bukan keberhasilan yang jadi parameter, melainkan kedirian yang menjadi sumber rujukan kebaikan (virtue) dari totalitas kediriannya.
Kartini berbeda dengan pahlawan nasional lain yang rekam jejaknya tercatat dari realitas empiris. Dengan rekam jejak ini, manakala berkuasa atau didukung kekuasaan narasi sejarah besar yang dimunculkan. Ada kala menyisakan sejarah kecil hitam tersembunyi. Figur besar berkuasa semacam Bung Karno dan Pak Harto akan dinarasikan melalui sejarah besarnya, sementara noktah sejarah kecilnya akan diungkit setelah tak berkuasa sehingga kontroversial sebagai rujukan nilai. Bung Karno adalah pahlawan proklamator bersama Bung Hatta. Realitas empiris yang bersifat einmalig bagi NKRI, tak akan ada yang memperdebatkan. Sementara Pak Harto perlu sepenuhnya diterima sebagai manusia nilai bagi bangsa Indonesia kini dan kelak.
Kartini sepenuhnya manusia nilai. Hidupnya singkat, tak pernah di tampuk kekuasaan, tak ada sejarah kecil hitam dari realitas empirisnya. Dia dibesarkan dalam keluarga ningrat, tetapi lahir dari garwo selir, bukan garwo padmi (istri utama). Ibu kandungnya sebenarnya istri pertama, putri guru agama Islam dari kalangan biasa. Ayahnya, Sosroningrat, seorang patih yang diangkat sebagai bupati. Namun, konvensi yang dijalankan gubernemen Hindia Belanda, bupati harus beristrikan kalangan ningrat. Maka, Sosroningrat menikahi RA Woerjan (Moerjam). Dengan pernikahan itu, ayah Kartini diangkat menggantikan kedudukan ayah RA Woerjan, RAA Tjitrowikromo sebagai bupati Jepara.
Ini bukan sekadar poligami. Dalam realitas empiris yang paling dini, Kartini pada dasarnya telah bersentuhan dengan pemerintahan Hindia Belanda. Ibu kandungnya adalah figur yang terinjak feodalisme, yang menyatu dengan kekuasaan kolonial. Sampai usia 12 tahun, Kartini bersekolah di Europese Lagere School, sekolah dasar berbahasa Belanda. Kemudian dia juga harus menjalani kehidupan pingitan, kultur yang menempatkan perempuan dalam posisi kalah.
Namun, Kartini tak kalah. Dalam pingitan dia mengembara secara intelektual. Koresponden- sinya dengan pasangan suami-istri intelektual Belanda, Abendanon, menjadi exercise konseptual sehingga proses intelektualnya berkembang tanpa harus bersekolah formal yang tinggi. Tulisan otentik Kartini mencerminkan intelektualitas yang tinggi.
Kekalahan Kartini
Dalam realitas media, melalui surat-suratnya (saat belum ada surel, medsos, dan semacamnya), dia bagaikan heroine yang mengembara di padang frontier. Akan tetapi, karena ia bukan jurnalis, surat-suratnya pada dasarnya bersifat fiksional, hasil pengembaraan dari buku-buku dan majalah terbitan Belanda atau bersifat faksional manakala direfleksikannya dari sintesis dengan dunia empiris yang melingkupinya. Dunia empiris ini sebatas kehidupan rakyat kecil, sedangkan kondisi yang berasal dari kultur feodal yang berjumbuh dengan kolonial merupakan realitas yang tak disentuhnya secara intelektual.
Kartini bukan Multatuli (Eduard Douwes Dekker) yang merekam perilaku bupati Lebak yang memeras rakyat sampai ke tahap merampas kerbau petani (lihat: Max Havelaar). Bagaimana kehidupan bupati (regent) pada masa kolonial Belanda? Seorang bupati menerima gaji bulanan dari gubernemen Hindia Belanda. Sementara pengeluarannya besar: menjamu tamu bangsa Belanda dan menyangga ekonomi keluarga besar dengan sanak keluarga yang ngenger sebenarnya tak dapat tercukupi semata-mata dari gaji.
Karena itu, setiap bupati harus punya sumber-sumber tambahan. Bupati yang tak memeras rakyat akan tertolong dengan kultur poligami. Di sini berperan keandalan garwo-garwo selir yang biasanya dari kalangan rakyat bawah. Pada dasarnya ekonomi birokrat feodal dalam struktur pemerintahan kolonial mengalami proses pemiskinan. Akan tetapi, tak mungkin mengubah gaya hidup yang telanjur ekstravaganza. Hanya kewirausahaan yang dapat menyelamatkan hidup para bupati. Namun, siapa yang akan melakukan jika tangan ningrat tidak boleh dicemari oleh perniagaan?
Perbuatan berniaga menurunkan derajat seorang ningrat. Maka, mengelola buruh pembatik, pengukir kayu, atau perajin lainnya (tergantung yang tersedia di lingkungan setempat), sampai memasarkan dapat dijalankan garwo selir. Sementara garwo padmi tidak perlu “kotor” tangannya sembari tetap menikmati kehormatan atas keningratannya.
Apa yang diperoleh garwo selir yang umumnya berasal dari desa? Mungkin terangkat citra sosial sanak keluarganya di desa (lihat: Pramudya Ananta Toer, Gadis Pantai, 2003) atau pengabdian pada keluarga ningrat sudah dianggap anugerah. Bagaimanakah Kartini melihat persoalan ini? Boleh jadi dia dekat dengan ibu kandungnya, tetapi sebutan “ibu” dalam surat-suratnya dimaksudkan untuk garwo padmi.
Maka, yang perlu dihayati adalah kekalahan RA Kartini dan ibu kandungnya dalam realitas empiris, yaitu tentang kehidupan perempuan desa yang dijadikan batu umpak bagi kehormatan ekstravaganza keluarga ningrat.
Kekalahan Kartini dalam realitas empiris disempurnakan dengan kematiannya. Dia meninggal pada usia 25 tahun, empat hari setelah melahirkan. Namun, Kartini meraih kemenangan dalam realitas media sekaligus bahagia di dalamnya. Intelektualitasnya terekam dan abadi untuk menjadi sumber nilai bagi generasi demi generasi.
Mengenang Kartini seorang cendekia dalam media dapatkah kita bandingkan dengan hirukpikuk orang bermedia kini? Dia, yang menulis dengan pena, berpikir sejuk, dengan pengembaraan dalam perspektif intelektualitas membahas masalah bangsanya. Ia bermedia tak dipicu impuls kemarahan dan kebencian. Bandingkan dengan orang bermedsos daring kini yang mencerminkan kemerosotan intelektualitas dan membuncahnya psikopatologis di kalangan orang berpendidikan tinggi.
ASHADI SIREGAR
Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme
Posted by Ashadi Siregar on 23/04/2017
https://ashadisiregar.com/2017/04/23/menang-dan-bahagia-dalam-media/
Kisah sebuah Novel
Sebuah novel berusia belasan tahun. Awal penulisan tahun 1990-an, saya merasa tertolong oleh laptop Toshiba keluaran pertama, file tersimpan di harddisk. Saya menulis dengan penuh semangat. Laptop dibawa kemana-mana, karena juga sedang laris memberi ceramah di sana sini. Mungkin sudah 100 page, akibat kepanasan di mobil, laptop rusak, seluruh file dalam harddisk tidak dapat di-retrieve. Tidak ada yang lebih menghancurkan hati penulis selain kehilangan babon naskah.
Beruntung sebagian besar file ada yang sempat diprint. Tetapi untuk beberapa lama, hard-copy hanya dapat dipandang-pandang. Seluruh semangat menulis serasa mati.
Kemudian keluar mesin scanner. Juga software untuk convert file jpg dari scanner ke format word. Maka kembali file tersimpan di komputer.Bagai paranoia, file disimpan di beberapa komputer, juga di flashdisk. Tetapi tetap tidak tergerak untuk menulis. Seluruh daya seperti lumpuh, segenap gagasan hilang di masa lalu.
Teknologi sangat membantu dalam kerja. Tetapi juga membunuh kreativitas, saat dia bikin ulah, dapat membuat putus asa. Betapa berbedanya dengan masa-masa masih menggunakan mesin ketik manual. Suara tik-tak, dering batas margin, dan hempasan membalik karet landasan ketik, semua seperti menggugah otak. Tidak pernah membunuh, tidak pernah mematikan semangat berkobar.
Atau bukan karena teknologi, tetapi karena kemandegan diri. Saya ingat tahun-tahun 1960-an, saat mesin ketik masih langka. Saat saya belum punya mesin ketik, harus menumpang mengetik di sana-sini. Saya ingat sering mengetik cerpen di sebuah kantor koran terbesar di Yogyakarta. Sebelumnya di kantor itu kami, mahasiswa dari jurusan Publisistik Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada ditugasi praktek kerja kewartawanan. Mungkin karena mesin ketik tergolong barang mahal, saya pernah diminta oleh penjaga kantor untuk menghentikan mengetik, dan diminta meninggalkan ruang redaksi. Rupanya saking asyik menulis, saya tidak sadar ruangan sudah kosong. Redaktur terakhir meninggalkan kantor rupanya menyuruh penjaga untuk mengusir saya, karena ruang redaksi harus dikunci. Saya tetap ingat sang redaktur, dan dia tentu tidak ingat saya, sebab saya hanya salah satu mahasiswa yang silih berganti praktek kerja di kantor itu.
Saya banyak menulis cerpen di masa itu. Honornya lumayan, apalagi jika menulis di koran Gala terbitan Bandung yang dipimpin Abdullah Harahap (https://id.wikipedia.org/wiki/Abdullah_Harahap). Koran itu tidak pernah menunda mengirim poswesel setiap cerpen saya dimuat. Tetapi biasanya teman-teman sangat rajin “mengintai” di kios koran, begitu mengetahui ada cerpen saya yang dimuat, sudah siap-siap untuk minta ditraktir. Biasanya kami makan lotek rame-rame di warung di kerindangan pohon beringin di depan Habiranda samping Pagelaran, tempat kami kuliah, bagian kraton Yogya yang dipinjamkan pada UGM. Sehingga honor menguap begitu saja. Baru setelah saya menulis novel saya pertama (saya tidak punya arsip/dokumentasi, judulnya lupa, tahun 1968?) dimuat bersambung di Majalah Mayapada. Honornya dibayar di muka sekaligus, langsung saya membeli mesin ketik portabel merek Hermes. Begitulah rupanya kalau pengarang memimpin penerbitan sangat memperhatikan honor penulis. Berbeda dengan beberapa koran mingguan, tega tidak mengirim honor cerpen saja. Ditagih pun, ndablek.
Dari mesin ketik itulah lahir rangkaian novel saya, mulai dari trilogi yang dimuat di harian Kompas tahun 1970-an, sampai terakhir novel Sunyi Nirmala tahun 1980-an. Setiap kali memandang mesin ketik, saya ingat terhentinya proses yang sedang berlangsung di benak, akibat tidak boleh mengetik di kantor koran itu. Karenanya saat saya memimpin suatu pelatihan kewartawanan tahun 1980-an di suatu lembaga, kegiatan di sana dilengkapi belasan mesin ketik. Dan lembaga buka 24 jam tanpa ikut hari libur, kapan saja ada yang mau mengetik dapat datang ke tempat itu.
Banyak sudah wartawan yang terproses melalui mesin-mesin ketik itu, menempuh karirnya sampai ke era teknologi komputer. Belakangan lembaga itu juga menyesuaikan diri, dilengkapi dengan komputer untuk pelatihan. Tetapi prinsipnya tetap sama, ruang komputer harus terbuka 24 jam, tugas penjaga kantor adalah menjaga agar pintu tetap terbuka, bukan untuk menguncinya.
Apakah wartawan yang dilatih dengan dukungan komputer sama kuat spiritnya dengan yang menggunakan seniornya yang dihibur dengan suara ketak-ketik mesin manual, tidak perlu dibahas disini. Saya hanya ingin bercerita, bahwa mesin komputer pernah mematahkan hati saya. Tetapi teknologi juga yang memungkinkan saya melanjutkan menyelesaikan novel saya.
Novel yang mulai ditulis tahun 1990-an, telah melintasi waktu sampai era reformasi sekarang. Tetapi novel itu hanya mengambil latar sampai tahun 1960-an, dalam rentang pendek dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) ke awal Orde Baru tahun 1966. Novel berlatar kehidupan orang Batak. Saya tidak berpretensi menyampaikan nilai kebatakan, tetapi saya membayangkan perlunya anak cucu saya berusaha mengenali diri mereka yang Batak. Saya juga membayangkan banyak keluarga perantau seperti saya. Akankah anak-anak mereka kehilangan kebatakannya? Karenanya saya merasa perlu bergegas, menyelesaikan penulisan novel itu.
Beberapa minggu yang lalu novel itu rampung. Lalu finishing untuk memperbaiki di sana sini. Keburukan dengan komputer adalah, seorang pengarang tidak pernah puas dengan karyanya, saking mudahnya delete, cut, move, paste, suatu kemewahan yang tidak ada pada pada mesin ketik manual. Dengan mesin ketik, tulisan harus “menjadi”, kalaupun perlu koreksi, hanya yang dapat ditip-ex. Dengan komputer, kalau dituruti, karangan tidak akan pernah selesai. Dalam dunia non-fiksi, yang menghentikan adalah deadline. Sedang untuk fiksi, hanya pengarang menentukan kapan dianggap selesai. Maka kemudian saya memutuskan tidak perlu lagi menjenguk naskah itu, yaitu pada tanggal 1 Oktober 2016. Ini Gestok saya!
Naskah saya kirim pada teman yang bekerja di penerbitan. Bagi saya sudah selesai. Berikutnya urusan penerbit untuk menentukan apakah novel itu layak disampaikan pada pembaca, atau hanya disimpan di laci.
Ashadi Siregar
Posted by Ashadi Siregar on 05/10/2016
https://ashadisiregar.com/2016/10/05/kisah-sebuah-novel/
ASHADI SIREGAR
Setelah proklamasi, dengan hengkangya tentara pendudukan Jepang dari Pematangsiantar, ayah saya menjabat Wedana di Pematangsiantar. Tetapi kemudian kota harus ditinggalkan, sebab tentara Sekutu yang terdiri dari tentara Inggeris dan lainnya, masuk ke Pematangsiantar dengan dalih untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Di belakang tentara Sekutu ikut tentara Belanda yang disertai NICA (Netherland Indie Civil Administration), pemerintahan sipil Belanda. Sementara pemerintahan bentukan Republik Indonesia terpaksa keluar, pejabat yang tidak mau bekerjasama dengan NICA, masuk ke pedalaman, yaitu daerah yang dapat dipertahankan sebagai wilayah republik.
Selama perang kemerdekaan, ayah saya menjadi Wedana Militer dengan pangkat Kapten. Sedang ibu saya, karena dikenali sebagai orang pergerakan, terancam ditangkap oleh NICA di Pematangsiantar. Karenanya ibu juga harus keluar dari Pematangsiantar. Seorang ibu dengan tiga orang anak balita, dalam keadaan hamil anak keempat, harus mengungsi, jauh dari suaminya. Sampai di usia tua, ibu saya tetap tidak dapat berdamai dengan masa lalu, jika mengungkapkan pengalamannya selama dikejar-kejar antek NICA, dan setiap kali menyinggung sejumlah orang yang dikenal sebagai kooperator, yaitu orang-orang yang mau bekerja dalam pemerintahan NICA di Pematangsiantar. Ya, sejumlah orang karena alasan profesional menganggap bekerja dengan NICA bukan penghianatan terhadap republik, sebab keterampilan teknis seperti pekerjaan umum, pertanian, peternakan, listrik, air mimun dan lainnya diperlukan agar pelayanan pada masyarakat tetap berlangsung. Tetapi bagi ibu saya, mereka sama saja dengan orang-orang yang bekerja sebagai mata-mata NICA, yaitu yang memberikan nama-nama orang pergerakan. Selain itu ada pula Pohantui yaitu tentara bayaran bentukan orang-orang kaya Tionghoa, begitupun Barisan Pengawal Negara Sumatera Timur yaitu negara bagian bentukan van Mook. Kedua pasukan paramiliter ini meneror keluarga pejuang yang bergerilya. Semua itu bagi ibu saya, sungguh tidak dapat dimaafkan.
Kalau ada teman bermain saya yang dikenal oleh ibu saya bahwa ayahnya dari kelompok itu, dia akan mencibir:
“Huh, ayahnya itu pengikut NICA…,” kalimat itu mengandung seluruh kepahitan yang dialaminya selama rentang waktu 1945 – 1950. Memang orang-orang yang tidak ikut mengungsi dan ikut dalam pemerintahan NICA mendapat gaji dan catu logistik dari Belanda. Karenanya kehidupannya tetap makmur di tengah kemiskinan selama perang. ‘Indoktrinasi’ di masa kecil itu mengendap di benak saya, sehingga sering membuat saya bingung menata hubungan saat bergaul dengan sejumlah teman sebaya.
Titik perhentian pertama pengungsian ibu saya bersama anak-anaknya di masa revolusi adalah di Tanah Jawa, yaitu sebuah perkebunan di pelosok Sumatera Timur. Tempat itu sangat indah bagi ibu saya, karena disitu dia menemukan orang yang melindunginya, membantu dengan tulus, sampai pada penyediaan makanan dan pengobatan. Pemukim di daerah itu kebanyakan orang Jawa Deli, yaitu pekerja onderneming. Di masa perang itu onderneming berhenti beroperasi, sehingga penduduk bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan makan dari hari ke hari. Ibu saya sering separuh menuntut anak-anaknya agar selalu mengingat orang-orang di Tanah Jawa itu. Disitu ada seorang perempuan tua suku Jawa yang menjadi ibu angkat ibu saya, dan menolong persalinan anak keempat, yaitu adik saya. Apakah dia seorang dukun bayi, ibu saya tidak pernah menjelaskan. O ya, sebelum meninggalkan Pematangsiantar, ayah saya meninggalkan pesan untuk nama anaknya yang akan lahir, kalau laki-laki diberi nama Darma Negara, dan perempuan bernama Derita Negara Yati. Lahirlah anak perempuan, maka itulah awal penamaan bagi anaknya, ayah tidak lagi mencari-cari di Qur’an. Nama-nama saudara saya yang lebih tua Azwari dan Azhari. Kemudian disusul adik saya yang lahir menjelang akhir perang kemerdekaan Rizal Rasyidi (bukan Ridjal, dari Arab, tetapi merujuk nama Jose Rizal seorang pahlawan Filipina), disusul adik-adik saya yang lahir setelah masa damai, Mardiansyah (karena lahir bulan Maret), Ismik Efendi (lahir pada hari ISrak MIKraj), dan anak kedelapan meninggal sewaktu kecil. Kemudian datang seorang adik sepupu yang sepenuhnya menjadi saudara kami, bernama Parsaulian sehingga tetap melengkapi delapan anak bagi orang tua kami. Kami delapan orang bersaudara, yang lebih tua tiga orang laki-laki, di tengah seorang perempuan, kemudian empat orang yang lebih muda juga laki-laki.
Adapun kehidupan di pengungsian Tanah Jawa, dan adanya seorang ibu tua perempuan Jawa yang menjadi mbok bagi ibu saya, terkait erat dengan hidup saya. Seluruh kenangan berasal dari cerita ibu saya yang diulang-ulang sejak kami kecil.
Ketika adik saya lahir, saya berusia dua tahun. Dapat dibayangkan, betapa ibu saya sangat repot. Sebab harus mengasuh sekaligus empat orang anak, yang pertama usia lima tahun, kedua empat tahun kurang, lalu saya usia dua tahun, dan satu bayi yang masih merah. Konon saya sangat rewel, merengek-rengek, dan bergayut terus di baju ibu. Sedang dua anak lainnya, juga tidak terurus. Kami menumpang di rumah orang, lebih tepat disebut barak kuli perkebunan, berlantai tanah. Tidak ada listrik, tidak ada air leding seperti di Siantar. Tetapi syukurlah, dalam seluruh kesempitan itu, ibu angkat ibu, biasa ibu sebut si mbok sangat membantu. Keluarganya juga memperlakukan kami sangat baik, apa yang mereka punya dari hasil bercocok tanam, selalu diberi pada kami, ya, pengungsi yang sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan dengan mereka. Begitu juga tetangga lainnya. Tanpa mereka, tentulah kami berlima mati kelaparan. Orang-orang Jawa di onderneming perkebunan Tanah Jawa itulah yang menjadi saudara kami. Sebab sanak saudara lainnya tidak mengungsi, tetap tinggal di Siantar. Begitu pula tidak ada kabar dari ayah.
Syahdan saya mengalami nahas luar biasa. Saat itu ibu baru menjerang air di dalam panci (kami tidak punya ketel atau ceret) di tungku, untuk mandi bayi. Tungku itu berkayu bakar, berada di luar rumah. Setelah mendidih ibu mengangkat air dalam panci. Tiba-tiba kucing melengking dan meloncat, sebab terinjak ibu. Ibu kaget, karena tanah licin, ibu terjengkang. Panci tumpah. Air mendidih tercurah. Semua, menyiram saya yang tetap bergelayut di baju ibu. Ke seluruh tubuh saya. Dari bahu sampai kaki. Melepuh. Hanya bagian kepala tidak tersiram. Saya menggelepar. Ibu menjerit-jerit sehingga semua tetangga datang. Saya terkapar di tanah. Tidak bersuara.
Dan berbulan-bulan saya tergeletak. Sejak itu saya sama sekali tidak rewel. Bahkan nyaris tidak mengeluarkan suara, kecuali suara lirih. Seluruh tubuh melepuh, tetapi tidak ada dokter, tidak ada obat. Saya terpaksa dibaringkan di lincak bambu yang dihampari daun pisang, sebab kalau pakai lapik kain akan melekat dan kulit terikut saat kain dilepas. Dan hanya obat yang diramu si mbok yang diberikan. Ibu tidak tahu jenis bahan itu, diramu dari tumbuhan. Seperti tetangga yang berdesah risau, ibu sepakat, memang saya tidak akan tertolong. Tidak ada orang, apalagi anak kecil yang terkelupas seluruh kulit akibat air panas, dapat bertahan. Tetapi saya tetap hidup, walau seperti sudah mati. Hanya tarikan napas dan suara rintihan sesekali penanda agar badan dibalik. Setiap orang putus asa, tetapi si mbok tetap meyakinkan ibu. Saya tetap hidup.
Ibu tidak tidak tahu apakah si mbok generasi pertama atau kedua berada di onderneming Belanda itu. Mungkin keprihatinan hidup si mbok yang menjadikan Tuhan memberikan keajaiban di tangannya. Berangsur-angsur lepuhan kulit saya mengering. Hari berganti, begitu pula kulit berkali-kali berganti. Berminggu-minggu. Sampai kemudian sama sekali kering, dan yang ternampak hanya sekujur badan yang putih seperti diselimuti kulit belum matang. Berbulan-bulan saya hanya berseprei daun pisang. Dan kemudian saya pulih.
Menurut ibu saya:
“Kemudian ada yang berubah darinya. Dari yang biasa merengek tanpa henti, kini tahan berjam-jam tanpa suara. Sering tidak diketahui apakah dia ada atau tidak ada di rumah. Tidak pernah kedengaran suaranya. Sehingga ibu sendiri kadang-kadang kelupaan apakah dia sudah mendapat bagian atau tidak, jika ada pembagian makanan. Tidak pernah berebut menuntut dibelikan mainan dari ayah dan ibu. Kalau dia ingin punya mainan, dia akan memperbaiki mainan abang-abangnya yang sudah rusak.”
Sering saya berusaha merekonstruksi pengalaman itu agar dapat memahami diri saya. Tetapi saya sama sekali tidak punya kenangan sewaktu meniti kematian. Manakala ibu saya membuka cerita itu, namun sedikitpun tidak ada yang saya ingat. Mungkin menjadi bagian dari bawah sadar saya, sehingga saya tidak perduli dengan kematian. Belakangan, saat diinterogasi tentara, saat dimasukkan ke bui Wirogunan, diintimidasi intel, saya menjalaninya tanpa depresi apapun. Sehingga teman-teman yang mengalami hal yang sama, mungkin jengkel manakala saya memperolok mereka. Bukan saya sok berani. Bukan saya meremehkan depresi teman-teman yang diteror tentara. Saya hanya berpikir, bahwa risiko tertinggi adalah kematian. Lalu mengapa? Setelah saya punya anak, baru saya risau tentang kematian. Tetapi bukan menyangkut diri saya, saya hanya tidak bisa membayangkan bagaimana anak-anak saya harus menjalani kehidupan tanpa saya. Soal-soal ini, seperti ancaman, tekanan, teror dari kekuasaan, dan semacamnya akan saya ungkapkan di bagian lain. Disini saya ingin meneruskan cerita tentang orang tua saya.
Adapun kedua orang tua saya orang pergerakan, karenanya langsung terseret dalam arus republik. Setelah kondisi ibu lebih kuat, terlebih setelah daerah Sumatera Timur semakin tidak aman dari gangguan NICA, pengungsian kami kemudian beralih ke pedalaman Tapanuli Selatan. Perjalanan ditempuh berjalan kaki dari Tanah Jawa di Sumatera Timur ke Tapanuli Selatan, melewati daerah-daerah yang tidak dikuasai Belanda. Di daerah Tapanuli itu ayah saya bergerilya. Karenanya sewaktu-waktu kami dapat berkumpul. Tetapi ayah saya jarang ada di tempat. Dia berada di tengah pasukan republik.
Sementara keadaan pedalaman Tapanuli Selatan ini berbeda dengan lingkungan Tanah Jawa. Kendati sama suku dengan kami, sama-sama orang Batak, penduduk setempat tidak sebaik orang-orang Jawa di daerah perkebunan. Hubungan bersifat dagang. Karenanya untuk mencari makanan, harus dikerjakan ibu saya. Ibu saya menjuali seluruh perhiasan, kemudian digunakan untuk menggalas, yaitu membeli barang-barang dari satu tempat, membawa ke tempat lain untuk menjualnya, kemudian dari keuntungan yang terbatas untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Dalam situasi semacam itu, kami yang ditinggalkan di tempat pengungsian terbiasa menahan lapar. Dari sini agaknya terselip di balik kesadaran saya untuk kedekatan dengan orang-orang Jawa, dan ketidak-dekatan dengan orang Batak yang sama suku dengan keluarga saya. Pengalaman saya yang bersifat negatif dengan orang Batak bertambah lagi ketika saya sudah kelas empat sekolah rakyat. Tetapi itu akan menjadi cerita tersendiri.
Perang berhenti setelah KMB (Konfrensi Meja Bundar), dan kami kembali ke Pamatangsiantar. Jadi pengungsian itu berlangsung tahun 1947 sampai 1949. Ayah saya kembali bertugas sebagai Wedana di kota itu. Sedang ibu saya melanjutkan kegiatannya sebagai orang pergerakan, dengan aktif di PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia). Saya tidak punya kenangan yang menarik di masa itu, kecuali kami, anak-anak yang masih kecil sering ditinggal ayah saya yang turne berhari-hari untuk menata organisasi pemerintahan di pelosok-pelosok, dan ibu saya yang rapat-rapat di organisasinya. Kami bersaudara hanya diasuh seorang kakak perempuan berangkat remaja, suku Jawa yang menjadi anak angkat orang tua saya bernama Kamisah, berasal dari daerah pengungsian Tanah Jawa.
Kami tinggal di rumah dinas, sebuah gedung besar peninggalan Belanda. Rumah itu berhalaman luas, dan jauh dari tetangga di Jalan Simanuk-manuk Pematang Siantar. Saya hampir tidak punya teman bermain, kecuali teman-teman saya mau datang ke rumah kami. Dan itu sangat jarang. Karenanya saya sangat menikmati bermain dengan teman-teman usai jam sekolah. Tetapi itu tidak dapat berlangsung lama. Satu hari saya keasyikan bermain. Usai sekolah kami beramai-ramai ke kebun milik keluarga salah seorang teman sekelas. Di kebun itu banyak pohon buah. Baju saya berlumuran getah. Saya lupa waktu. Dan saat pulang, baru saya ingat kewajiban saya, harus menjemput adik saya yang bersekolah di frobel. Setiap hari kami berangkat dan pulang bersama. Saya tiba di sekolah itu, sudah sepi. Adik saya menangis di halaman. Guru yang menunggui adik saya memarahi saya. Dan di rumah, sayapun mendapat hukuman ganda. Hukuman karena melalaikan adik saya, dan hukuman karena getah di baju saya yang tidak akan bisa hilang. Saya lupa jenis hukuman itu. Yang jelas, opsi hukuman di keluarga saya bersifat fisik, dipukul dengan penjalin penggebuk kasur, atau tongkat, atau kayu bakar, atau sapu lidi, atau diikat kemudian diasap. Saya tidak tahu dari mana asal mula ‘tradisi’ hukuman itu. Saya tidak pernah berani menanyakan pada ayah saya, apakah kakek menghukum anak-anaknya seperti itu. Ya, ayah saya punya empat orang saudara laki-laki, tidak ada saudara perempuan. Karenanya saya tidak punya inangboru atau namboru. Tidak ada suasana perempuan (boru) dari adat Batak yang melunakkan dunia laki-laki keluarga ayah saya.
Suasana serba laki-laki dengan pola hukuman fisik itu terbiasa bagi anak-anak dalam keluarga kami sedari kecil. Hukuman dianggap untuk memberi efek jera. Orang tua mengharuskan tidur siang selepas makan. Katanya ini sebagai bentuk disiplin. Tetapi anak-anak laki-laki biasa masuk kamar tidur, kemudian keluar lewat jendela untuk bermain-main. Kalau ketahuan, kena gebuk. Tetapi jika kedua orang tua tidak ada di rumah, dan ini sering, semua anak laki-laki bersimaharajalela. Anak-anak bergembira manakala orangtuanya pergi, dan risau jika orang tua ada di rumah. Tidak terlatih rasa rindu pada orang tua. Hukuman fisik tidak menimbulkan jera, hanya takut. Boleh jadi pendisiplinan dengan cara paksaan ini memberikan pada saya pendidikan yang berkebalikan. Tidak perlu mengikuti ketentuan yang diberikan orang lain. Kalau mau tertib, akan lebih baik berasal dari diri sendiri. Saya mengalami bagaimana menentukan sendiri apa yang dianggap perlu bagi diri sendiri.
***
Posted by Ashadi Siregar on 08/09/2016
https://ashadisiregar.com/2016/09/08/kenangan-melintas-2/
PENGANTAR
Pada bulan Juli 2010, di saat saya mengakhiri status sebagai pegawai negeri sipil yang bertugas mengajar di Universitas Gadjah Mada dengan masa kerja 40 tahun, sejumlah teman baik saya memberikan kejutan, dengan suatu pesta meluncurkan buku berjudul Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta 2010). Buku itu merupakan kumpulan tulisan yang disunting oleh Candra Gautama, Nanang Junaidi, Muhammad Taufiqurrohman, dan Ana Nadya Abrar.
Tentulah saya sangat berterimakasih, sekaligus terharu atas perhatian teman-teman saya, yang menulis untuk mengisi buku itu maupun mempersiapkan secara diam-diam penerbitannya. Pestanya diadakan di Yogyakarta dan Jakarta. Walaupun sempat saya bercanda: “Pensiun kok dipestakan… Mungkin karena saya berhasil meniti hidup sebagai pegawai pemerintah, beruntung tidak sempat dipecat rezim Orde Baru di tengah perjalanan?”
Banyak hal yang diungkapkan dalam buku itu, baik mengenai diri saya maupun pengalaman teman-teman yang bergaul dengan saya. Banyak hal yang tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya, baru saya sadar setelah dituliskan oleh teman-teman itu. Rupanya selama ini saya menjalani kehidupan dengan mengalir begitu saja, tanpa meneliti apa dan bagaimana yang saya alami. Baru belakangan saya menimbang-nimbang, terutama setelah seorang teman yang sangat lama terpisah, mengontak saya, dia separoh menuntut agar saya juga menulis tentang diri saya (Dari Kamerad, posting Juli 2010). Tentunya banyak hal otentik yang tidak mungkin diketahui oleh orang lain, dapat saya ungkapkan.
Perlu menulis yang otentik, tanpa berpretensi membuat otobiografi, itulah kira-kira landasannya. Perjalanan dengan mengorek dunia dalam (inner world) mungkin akan lebih bermanfaat, terutama untuk anak cucu atau pun bekas mahasiswa yang sudah menjadi teman baik saya.
Karenanya saya coba menuangkannya dalam tulisan yang saya kasi judul: KENANGAN MELINTAS. Betul, banyak kenangan melintas saat saya berusaha melihat ke masa lalu. Dan sebagai lintasan, tentulah banyak yang hanya sebagai bayangan baur. Akibatnya, mungkin tulisan ini bak meracau. Biarlah. Tokh pembaca pun tentunya akan maklum karena yang menulis seorang lanjut usia (lansia). Matur nuwun. Mauli ate. Terimakasih.
KENANGAN MELINTAS (1)
ASHADI SIREGAR
Perguruan Taman Siswa sangat berarti bagi saya, dan saya sangat berterimakasih pada institusi pendidikan yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara itu. Apa hubungannya? Ya, sebab perguruan inilah yang menyebabkan saya menyandang nama seperti sekarang: Ashadi.
Begini kisahnya.
Saya berasal dari keluarga Muslim yang taat. Kakek (ompung) saya dari pihak ayah, seorang Batak dari Sipirok Tapanuli Selatan, setelah tua bernama Harun Rasyid, waktu mudanya kabarnya hanya Rosid saja, menggunakan marga Siregar. Tak pelak marga ini menimbulkan tandatanya, sebab kebanyakan keluarganya, menggunakan marga Ritonga, yaitu marga cabang dari Siregar yang berasal dari keturunan Siregar bernama Silali. Juga isterinya, nenek saya bernama Halimah berasal dari Sipirok, boru Sagala. Jadi keduanya betul-betul Batak asli. Kalau di antara pembaca ada bermarga Ritonga, jika tarombo atau garis keturtunan ini diungkapkan, kiranya dapat dilihat posisi hubungan satu sama lain berasal dari ompung-ompung yang sama.
Ompung saya anak ketiga, saudaranya adalah Syeh Taib, Ja Solonggahon, dan Kali Mangantar. Jadi dari keempat bersaudara itu, 2 nama nama bersumber Arab, dua lainnya khas Batak. Ayah ompung saya bernama Mangaraja Huraba, juga empat bersaudara, yang tiga yaitu Chalipah Sobar, Chalipah Sutan, dan Ompu Binangan. Dalam bahasa Batak tidak dikenal istilah kakek buyut, andai sempat ketemu, saya membahasakan mereka semua amang mangulahi (ayah yang berulang), begitu sebutan untuk ompungnya ayah saya. Ayah dari Mangaraja Huraba bernama Ja Sinaro, ayahnya bernama Ja Soaloon. Sebagaimana lazimnya di lingkungan Batak, tarombo atau garis keturunan ini dapat dilacak sampai sumber pertama yaitu Si Raja Batak. Konon saya adalah keturunan ke-23 dari Si Raja Batak yang ada di Pusuk Buhit, dan ke-16 dari Ritonga pertama. Begitu yang dipercayai dari kisah yang diturunkan dari generasi ke generasi. Mana yang legenda mana yang sejarah dari tarombo tidak pernah dipersoalkan oleh orang Batak. Kalau sempat ingin juga saya menulis ulang tarombo ini dari catatan-catatan yang berserakan, untuk diketahui anak cucu agar dapat menghayati tertempelnya marga di namanya.
Nah, kembali ke ompung saya, mengapa dia dan anak-anaknya menggunakan marga Siregar di tanah perantauan, tidak pernah diungkapkannya. Hanya dari cerita-cerita yang tidak terkonfirmasi oleh sejarahwan, pada masa kolonial Belanda, marga Ritonga tidak populer bahkan terdiskriminasi, sebab konon ada figur bermarga Ritonga melawan Belanda di Sipirok. Karenanya setiap bermarga yang sama dicurigai. Semoga ada sejarahwan bermarga Ritonga yang tertarik menelusurinya. Siapa tahu ada kakek moyang Ritonga yang dapat disebut pahlawan nasional.
Adapun ompung saya merantau ke Sumatera Timur, dan menetap di Pematangsiantar. Mungkin untuk memudahkan langkahnya, dia menggunakan marga Siregar. Marga Siregar di Sipirok sangat dihargai Belanda, kendati umumnya beragama Islam, ada tokoh marga Siregar yang menyediakan tanah untuk zending Kristen. Karenanya berkat jasa leluhur bermarga Siregar itu, saat agama Kristen masih ditolak oleh pengikut Si Singamangaraja di Toba, kota Sipirok menjadi tempat awal menancapkan kaki di bumi Batak. Karenanya Sipirok tercatat dalam sejarah pertumbuhan agama Kristen Batak.
Dengan kejeliannya ompung saya dapat memiliki tanah yang luas di kawasan yang kemudian dikenal sebagai Kampung Melayu. Saat masih kecil saya masih sempat menikmati buah dari pohon-pohon durian, manggis, sawo dan lainnya di keluasan tanah belakang rumah ompung saya. Menurut kisah, untuk menguasai tanah di jaman itu cukup menetapkan batas-batas yang ditunjuk bersama saksi-saksi di depan pejabat gubernemen, lalu dicatatkan dan dibuatkan surat keterangan. Maka warga yang melek huruf Latin sangat diuntungkan, sebab mudah berurusan di kantor pemerintah. Saya tidak tahu tingkat pendidikan ompung saya, namun yang jelas dia dapat baca-tulis Latin, selain Arab tentunya. Kendati begitu, kalau bermarga Ritonga, tentu kecil kemungkinannya berhasil berurusan di kantor gubernemen. Taktik memakai marga Siregar ini tidak salah, sebab Siregar adalah marga induk dari Ritonga. Sementara saudara-saudara ompung saya lainnya yang belakangan merantau ke Sumatera Timur setelah jaman Jepang dan kemerdekaan, tidak lagi memakai Siregar, tetapi menyematkan marga Ritonga di namanya.
Memang tidak ada yang salah, orang Batak biasa menggunakan marga induk atau marga cabang. Tetapi sekarang menjadi aneh, sebab ompung dan anak cucunya berbeda dengan saudara-saudaranya yang menyandang marga Ritonga. Soal marga ini tidak pernah dibincangkan di lingkungan keluarga ompung saya. Jadi begitu saja, anak turunannya menggunakan marga Siregar. Tetapi beberapa saudara saya biasanya melibatkan diri dalam kegiatan sosial kumpulan Ritonga.
Yang pernah diceritakan, ompung saya naik haji saat perjalanan laut harus ditempuh berminggu-minggu dari Sumatera, dan bermukim di Mekah berbulan-bulan sebelum ada kapal untuk kembali. Pada waktu saya kecil, kami sekeluarga pernah mengantar ompung saya untuk bersuluk (khalwat), yaitu mengasingkan diri dengan hanya berdoa di salah satu tempat tarekat. Setelah 40 hari ompung dijemput. Saya tidak tahu aliran tarekat yang diikutinya. Sebelum dan sesudah naik haji, sehari-hari, sambil berdagang di pasar, ompung menjadi marbout sekaligus bilal yang sangat ditunggu di mesjid pada masa belum direcoki loudspeaker elektronik. Ompung meningggal dalam usia 84 tahun, saat saya duduk di SMA tahun 1963.
Kakek (datuk) saya dari pihak ibu, bernama Syech Abdurachim Al Chalidi, seorang Minangkabau yang menikah dengan nenek, seorang perempuan Batak bernama Siti Aisyah boru Siregar dari Sipirok. Karenanya anak-anaknya di kalangan Minang diangap sebagai Batak mengikuti ibunya, sedang di kalangan Batak dianggap sebagai Minangkabau seturut ayahnya. Ibu saya delapan bersaudara. Datuk dan nenek saya itu lama bermukim di Mekah, kemudian menjadi penyebar agama Islam dari daerah ke daerah, alkisah sampai ke Malaya. Belakakangan nenek saya tidak lagi mengikuti perjalanan datuk berdakwah, kemudian nenek menetap di Pematangsiantar. Sedang datuk pada akhirnya bermukim di Gunung Sugi Lampung dengan mendirikan semacam pesantren. Dari keluarganya yang ada di sana, saya memiliki beberapa mamak, namun tidak pernah bertemu datuk dan anak-anaknya. Datuk meninggal dalam usia lanjut. Sampai saat menulis naskah ini saya belum pernah menziarahi datuk di Guning Sugi, tetapi menurut orang yang suka berkunjung, makam Tuan Syech itu dipandang keramat sebagai sumber barokah.
Dengan latar kakek dan nenek kedua pihak, maka saya biasa mendengar ayah dan ibu saya mendaras Qur’an pada malam hari. Belum pernah saya selidiki, sudah berapa lapis generasi di atas ompung yang Batak dan datuk yang Minangkabau, keluarga kami menganut agama Islam. Sedang hubungan Islam dengan saya, pada tingkat awal adalah melalui sebuah kitab Al-Qur’an keluarga kami. Setiap anaknya lahir, ayah saya menuliskan tanggal (Hijriyah dan Masehi), jam kelahiran, dan tabalan nama dengan aksara Arab dan Latin di halaman dalam kover kitab itu. Sampai anak ketiga, yaitu saya, nama-nama yang diberikan berasal dari bahasa Arab karenanya tidak ada masalah dalam aksaranya. Sedang nama anak keempat dan berikutnya (kami delapan bersaudara) diberi nama Indonesia, saya tidak tahu apakah aksaranya masih sesuai dengan kaidah penulisan Arab.
Saya lahir 3 Juli 1945 di rumah sakit di kota Pematangsiantar, di masa kritis akhir pendudukan Tentara Jepang. Rumah sakit itu peninggalan Belanda, dan kota itu pada masa kolonial berastatus sebagai kotapraja (gemente) pemerimtahan Hindia Belanda. Nama yang dilekatkan pada saya sangat berbau Arab, menurut ibu saya, variasi dari kata Arab yang berarti beruntung atau bersyukur atau semacamnya. Ini bertolak belakang dengan situasi masa itu. Konon saat-saat itu tentara pendudukan Jepang yang mengalami kekalahan di berbagai front peperangan melawan Sekutu, mereka bertindak semakin keras di wilayah yang masih dikuasainya. Ayah saya aktivis perjuangan pada masa kolonial Belanda, seturut pendudukan Jepang, ikut menjadi bagian dari organisasi sipil yang dibentuk sebagaimana dianjurkan Bung Karno dari Jakarta. Entah kenapa, menjelang akhir kekuasaan pendudukan, Kempetai yaitu polisi militernya Jepang, menahan ayah saya. Sayang sekali dia tidak sempat bercerita masa lalunya. Karena tidak ada kedekatan dengan ayah, sehingga dia tidak pernah berbincang-bincang dengan anak-anaknya. Saya hanya mendengar cerita ibu saya, yang tidak mengalami sendiri penahanan itu. Jadi kurang akuratlah kalau saya berani-berani mengungkapkan mengapa dan bagaimana Jepang menahannya, padahal ayah saya ikut aktif dalam organisasi bentukan pemerintah pendudukan yang diberi nama BOMPA (Badan Oesaha Membantu Pertahanan Asia Timur Raja).
Kembali ke urusan nama saya, bermula saat saya mulai masuk pendidikan formal Sekolah Rakyat atau Sekolah Rendah yang disingkat SR pada tahun 1952. Saya tidak pernah di frobel, taman kanak-kanak di masa itu. Sekolah yang saya masuki merupakan bagian dari Perguruan Taman Siswa, disebut Taman Muda. Semua guru di sekolah itu orang Jawa, sudah saya kenal sebab sering berkunjung ke rumah kami.
Saat mendaftar sekolah, saya tidak diurus orang tua. Pada hari pertama sekolah abang saya setelah libur kenaikan kelas, berangkat ke sekolah. Saya hanya “ngintil” dia yang sudah lebih dulu bersekolah di situ. Saya diantar dan ditinggal di ruang kepala sekolah, lalu dia masuk ke kelasnya, kelas tiga. Itulah sumber ‘kecelakaan’ yang sangat saya syukuri. Saat mengisi buku pendaftaran, yang bertugas (guru atau kepala sekolah, saya lupa) menanyakan usia saya.
“Tujuh,” jawab saya.
Tetapi kelihatannya dia masih ragu, mungkin karena tubuh saya kecil dan kerempeng. Pada masa itu tidak ada akte kelahiran atau surat kenal lahir. Untuk mengecek apakah sudah pantas mengikuti persekolahan, saya disuruh melingkarkan tangan kanan untuk memegang telinga kiri dari atas kepala. Dengan tangan yang kurus tentu saja telinga terpegang. Dia mengangguk-angguk. Jadi oke.
“Siapa nama kamu?”
Saya menyebutkan nama lengkap, bukan nama panggilan rumah: Adi. Tetapi telinga Jawanya tidak familiar dengan nama yang saya sebut.
“Siapa?” ulangnya.
Saya sebut per suku kata sebagaimana dipesankan ibu saya sebelumnya. Dia menuliskan di buku tulis yang besar. Lalu selesai. Saya diantar masuk ke kelas, sudah ada beberapa murid disitu. Saya diperkenalkan pada guru di kelas itu. Langsung mengikuti pelajaran.
Memang saya tidak lama di Sekolah Taman Muda Taman Siswa itu, tetapi akan membekas selamanya, walaupun tidak seorangpun di antara teman sekelas saya ingat namanya. Mereka pun saya yakin tidak mengingat saya,berbeda dengan murid SD Menteng tetap ingat Barack Obama yang sebenarnya tidak lama sebagai teman sekolah mereka. Bangunan sekolah saya berdinding kepang bambu (gedek), di beberapa bagian bolong, dengan lantai tanah, beratap rumbia. Saya ingat lantainya yang tanah liat, sebab sepulang di rumah saya kerepotan mencuci sepatu menghilangkan tanah yang menempel di sepatu kanpas pertama saya yang baru dibeli di toko De Zon. Saya ingat sekolah itu beratap rumbia sebab ada tombak matahari yang menembus celah dari atas. Karenanya tentunya menimbulkan tandatanya mengapa ayah yang sudah menjadi pejabat pemerintahan di kota itu menyekolahkan saya di situ, bukan ke sekolah negeri yang punya gedung mentereng peninggalan Belanda. Saya tidak pernah menanyakan alasan orang tua. Belakangan saja saya berusaha mencari jawaban, menempatkan dalam kaitan dengan perjuangan orang tua saya. Tetapi itu nanti saya ceritakan.
Saat mulai bersekolah, ruang kelas dengan bangku panjang, satu bangku diduduki dua murid. Di pinggir depan meja ada bolongan untuk menempatkan gelas berisi tinta. Belajar menulis pakai sabak (lembar tipis batu hitam) untuk ditulisi dengan grip. Nanti kalau sudah lancar barulah menggunakan kertas dengan pena yang setiap kali dicelupkan di gelas tinta saat menulis. Menulis dengan pena harus hati-hati, sebab ujungnya yang runcing mudah merobek kertas.
Di dinding gedek kelas, berjajar gambar pahlawan, seperti Diponegoro, Imam Bonjol, RA Kartini, Pattimura, dan lainnya. Gambar dibuat tangan, mungkin hanya sedikit kemiripan dengan para pahlawan itu. Tetapi tidak asing bagi saya, sebab di rumah kami, dinding dihiasi gambar semacam itu. Tidak ada gambar pemandangan yang indah, seperti saya saksikan di rumah orang lain. Dengan belajar pada kelas satu di sekolah itu kemampuan intelek awal saya dibentuk. Disitu saya mulai belajar membaca dan berhitung. Saya dapat membaca dan menulis aksara dan angka pada kelas satu itu. Yang paling membekas adalah agenda bercerita yang selalu diisi oleh guru (saya tidak ingat nama dan sosok guru yang mengajar), saya tidak pernah lupa kisah tentang gambar-gambar orang yang tertempel di dinding. Setiap gambar punya dongeng yang menawan. Semua dilisankan. Seingat saya, saat di kelas satu itu tidak ada dongeng binatang seperti kancil yang penipu. Setiap menjelang pulang, guru selalu bercerita. Ada saja kisah tersisa dari orang yang tertempel di kepang bambu itu yang belum diceritakan hari-hari sebelumnya.
Kemudian tiba saatnya membawa pulang rapor kuartal pertama, saya belum dapat membaca apa yang tertulis di rapor itu. Tetapi ayah saya menerima rapor itu, dan menandatangani begitu saja. Dengan begitu apapun yang tertulis di rapor itu kelak menjadi identitas saya.
Disitu nama saya tertulis: Ashadi. Saya tidak tahu apakah ada arti nama itu, berbeda dengan nama asli saya. Sampai kapan pun begitulah adanya. Di seluruh ijasah saya, bahkan sampai surat kenal lahir yang dikeluarkan pejabat daerah setamat saya dari SMA. Belakangan saya menimbang-nimbang, mendingan seperti itu. Atau bersyukur sebab saat itu saya belum mengaji Qur’an, sehingga belum bisa melafalkan bunyi “syin” (aksara ke-13 hijaaiyyah) dan “ain” (aksara ke-18).
Bahwa dari awal ayah saya tidak mempersoalkan perubahan nama itu, tetap menjadi misteri bagi saya. Saya bayangkan, jika saya menjadi seorang ayah pastilah akan mengirim surat koreksi ke sekolah jika nama yang diberikan pada anaknya salah tulis. Pengalaman saya sebagai orang tua, nama yang saya reka untuk anak saya melalui renungan berhari-hari, dengan alternatif beberapa nama. Mengapa ayah saya membiarkan begitu saja kesalahan tulis dari sekolah itu? Atau mungkinkah ayah saya merasa nama yang diberikannya itu terlalu “berat” bagi saya di masa depan? Dengan nama yang ditabalkannya: “Asy’addi” sudah terbayang betapa sering orang akan salah mengejanya. Nama itu itu tentu akan asing bagi telinga orang-orang dengan berbagai latar belakang. Sudah terbukti, guru Taman Siswa yang keturunan Jawa pun salah dengar untuk nama pemberian ayah saya.
Tetapi belakangan saya menafsirkan sikap ayah dan ibu saya perihal nama saya. Diam-diam agaknya orang tua saya menganggap saya perlu membuang nama lama itu. Tetapi di kalangan keluarga kami tidak lazim ganti nama. Orang Batak di Tapanuli Selatan biasa mendapat gelar sebagai nama baru jika menikah. Di lingkungan suku lain ada kebiasaan ganti nama jika seorang anak mengalami kehidupan yang kurang baik. Ganti nama diupacarai untuk menghilangkan nahas. Apakah perubahan nama saya yang tidak disertai upacara itu ada kaitannya dengan titik hidup-mati yang saya alami saat saya berusia dua tahun? Ya, boleh jadi ayah dan ibu saya merasa perlu nama lama saya ditinggalkan, sehingga nama yang dilekatkan oleh guru Taman Siswa diterima begitu
Saya tidak pernah dekat dengan orang tua, baik pada ayah maupun ibu. Panggilan pada kedua orang ayah dan ibu, bukan amang-inang, papa-mama, atau papi-mami. Tidak pernah ada kebiasaan mengobrol santai dengan orang tua. Mungkin cara panggil yang sangat Indonesia itu tidak lazim di lingkungan saya saat itu. Tetapi panggilan yang sama kemudian saya terapkan pada anak-anak saya. Kendati isteri saya berasal dari Manado, yang biasa dengan panggilan papi-mami, saya bersikeras menuntut anak-anak saya menyebut ayah dan ibu bagi orang tuanya.
Ayah saya bernama Abdul Aziz dan ibu saya biasa dipanggil Ibu Aziz. Nama gadisnya Nurhasniah, keduanya aktivis perjuangan sejak zaman kolonial, biasa disebut sebagai orang pergerakan. Kalau ada cerita romantis, agaknya harus ditempatkan dalam latar itu. Tetapi saya tidak punya secuil pun dongeng menyangkut keduanya, sebab saat saya berada di Sumatera Utara sampai usia 19 tahun, tidak pernah terpikir untuk menelusurinya. Sedang sekarang, teman-teman segenerasinya sudah lama berpulang. Ayah saya meninggal di usia 48 tahun pada 27 September 1965, saat saya tahun kedua sebagai mahasiswa. Ibu saya sendiri meninggal dalam usia 85 pada tahun 2007.
Yang jelas, ayah dan ibu saya pengikut setia sebagai nasionalis, keduanya aktif di partai yang didirikan oleh Sukarno. Dari sini dapat dipahami mengapa orang tua saya memasukkan anak-anaknya untuk dididik di bangunan sekolah yang mirip kandang kambing. Sebab semua guru di sekolah itu teman seperjuangan mereka, biasa disebut kaum nasionalis. Kelihatannya ibu saya sangat bangga sebagai orang pergerakan. Ayah saya meninggal dan kemudian dimakamkan di Taman Pahlawan Pematangsiantar sebagai veteran pejuang kemerdekaan, yang tertulis di nisannya adalah jabatan ayah saya masa perang kemerdekaan, Wedana Militer – Kapten, bukan jabatannya terakhir sebagai Bupati diperbantukan di Kantor Gubernur Sumatera Utara.
***
Posted by Ashadi Siregar on 07/08/2016
https://ashadisiregar.com/2016/08/07/kenangan-melintas-1/
Posted by Ashadi Siregar on 25/07/2016
https://ashadisiregar.com/2016/07/25/ketika-mewakili-adik-melamarkan-seorang-putri-untuk-anaknya/