Makalah Martin Aleida, 04 Agustus 2018

MARTIN ALEIDA

MENOLAK AYAH’: MEMPERTANYAKAN ADAT BATAK

Saya pernah membaca sejumlah karya sastra dengan latar Danau Toba. Di antara penulisnya adalah Bakri Siregar, Sori Siregar, juga Bokor Hutasuhut. Bakri menulis cerita pendek “Di Tepi Danau”, yang dimuat dalam antologi susunan HB Jassin “Gema Tanah Air”. Cerita ini dengan bagus mengungkapkan gaung kehilangan seorang anak kesayangan yang tak terduga tenggelam di tepi danau itu. Saya kira, Bakri, yang sedang tiarap menghadapi tekanan fasisme Jepang waktu itu, menemukan daya ungkap yang subtil mengenai makna satu kehilangan. Bakri menempuh pendidikan menengah atas di Yogyakarta ini ketika Republik masih seumur jagung.

Sayang, lanskap Danau Toba tidak terlukis dengan menarik dalam cerita Bakri. Beberapa kali saya mengulang-baca “Ibu Sudah di Surga” yang ditulis Sitor Situmorang pada masa kemerdekaan. Penutup cerita ini menyentuh, memantik fantasi. Secara ringkas cerita pendek ini berkisah tentang pulangnya sang tokoh ke Tanah Batak untuk menghadiri pemakaman sang Ibu. Jasad Ibu terbaring di ruang besar. Sang Ayah meminta sang anak (Sitor) untuk mendekat, dan mengajak si anak berjalan berdampingan menuju bendul rumah. Ai adong do hepengmu? kira-kira begitu tanya sang Ayah kepada si tokoh. Apa kau punya doku? Ada apa rupanya? jawab si anak. Berdiri di ambang pintu sang Ayah menunjuk ke bawah. Katanya, kalau kau punya uang bikinlah simin (kuburan) Ibumu di situ. Satu lagi untukku, kata si Ayah, supaya nanti kami berdua bisa dengan damai menikmati Danau yang menghampar di bawah sana. Tak muncul deretan kata-kata yang mengungkapkan kemolekan danau di bawah sana. Kecuali yang muncul di dalam benak saya sebagai pembaca yang pernah beberapa kali menapakkan kaki di danau terbesar kedua di dunia itu. Cerita pendek setengah fiksi setengah jurnalisme Sitor itu, saya pikir, adalah ungkapan terbaik mengenai Danau Toba, waktu itu. Dia memberikan diskripsi selayang pandang tentang tumpah darahnya itu, namun cukup untuk memercikkan keindahan Toba kalau ditinjau dari pucuk bukit, yang membayag di benak saya.

Bakri, guru saya di sekolah menangah atas, Sitor, dengan siapa saya bergaul dengan dekat dan bareng menenggak bir, terasa jauh terlampaui oleh Ashadi Siregar dengan siapa saya tak sempat bergaul. Dan saya benar-benar menyesal tidak pernah bertatap-muka dengan penulis yang pada awal 1970-an menjadi ikon sastra Indonesia yang digandrungi kalangan remaja dan menjadi oleh-oleh hidup kaum tua.

Ketika dia menanjak sebagai penulis, sebenarnya sebagai seorang wartawan ketika itu, saya seharusnya memegangi lutut dan menimba kemampuan Ashadi Siregar dalam diskripsi, modal paling penting bagi penulis apalagi wartawan. Pengamatan Ashadi Siregar tajam. Kata-kata pilihannya apa adanya, namun kalimat yang dibentuknya tidak hanya memantulkan apa yang nyata, tetapi juga mengungkapkan yang tak terlihat menjadi kenyataan yang tak terbatas di dalam benak dan perasaan saya.

Saya kutipkan alinea pembuka: “Dari lereng bukit lepaslah pandangan ke bawah.  Permukaan danau bagai cemin biru memantulkan gumpalan kapas putih. Angin bertiup namun tidak menyentuh muka danau yang tenang. Semata-mata lukisan awan bergerak. Di pinggir danau jalan berbelok, dari kejauhan sayup terdengar alunan terompet klakson bus antardaerah yang menghubungkan Medan dengan pedalaman, ke Tapanuli sampai ke Sumatera Tengah. Tentulah bus Sibualbuali. Nada suara diantar angin yang merayap di perbukitan. Begitu melangut. Serasa jauh di masa lalu. Begitu berindu. Oh, dia ingin kembali ke dalam bus itu.”

Kutipan dari halaman 3: “Ah, suara klakson mendayu-dayu di kelokan jalan. Getaran bus serasa merambati kulitnya. Bangku di baris paling belakang, di situlah tempatnya sepanjang perjalanan. Tempat duduk berbantalan keras. Ah, perjalanan dalam gelap malam, dalam raungan mesin bergetar terengah di jalan penuh tanjakan, turunan, dan tikungan. [Bangku belakang ini harap jangan dilupakan. Di sinilah kita dipertemukan dengan Mak Bibah yang cantik bak bintang film India. Dan yang terpenting bangku panjang inilah tempat tokoh kita memancarkan cairan kedewasaanya pertama kali. Apakah dia kehilangan atau justru menemukan?]

Saya mengenal dan bergaul baik dengan Motinggo Busye, yang juga dibesarkan kota Yogyakarta ini. Dia juga seorang prosais favorit saya, yang lancar dalam membentuk dan mempermainkan emosi dengan kalimat. Saya membaca novel-novel pendeknya, seperti “Malam Pengantin di Bukit Kera” , “Tidak Menyerah” yang dilansir oleh seorang penulis resensi di harian “Bintang Timur” pada awal 1960-an dengan tuduhan setengah plagiat kalau bukan mendapat ilham dari “The Old Man and The Sea” Ernest Hemingway. Tetapi, Motinggo tidak menjawab. Cuma cepkelakep. Juga terdiam ketika pembaca mencibirnya sebagai penulis fiksi yang seenaknya membiarkan diri dibohongi fantasinya sendiri. Karena dalam novel pendeknya, “Ahimha”, Motinggo menyebutkan di Papua hidup harimau. Saya akui kehebatannya ketika mendiskripsikan Gunung Api yang tiba-tiba seperti muncul mendadak dari ketenangan permukaan Teluk Banda Neira yang seperti kaca. Dia juga menulis novel-novel yang sensual, antara lain “Tante Maryati” yang membuat bagian tubuh yang sensitif para remaja yang membacanya menggeliat.

Dalam kategori diskripsi, bagi saya Ashadi Siregar melampaui Motinggo. Paling tidak karena kemampuannya menyisipkan pertanyaan mendalam untuk hal yang sensual. Saya kutipkan halaman 138 dan 139: “Bersembunyi dalam gelapnya bus. Sembunyi-sembunyi menahan erangan. Perempuan itu tidak lagi mabuk dalam goncangan bus, tetapi membuat mabuk Tondi. Dia membaringkan Tondi di bangku panjang dan menindih laki-laki itu. Lalu berselimutkan kain batik, tubuh keduanya berpilin. Tondi mengejang dalam kegelapan bus yang meraung menembus pekatnya malam. Di sini kelaki-lakiannya yang pertama dipancarkannya. Adakah dia kehilangan ataukah dia menemukan, dalam usianya menjelang enam belas tahun?” Sebuah ungkapan dalam bentuk pertanyaan yang membuat saya sempat tersentak, karena merasa terwakili dalam pertanyaan yang subtil itu.

Saya mencatat dalam lalu-lintas WA mengenai peluncuran hari ini, disamping memuja “Menolak Ayah” sebagai karya yang “hebat”, ada pula yang nyeletuk, “ .. pengalamanmu masa belia ada di halaman 138. Jangan dilupakan halaman itu.” Bagian itu sudah saya bacakan tadi. Bagian yang mungkin sama-sama membuat kita terkenang pada masa puber yang bergelora.

Saudara-saudara, kawan-kawan sekalian, maaf, saya mengawali pembicaraan ini dengan hal-hal yang sensual, namun jangan keliru, bagi yang belum membaca “Menolak Ayah”, dia bukanlah novel yang merambah, menukik, dan mengeksplorasi dunia seksuologi sebagai tema. Samasekali tidak! Ini adalah novel yang mengungkapkan dengan rinci pengetahuan etnografi, dalam hal ini Batak, dengan latar waktu dan tempat yang berhubungan dengan pertentangan politik yang memuncak pada konflik bersenjata 13 tahun setelah kemerdekaan republik Indonesia. Lahirnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Sampai pada genosida 1965-66 yang menyebabkan ratusan ribu manusia terbunuh untuk mengantar Jenderal Suharto ke puncak kekuasaannya.

Ini adalah ABC mengenai etnis Batak yang dibawakan dengan populer. Sastrawi. Menggetarkan hati saya. Menggetarkan sisi terdalam dari diri saya. Dan itulah sastra bagi saya. Dia juga adalah novel tentang cinta dan pengkhianatan, tentang kesetiaan berhadap-hadapan dengan pendurhakaan. Yang dipersembahkan kepada saya (kita) dalam bentuk sastra, melampaui sebuah teks etnografi yang garing. Ya, sastra, karena dengan membacanya, saya tidak hanya diperkaya mengenai apa itu batakisme sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga, dan terutama, adalah bahwa hidup saya terasa jadi lebih penuh karena kenyataan faktual yang dihantarkan Ashadi Siregar dengan gaya bahasa dan ungkapan yang memperkaya jiwa saya. Ada roh, tetapi bukan begu. Bukan hantu. Ya, ada jiwa di situ, dan itulah yang ditimang sebuah hasil kesusastraan. Dan bukan hanya asupan untuk otak, bukan pikiran saja.

Dalam beberapa kesempatan, saya katakan sastra atau tidak, keputusannya adalah subyektif. Tergantung siapa yang membaca dan apa katanya mengenai narasi yang disimak. Para mahasiswa untuk mata kuliah Bahasa dan Sastra Indonesia di Institut Kesenian Jakarta, saya imbau untuk meninggalkan kategori-kategori yang sudah dipantek secara kaku melalui hafalan di sekolah menengah atas. Bebaskan dirimu. Dengarkan hatimu. Bergetar atau hambar. Seseorang bisa tak bersepakat untuk mengatakan suatu karya, sebutlah sebuah novel (yang memang pernah menjadi bahan perbincangan) yang diklaim sebagai sastra. Lantaran novel tadi oleh sementara pihak disebutkan sebagai tidak lebih dari karya jurnalistik, semacam sebuah catatan perjalanan ke sebuah pulau penambangan timah. Tak lebih dari armchair travelogue.

Saya tidak serta-merta memandang rendah karya jurnalistik di depan karya yang lebih dimuliakan sebagai sastra. Saya teringat bagaimana seorang wartawan kantor berita internasional melaporkan topan dahsyat yang menghajar Haiti beberapa tahun silam. Reporter tadi membuka alinea pertamanya dengan menggetarkan. Diskripsinya mengguncang rohani. Katanya, topan dahsyat telah menghantam Haiti, menghancurkan ibukota Port-au-Prince, meratakan dengan tanah semua pemukiman penduduk di pulau yang miskin merana itu. Sementara presiden sendiri tak tahu di mana malam ini dia harus tidur. Timbunan kalimat dalam laporan itu menyentakkan. Karena itu dia merupakan narasi sastra bagi saya. Yang saya dapatkan lebih dari sekadar informasi.

Begitu juga ketika saya membaca laporan wartawan yang meliput penutupan Olimpiade di Australia, dulu. Para wartawan duduk di dalam bus untuk melaporkan jalannya perlombaan maraton. Ya, wartawan duduk di dalam bus saja, yang disediakan panitia untuk menguntit para pelari dari belakang. Mereka dikurung dan terkurung di dalam bus. Sebagaimana perlombaan maraton di mana pun, para pelari dilepas pukul enam pagi. Ketika rombongan pelari mendekati garis finis di stadion, sewaktu melintas di wilayah pemukiman, orang-orang mengelu-elukan pelari tuanrumah, pujaan mereka. Orang-orang meninggalkan sarapan pagi mereka, membuka jendela rumah, hanya untuk melambai-lambai mengelu-elukan pelari, si kumis Rob de Castella. Ini juga menggetarkan hati saya. Si wartawan memang sedang “berbohong”.  Namun enak. Dari mana dia tahu orang-orang meninggalkan sarapan pagi, melompat ke jendela, bersorak, hanya untuk melemparkan simpati kepada pelari pujaan? Sebab dia terkurung di dalam bus. Imajinasinya berlari. Memang, pagi-pagi tentulah saat sarapan pagi. Tak bisa dibantah. Fantasinya main dan benar. Dan saya sebagai pembaca yang sadar, memang merasa sedang “dibohongi”, tetapi dibohongi dengan enak. Si reporter bukan wartawan biasa. Hati saya bergetar dibuat kemampuan imajinatifnya. Ini juga sastra, bagi saya.

Saudara, teman, kawan-kawan.

Saya juga ingin menjual hipotese yang sudah agak lama saya perkenalkan. Tak terdengar ada yang mau membelinya. Bahwa sastra ditakdirkan untuk membela korban. Dalam novel yang sedang kita perbincangkan sekarang, Ashadi Siregar saya baca sebagai penulis yang menjatuhkan pilihan untuk menjunjung tinggi manusia-manusia yang jatuh dalam pusaran nasib buruk. Korban. Dan dengan begitu, dia memaparkan dengan rinci kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang (apa boleh buat) menjadi subyek yang terkutuk dalam novel ini. Pardomutua, nama yang dipilihkan amang-nya, seorang datu, dengan harapan membawa tuah, tertapi bencana yang dibawanya. Tokoh pelengkap ini dilukiskan dengan karakter hitam legam. Busuk melebihi kali Ciliwung! Pengkhianat tulen terhadap adat Batak yang seharusnya dia junjung. Tongkat kebesaran adat Batak (tunggal panaluan) yang diwariskan ayah kepadanya dia perlakukan seperti sesuatu yang tidak lebih berharga dari pemukul anjing yang tidak bersahabat. Digeletakkan begitu saja di sudut rumah dan menemukan kehinaannya di situ. Dia meningggalkan istri dan anak tunggalnya (Tondinihuta) yang menjadi tokoh pusat dalam “Menolak Ayah” ini. Anak yang menuntaskan dendam pada ayahnya itu dengan jalannya sendiri. Terhadap pengkhianatan, terhadap pembiaran miskin papa sengasara yang ditanggungkan Ibunya, perempuan Batak yang jadi buah-bibir ketangguhan mereka dalam memikul hidup. Sepahit apa pun itu. Tondi tak sudi menemui ayah sejatinya itu sampai pun novel ini ditutup.

Di daratan jauh yang bernama Jakarta, Pardomutua menikmati hidup di atas awan, menjadi tentara dengan pangkat kolonel. Dekat dengan Presiden Sukarno untuk melanggengkan cengkeraman kukunya atas perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisir pemerintah. Dia berpura-pura berpihak pada kaum komunis supaya bisa mengeruk kekayaan secara tidak bermoral, sifat koruptif yang rupanya mulai berkembang sejak era Orde Lama dan terus dikembangkan di zaman beringin yang penuh begu sekarang ini.

Setelah G30S meletus, Pardomutua ditangkap dengan tuduhan komunis dan koruptor pula. Saema ibana! Tamatlah dia, kata orang Batak. Istri baru (putri dari Solo yang cantik) dan tiga putrinya menemukan hidup yang tak pernah mereka bayangkan. Harta dan kehormatan ludes semua. Ada yang menjadi perempuan penghibur di hotel-hotel yang besar maupun yang esek-esek di Jakarta yang kusam ketika itu.

Ashadi Siregar mengutuk pengkhiatan, memuja korban. Dia tidak sedang memihak pada kolonel angkatan darat yang bangkrut total itu. Bukan kepadanya simpati dia tumpahkan. Saya kutipkan halaman 417: “ .. banyak istri orang-orang yang dituduh komunis, menjadi korban nafsu tentara yang menginterogasinya. Tentara mengambil kesempatan, bukan hanya menginterogasi orang yang ditahannya, tetapi juga mengintimidasi keluarganya. Alasannya untuk melengkapi informasi, tetapi tujuannya untuk memaksakan nafsu pada perempuan-perempuan yang tidak berdaya. Apakah ibu dan anak-anaknya ini juga menanggungkan kenistaan itu? Betapa banyak keluarga-keluarga yang yang hancur seluruh kehidupannya saat Suharto menegakkan kekuasaannya… “  Sebagai penulis cerita pendek yang kebanyakan berlatar belakang tahun-tahun kegelapan dan pembantaian manusia 1965-66, di dalam hati saya bersorak membaca paragraf itu. Horas, Amang ..!

Sejarah dan adat Batak menghampar leluasa dalam novel ini. Ashadi Siregar menuliskannya dengan konstan bagai seorang guru yang sabar dan hormat pada detail. Di satu titik dia menukik pada segi kekerabatan yang kuat dari adat Batak yang bermuara pada hubungan adat yang namanya Dalihan na Tolu. Dari sudut ini Ashadi Siregar melukiskan bagaimana pemimpin pemberontakan PRRI, Kolonel Simbolon, “memilih bersikap mengalah” untuk menghindari jatuhnya korban di antara penduduk biasa. Orang-orang bermarga yang tidak ikut-campur dalam perang pusat-daerah tersebut. Tapi, panggilan suci yang disambut sang pemimpin pemberontak itu pulalah yang menjadi awal kekalahan Simbolon dan para pendukungnya. Pemerintah pusat memahami benar psikologi Batak tadi. Sukarno dan Nasution mengirimkan pasukan penumpas yang terdiri dari pasukan Siliwangi dari Jawa Barat yang siap menumpas cucu-cicit Raja Batak yang makar.

Saya tidak mengatakan Ashadi Siregar sedang mengelus-elus adat Batak. Dia hanya berkisah dengan sikap mirip seorang penutur yang netral yang dikirim dari Banua Ginjang, tempat dewa-dewa sedang menumpang bus Sibualbuali, barangkali. Pada satu titik, di dalam diri saya, terkadang muncul harapan yang usil, mempertanyakan di mana kritik terhadap adat yang membuat tatanan masyarakat adat Batak yang menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap penderita dalam keluarga. Dengan novelnya ini Ashadi Siregar, tidak dengan niat, telah membukakan pintu kepada saya untuk mempertanyakan sistem kekerabatan yang tidak memuliakan “kesetaraan” yang telah menjadi “agama” di zaman penghabisan ini. Lihatlah, kaum perempuan dan anak-anak berada dalam posisi seperti “budak”. Inang-inang membanting tulang di sawah dan ladang, sementara sang ayah bisa saja dengan asyik markombur, mambual, menghabiskan waktu sepanjang hari sambil membual di pakter tuak atau kedai kopi. Inilah tatanan masyarakat dan kebiasaan hidup yang terus dipertahankan di Bona ni Pinasa, di kampung halaman. Juga di lima benua di mana orang-orang Batak yang ganteng dan cantik, pandai menyanyi, dan cerdas-cerdas itu bermukim dan beranak-pinak. Semoga desakan pertanyaan saya ini salah …

Di dinding Facebook-nya, Ashadi Siregar menulis “Menolak Ayah”, yang bertiti mangsa Yogyakarta, 2016, dia tulis setelah tiga dasawarsa lebih berhenti sebagai penulis berbagai cerita yang telah diangkat ke layar perak. Disambut publik remaja-tua dengan antusias. Tigapuluh tahun lebih istirahat. Dan kemampuannya tidak luntur, apalagi cacat, kalau bukannya tambah memukau. Menggetarkan. Karena novel barunya ini adalah tondi, semacam roh hidupnya. Mampukah seorang sutradara memindahkannya ke layar meskipun sekarang sudah dikerjakan secara digital. Siapa tahu …

Ada faedahnya kalau Ashadi Siregar kita minta menerangkan tetang proses penulisan novelnya ini. Hanya saja saya ingin bertaya mengapa harus ada “Daftar Istilah” yang merebut lahan sampai 15 halaman. Dalam beberapa episode, Ashadi Siregar mengutip percakapan langsung dalam bahasa Batak, menggunakan huruf italic, disusul penjelasan yang tepat untuk menerjemahkan apa yang dikutip. Jari Ashadi tidak tersendat. Kalimatnya lancar.

Hal serupa tentu tidak terlalu sulit bagi Ashadi Siregar, yang kata-katanya seperti api yang cepat menjalar, untuk mencantumkan berbagai istilah Batak tadi dalam kalimat-kalimat yang mengalir. Dan mudah dipahami. Karena dia adalah master-nya! Mungkinkah hal ini semata-mata karena permintaan penerbit? Supaya keren. Harus dipikirkan kembali, bukankah dengan daftar istilah yang bejibun itu memberi kesan bahwa para pembaca tidak sedang membaca sebuah karya fiksi. Saya, maaf, serta-merta ingin membandingkan dengan hasil riset saya mengenai eksil Indonesia yang bermukim di lima negara Eropa. Judulnya “Tanah Air Yang Hilang.” Lantaran kekhawatiran yang berlebihan, saya kira, penerbit menyingkirkan “Indeks Nama” di halaman belakang. Yang menyebabkan buku itu bukannya 344 sebagaimana tertera di halaman colophone, tetapi 325 halaman. Padahal, kalau ada diskusi sebelumnya, nama yang masih dianggap “paria”, yang masih menakutkan karena akan memancing intel, yang sedang mengendurkan kuda-kuda, bisa saja disingkirkan. Tetapi, tidak dengan nama yang bukan sesiapa pun yang mengenalnya. Sehingga karya jurnalistik itu tidak dianggap sebagai novel, sebagaimana banyak pembaca yang mengira seperti itu.

Saudara, teman, kawan-kawan,

Terima kasih untuk memberikan saya kesempatan ngecap di kota yang banyak melahirkan sastrawan-seniman ini. Terutama terima kasih kepada Ashadi Siregar yang membiarkan saya berbicara sejujurnya mengenai novel etnografi-politiknya yang monumental ini. Horas bah ….! ***

Martin Aleida

Disampaikan di acara peluncuran “Menolak Ayah” karya Ashadi Siregar, di galeri Tembi, Bantul, Yogyakarta, 4 Agustus 2018.

 

Tinggalkan komentar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: