Tanya-jawab Etika Media (1)

Berikut pertanyaan kritis dari seorang mahasiswa, disertai jawaban saya. Pertanyaan dan jawaban, saya harap dapat menggugah pemikiran/diskusi lebih lanjut.

From:    “Adityo Kusnadi” <pijarpatricia@gmail.com>
Ada dua hal yang ingin saya tanyakan kepada Bang Hadi :

1. Mengenai kasus 4 Mata Tukul Arwana yang sempat diStop penayangannya karena dianggap telah melanggar kode etik penyiaran. Kabarnya 4 Mata tidak lagi boleh tayang karena kasus tersebut. Lembaga penyiaran telah menghentikan program ini. Namun saya tidak mengerti apakah program itu benar-benar dihentikan, karena satu bulan kemudian Trans7 menampilkan tayangan yang tidak berbeda dengan 4 mata walau hanya judulnya yang berubah “Bukan 4 Mata”.
Yang ingin saya tanyakan apakah Lembaga penyiaran benar-benar tidak menghapus muatan program acara itu?? Apakah Lembaga penyiaran “hanya” melarang penayangan kembali “4 MATA”? sehingga kemudian Trans7 bisa menayangkan kembali dg embel-embel 4mata (Bukan 4 Mata). Apakah begitu mudahnya hukum di Negeri kita ini diakali??

2. Yang kedua ini mengenai media. Seperti yang kita tahu bahwa media adalah pemantau kekuasaan, kekuasaan itu bisa Pemerintah, pers, tentara, agama dll. Tapi apakah media di Indonesia juga melakukan pemantauan terhadap media lain?? Sejauh yang saya ketahui media di Indonesia tidak melakukan pemantauan terhadap media lain. Misalnya adalah ketika pemimpin umum grup jawa pos dituduh melakukan tindakan korupsi, menggelapkan pajak dll sejumlah media lain tidak ada yang mengekspos berita tersebut. Saya pernah mendiskusikan hal ini kepada mbak hayu, dan mbak hayu berkata bahwa jika media lain turut memberitakan kasus tersebut maka media itu nantinya akan dianggap melakukan penjatuhan terhadap media jawa pos itu. Pemberitaan terhadap media lain di Indonesia dianggap merupakan persaingan, dan menurut
mbak hayu media-media di Indonesia lebih menjaga kehormatan media lain daripada harus dituduh melakukan penghinaan terhadap media itu.
Namun dari apa yang saya pernah baca di sebuah blog (andreasharsono.blogspot.com) bahwa media juga harus melakukan pemberitaan terhadap media lain yang melanggar hukum terlepas dari apakah itu merupakan bentuk persaingan atau tidak. Karena sebuah pemimpin umum surat kabar haruslah tetap dianggap sebagai warga Negara biasa, warga Negara yang bisa melakukan tindakan melanggar hukum. Apabila di Indonesia sudah melakukan hal tersebut maka menurut Andreas Harsono kebebasan pers di Indonesia ini sudah benar-benar terwujud.
Media yang melakukan pemberitaan terhadap kalangan pelaku media baik itu pelaku dari media lain maupun dari medianya sendiri akan bisa
meningkatkan kredibilitas media tersebut. Media akan melakukan pemberitaan sesuai fakta yang ada dan tidak saling menutup-nutupi.
ADITYO KUSNADI
ILMU KOMUNIKASI 2006
21813

Ashadi Siregar to <pijarpatricia@gmail.com>

JAWABAN untuk pertanyaan 1:
Pada prinsipnya pelarangan penyiaran adalah pembredelan. Jadi pada wilayah etika media, tidak boleh ada pelarangan. Bagaimana kalau dianggap sebagai pelanggaran hukum? Setiap pelanggaran hukum, berkait dengan UUPidana, diajukan ke pengadilan.
Jadi posisi KPI memang tidak jelas, apakah sebagai instansi pengatur penggunaan frekuensi yang menjadi dasar dalam perijinan lembaga penyiaran, ataukan sebagai instansi yang mengawasi konten penyiaran. Pada posisi pengawasan konten, harus jelas apakah dari sisi norma etika, ataukan dari sisi hukum. Jika etika, sanksinya bersifat moral, sedang dari sisi hukum berarti KPI sebagai pembantu polisi.
Dengan begitu pelarangan siaran 4mata tidak punya dasar hukum, hanya bersifat etis. Untuk pelanggaran etika, selama dia tidak mengulang acara atau membuat acara dengan konten yang sama seperti dalam acara yang bermasalah, tentunya dapat tetap menyiarkan. Kelihatannya stasion itu menerima teguran KPI, untuk mengingatkan kepada khalayaknya, dengan menyebutkan acara berikutnya sebagai ‘bukan 4 mata’.

JAWABAN untuk pertanyaan 2:
Masalah hukum dalam pemberitaan berpatokan pada norma “azas praduga tidak bersalah”. Setiap orang yang belum sebagai tersangka.harus diasumsikan tidak bersalah. Kapan mulai dapat diberitakan dalam konteks hukum? Jika sudah berada dalam wilayah hukum, yaitu person bersangkutan sudah disidik oleh instansi berwenang. Urutannya adalah: disidik–> dari titik ini media dapat memberitakannya, untuk seterusnya pemberitaan harus jelas apakah person kemudian diajukan sebagai tersangka atau tidak. Jika tidak, ybs dianggap tidak bersalah, pemberitaan harus menjelaskan kepada khalayak posisinya. Sebaliknya, jika menjadi tersangka, media memberitakannya secara fair (keseimbangan dan tidak berpihak dalam menghadapi materi tuntutan dan pembelaan). Jika kemudian divonis tidak bersalah, media harus pula memberitakan dengan memperjelas posisi person tsb.
Jadi seluruh paradigma dalam pemberitaan masalah hukum, haruslah melihat setiap manusia tidak bersalah sebelum dinyatakan (vonis dalam istilah Indonesia, sentenced dalam istilah Inggeris) bersalah.
Bagaimana jika vonis dikeluarkan oleh peradilan sesat? Ada 2 macam peradilan sesat:
1) Peradilan sesat sebagai proses dan vonis yang mengabaikan kebenaran, menyatakan seseorang tidak bersalah sebagai bersalah. Untuk itu media yang melakukan sendiri investigasi mencari kebenaran, harus melakukan advokasi terhadap person bersangkutan. Person haris menerima keadilan yang menjadi haknya.
2) Peradilan sesat sebagai proses dan vonis menyatakan tidak bersalah person yang didakwa bersalah. Di Indonesia peradilan sesaat tipe 2) ini lebih sering terjadi, yaitu untuk kasus korupsi. Seperti halnya menghadapi setiap peradilan sesat, media juga harus melakukan advokasi, hanya saja bukan untuk person ybs, melainkan untuk publik guna menegakkan kebenaran dan rasa keadilan dalam kehidupan publik.
Untuk “kasus” pimpinan JP, perlu dipelajari, apakah ybs sudah diusut oleh instansi perpajakan dan kasusnya sudah diteruskan kepada instansi penyidik. Kalau belum, lebih baik masyarakat khususnya media tidak mempergunjingkan. Gossip tidak masuk kedalam wilayah jurnalisme publik. Gossip biasanya  hanya untuk kasus privat selebriti dalam infotainment (jurnalistik hiburan).

Tinggalkan komentar

5 Komentar

  1. sulitnya mau mengomentarin mengenai itu.

    Balas
  2. wah, ini nih guru sejati. tetep kasih pencerahan di segala media. salam! 🙂

    Balas
  3. pijarpatricia

     /  22 Februari 2009

    TERIMA KASIH… JAWABAN YG MEMUASKAN…

    SALAM DARI KLATEN.

    Balas
  4. komentar atas jawaban no 1:
    komentar saya terkait dgn 2 hal yaitu pelarangan (pembredelan) media dan etika (institusi) media thd kritik yg ditujukan kepadanya.

    saya sepakat bhw tdk boleh ada pelarangan atas informasi. hanya saja, media TV (dan radio) berbeda, in nature, dgn media cetak. media TV menggunakan gelombang di udara yg terbatas jumlahnya, sementara media cetak bisa diproduksi oleh siapa saja selama kertas masih tersedia. mengingat keterbatasan space di udara tersebut, sudah selayaknyalah, media penyiaran diatur sedemikian rupa untuk kemakmuran rakyatnya. siapa yg harus mengatur dan bagaimana itu diatur itu yg jadi soal. persoalan ttg atur mengatur jatah gelombang ini yang belum selesai, atau mungkin tidak akan pernah selesai karena dari sinilah ladang penghasilan para pembuat aturan. in my opinion, media TV bukanlah institusi suci, juga bukan representasi jurnalisme ansich, sehingga menjadikan dirinya kebal dari intervensi dari non media (extramedia) atas isi tayangannya.
    kedua, tanggapan Trans7 atas pelarangan hak siar program Empat Mata dgn hanya merubah namanya menjadi Bukan Empat Mata, saya kok lebih melihat itu sebagai bentuk ketidakdewasaan media kita. Alih alih memperbaiki kualitas tayangan, Trans7 tampaknya secara sengaja membuat program dgn setting yg sama, presenter yg sama, bahkan semakin memperjelas adegan-adegan yg menjadi kritikan para kritikus media. sekedar contoh misalnya ‘cipika-cipiki’ dgn bintang tamu wanita. Bagaimana mungkin pertelevisian kita menuju ke arah yg lebih baik jika pihak yg terlibat di dalamnya masih mengunjukkan ego mereka?

    Balas
  5. David

     /  23 Mei 2009

    PERADILAN INDONESIA: PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

    Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap Rp.5,4 jt. (menggunakan uang klaim asuransi milik konsumen) di Polda Jateng
    Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak ‘bodoh’, lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat,sambil berlindung di bawah ‘dokumen dan rahasia negara’.
    Maka benarlah statemen “Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap” (KAI) dan “Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA” (KPK). Ini adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat.
    Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen Indonesia yang sangat dirugikan mestinya mengajukan “Perlawanan Pihak Ketiga” untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini .
    Masalahnya, masyarakat Indonesia lebih memilih “nrimo” menghadapi kenyataan peradilan seperti ini. Sikap inilah yang membuat para oknum ‘hakim bejat’ Indonesia memanfaatkan kesempatan memperkosa hukum negara ini.
    Sampai kapan kondisi seperti ini akan berlangsung??

    David Pangemanan
    HP. (0274)9345675

    Balas

Tinggalkan Balasan ke deka Batalkan balasan