Sayap “kanan” dan sayap “kiri”

SAYAP “KANAN” DAN SAYAP “KIRI”

Senang bisa membaca note Bung Dedy Nur Hidayat di FB (saya kutip untuk blog ini), sebab telah memberikan perspektif yang sangat penting dalam kajian komunikasi yang selama ini berat sebelah ke sayap “kanan” di kalangan skolar komunikasi/media.

Bagi kaum sayap “kanan” ini komunikasi dilihat sebagai transmisi pesan, bagi para skolarnya biasa dilihat sebagai pendekatan logico-empirisisme (bung Dedy menggunakan istilah positivisistik atau ‘tradisional”) dengan “ideologi” epistetemologis untuk kebenaran dan obyektivitas. Tetapi terlupakan bahwa dibalik praksisnya, komunikasi ini bersifat dan memiliki tujuan pragmatis, karenanya yang diuntungkan selamanya pihak yang powerful dan voiceful, dan mengabaikan pihak powerless dan voiceless. Pihak inilah yang disebut sebagai publik, khalayak, public segmented, target audience, dan semacamnya, yaitu kaum yang dibaca peta kognisinya untuk kemudian dibentuk alam pikirannya agar sesuai dengan kepentingan komunikator.

Untuk waktu lama, dominasi pemikiran ini diterima begitu saja. Sebenarnya tidak masalah, sebab untuk keperluan pragmatis, pendidikan komunikasi sayap “kanan” ini diperlukan dalam kegiatan masyarakat, terlebih dalam mengisi profesi komunikasi. Pada level undergraduate dengan sendirinya mahasiswa tentunya lebih memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang relevan dalam dunia kerja.

Tetapi dalam pengembangan epistemologi studi komunikasi/media, kiranya perlu “disiagakan” pemikiran tentang adanya “penyakit” yang tersembuyi dalam pendekatan pragmatis yang diterapkan dalam pendekatan logico-empirisisme. Untuk itu pendefinisian komunikasi dengan cara lain, yaitu sebagai produksi makna (meaning) menjadi penting walaupun tidak perlu sampai mengganggu orientasi pendidikan pada level undergraduate.

Kajian tentang makna mengajak skolar komunikasi untuk melihat interaksi sosial bukan sekadar penyampaian pesan dengan tujuan tertentu, tetapi sebagai pertukaran makna dalam suatu komunitas (dalam berbagai konteks: seperti negara, pasar, globalitas, lokalitas, politik, ekonomi). Perbedaan paradigma dalam melihat realitas komunikasi/media membawa tantangan dalam metodologi sekaligus episteme yang dicari dan didapatkan dalam kajian. Dalam istilah soknya, aliran epistemologi ini bolehlah kita sebut sayap “kiri” dalam kajian komunikasi/media.

Dengan orientasi menangkap makna dari setiap realitas komunikasi (praktik institusional dan teks media), skolar komunikasi/media diharapkan dapat menunjukkan “penyakit-penyakit” yang tersembunyi dalam kehidupan publik. Dalam praksisnya, di Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya (LP3Y) kami sedang mengembangkan semacam sayap semacam ini dalam pendidikan jurnalisme. Diakui bahwa jurnalisme untuk tujuan pragmatis yaitu yang berbasis pada newsworthiness dan aspek teknikalitas lainnya tetap diperlukan. Sayap “kanan” ini menjadi dasar dalam dunia media yang bersifat industrial. Tetapi pada tingkat lebih lanjut, jurnalisme perlu ditempatkan sebagai kerja komunikasi yang memeroduksi makna, dan dari sini keberadaannya di ruang publik dilihat dalam perspektif kurtural.

Sekali lagi, saya senang, sebab melalui note bung Dedy tentang teori-teori kritis, telah bikin seminar tanpa repot cari funding. Saya minta ijin untuk menempatkan tulisan Anda di blog saya. Untuk honornya, harap diklaim ke Tuhan yang Maha Pemurah.

NARKOBA, POLISI DAN JURNALIS

Soal ini sudah pernah saya angkat dalam pertemuan diskusi dengan sejumlah editor suatu koran utama terbitan Jakarta. Tetapi rupa-rupanya sama sekali tidak ada pengaruhnya, sebab koran itu tetap saja membuat pemberitaan dengan cara yang sama. Dicuekin, mungkin karena para editor menganggap yang dijalankan selama ini dianggap sudah benar. Mau apa lagi?

Jadi lebih baik saya berbagi dengan Anda. Mungkin terlewatkan dari perhatian Anda. Setiap kali polisi berhasil menangkap penjual atau menggrebek pabrik narkoba, media massa memberitakannya. Tentu saja sukses itu perlu diketahui khalayak. Tetapi perlu disikapi cara media, koran maupun televisi, terlebih pemberitaan dari desk kota/metropolitan. Berbagai kajian tentang jurnalisme menunjukkan kerja jurnalis yang embeded dengan polisi (sebagaimana lazimnya city reporter) sangat mudah membuat jurnalis menjadi bagian perkomplotan dalam dunia kepolisian dan “mafioso”.

Coba perhatikan, berita berdasarkan sumber kepolisian, media biasanya memberitakan nilai ekonomi dari narkoba (ekstasi seharga sekian puluh miliar; atau bahan pembuat kalau sudah jadi ekstasi atau sabu-sabu bernilai sekian miliar).

Menimbulkan tanda-tanya, bagaimana polisi dapat menetapkan harga pasar/ekonomi (market price) sesuatu barang kejahatan/terlarang? Narkoba tidak sekadar barang ilegal, seperti komoditas yang tidak berijin atau tidak bayar cukai. Jadi tidak ada logika kerugian atau keuntungan ekonomis. Jika menyangkut bahan psikotropika kimiadasar untuk pembuatan ekstasi/narkoba, sepanjang barang legal memang ada harga pasarnya. Tetapi setelah menjadi ekstasi hanya ada harga di pasar kejahatan.

Dengan menunjukkan nilai ekonomi atas narkoba versi polisi, dapat menjadi sumber dalam penentuan “harga pasar” komoditas. Sekian puluh kg ekstasi berharga sekian puluh miliar rupiah. Begitu, seperti pemberitaan harga tomat bulat, kol gepeng, cabe kriting dan semacamnya.

Pemberitaan dengan menekankan pada nilai ekonomis dari kejahatan narkoba, pada satu sisi menunjukkan polisi dan media massa melihat kejahatan narkoba ini hanya sebagai fenomena ekonomi. Pada sisi lain, akan mengggiurkan warga yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, atau orang yang memang tamak untuk mendapat hasil dengan jalan pintas.

Apa yang perlu dilakukan media? Pertama, jurnalis perlu tahu dan dapat membedakan barang legal, ilegal dan terlarang. Barang terlarang bukan komoditas yang memiliki market price, sebab hanya berada di wilayah “pasar” kejahatan. Kedua, dalam konteks upaya gerakan anti narkoba, dari sukses polisi, kiranya media dapat menunjukkan masalah kerugian masyarakat jika ekstasi sampai beredar.

Penyeludupan atau produksi sekian puluh kilo dalam pengonsumsian per sekian gram, digunakan sekian ribu orang. Frekuensi penggunaan, jumlah pengguna yang terdampak, dan implikasinya terhadap kerusakan fisik personal dan masyarakat misalnya, lebih memiliki signifikan. Signifikansi ini bagi khalayak karena setiap kali diingatkan dengan dampak kerusakan dari narkoba; dan bagi polisi untuk selalu ingat pula bahwa keberadaannya bukan sekadar untuk menghentikan pasar ekonomi kejahatan, tetapi melindungi warga.

Karenanya walaupun polisi begitu bangga dengan sukses mengekspos keberhasilan menggagalkan arus ekonomi di pasar kejahatan, media lebih berguna jika menempatkan fokus pemberitaan pada keberhasilan menghentikan peredaran narkoba. Sekaligus mengawal agar barang terlarang yang sudah disita, tidak sampai keluar lagi dan masuk ke pasar kejahatan.

City editor perlu agenda untuk menelisik kemana saja barang-barang kejahatan itu selama, dan sesudah penjahatnya diadili. Artinya sukses polisi menangkap dan menyita, perlu disertai dengan kepastian bahwa ada penjahat yang dihukum, dan barang kejahatan dimusnahkan. Dengan kata lain, dalam agenda editor, frekuensi berita penangkapan dan penyitaan harus identik dengan frekuensi berita penghukuman dan pemusnahan. (Februari 2009, Ashadi Siregar)

Tanya-jawab Etika Media (1)

Berikut pertanyaan kritis dari seorang mahasiswa, disertai jawaban saya. Pertanyaan dan jawaban, saya harap dapat menggugah pemikiran/diskusi lebih lanjut.

From:    “Adityo Kusnadi” <pijarpatricia@gmail.com>
Ada dua hal yang ingin saya tanyakan kepada Bang Hadi :

1. Mengenai kasus 4 Mata Tukul Arwana yang sempat diStop penayangannya karena dianggap telah melanggar kode etik penyiaran. Kabarnya 4 Mata tidak lagi boleh tayang karena kasus tersebut. Lembaga penyiaran telah menghentikan program ini. Namun saya tidak mengerti apakah program itu benar-benar dihentikan, karena satu bulan kemudian Trans7 menampilkan tayangan yang tidak berbeda dengan 4 mata walau hanya judulnya yang berubah “Bukan 4 Mata”.
Yang ingin saya tanyakan apakah Lembaga penyiaran benar-benar tidak menghapus muatan program acara itu?? Apakah Lembaga penyiaran “hanya” melarang penayangan kembali “4 MATA”? sehingga kemudian Trans7 bisa menayangkan kembali dg embel-embel 4mata (Bukan 4 Mata). Apakah begitu mudahnya hukum di Negeri kita ini diakali??

2. Yang kedua ini mengenai media. Seperti yang kita tahu bahwa media adalah pemantau kekuasaan, kekuasaan itu bisa Pemerintah, pers, tentara, agama dll. Tapi apakah media di Indonesia juga melakukan pemantauan terhadap media lain?? Sejauh yang saya ketahui media di Indonesia tidak melakukan pemantauan terhadap media lain. Misalnya adalah ketika pemimpin umum grup jawa pos dituduh melakukan tindakan korupsi, menggelapkan pajak dll sejumlah media lain tidak ada yang mengekspos berita tersebut. Saya pernah mendiskusikan hal ini kepada mbak hayu, dan mbak hayu berkata bahwa jika media lain turut memberitakan kasus tersebut maka media itu nantinya akan dianggap melakukan penjatuhan terhadap media jawa pos itu. Pemberitaan terhadap media lain di Indonesia dianggap merupakan persaingan, dan menurut
mbak hayu media-media di Indonesia lebih menjaga kehormatan media lain daripada harus dituduh melakukan penghinaan terhadap media itu.
Namun dari apa yang saya pernah baca di sebuah blog (andreasharsono.blogspot.com) bahwa media juga harus melakukan pemberitaan terhadap media lain yang melanggar hukum terlepas dari apakah itu merupakan bentuk persaingan atau tidak. Karena sebuah pemimpin umum surat kabar haruslah tetap dianggap sebagai warga Negara biasa, warga Negara yang bisa melakukan tindakan melanggar hukum. Apabila di Indonesia sudah melakukan hal tersebut maka menurut Andreas Harsono kebebasan pers di Indonesia ini sudah benar-benar terwujud.
Media yang melakukan pemberitaan terhadap kalangan pelaku media baik itu pelaku dari media lain maupun dari medianya sendiri akan bisa
meningkatkan kredibilitas media tersebut. Media akan melakukan pemberitaan sesuai fakta yang ada dan tidak saling menutup-nutupi.
ADITYO KUSNADI
ILMU KOMUNIKASI 2006
21813

Ashadi Siregar to <pijarpatricia@gmail.com>

JAWABAN untuk pertanyaan 1:
Pada prinsipnya pelarangan penyiaran adalah pembredelan. Jadi pada wilayah etika media, tidak boleh ada pelarangan. Bagaimana kalau dianggap sebagai pelanggaran hukum? Setiap pelanggaran hukum, berkait dengan UUPidana, diajukan ke pengadilan.
Jadi posisi KPI memang tidak jelas, apakah sebagai instansi pengatur penggunaan frekuensi yang menjadi dasar dalam perijinan lembaga penyiaran, ataukan sebagai instansi yang mengawasi konten penyiaran. Pada posisi pengawasan konten, harus jelas apakah dari sisi norma etika, ataukan dari sisi hukum. Jika etika, sanksinya bersifat moral, sedang dari sisi hukum berarti KPI sebagai pembantu polisi.
Dengan begitu pelarangan siaran 4mata tidak punya dasar hukum, hanya bersifat etis. Untuk pelanggaran etika, selama dia tidak mengulang acara atau membuat acara dengan konten yang sama seperti dalam acara yang bermasalah, tentunya dapat tetap menyiarkan. Kelihatannya stasion itu menerima teguran KPI, untuk mengingatkan kepada khalayaknya, dengan menyebutkan acara berikutnya sebagai ‘bukan 4 mata’.

JAWABAN untuk pertanyaan 2:
Masalah hukum dalam pemberitaan berpatokan pada norma “azas praduga tidak bersalah”. Setiap orang yang belum sebagai tersangka.harus diasumsikan tidak bersalah. Kapan mulai dapat diberitakan dalam konteks hukum? Jika sudah berada dalam wilayah hukum, yaitu person bersangkutan sudah disidik oleh instansi berwenang. Urutannya adalah: disidik–> dari titik ini media dapat memberitakannya, untuk seterusnya pemberitaan harus jelas apakah person kemudian diajukan sebagai tersangka atau tidak. Jika tidak, ybs dianggap tidak bersalah, pemberitaan harus menjelaskan kepada khalayak posisinya. Sebaliknya, jika menjadi tersangka, media memberitakannya secara fair (keseimbangan dan tidak berpihak dalam menghadapi materi tuntutan dan pembelaan). Jika kemudian divonis tidak bersalah, media harus pula memberitakan dengan memperjelas posisi person tsb.
Jadi seluruh paradigma dalam pemberitaan masalah hukum, haruslah melihat setiap manusia tidak bersalah sebelum dinyatakan (vonis dalam istilah Indonesia, sentenced dalam istilah Inggeris) bersalah.
Bagaimana jika vonis dikeluarkan oleh peradilan sesat? Ada 2 macam peradilan sesat:
1) Peradilan sesat sebagai proses dan vonis yang mengabaikan kebenaran, menyatakan seseorang tidak bersalah sebagai bersalah. Untuk itu media yang melakukan sendiri investigasi mencari kebenaran, harus melakukan advokasi terhadap person bersangkutan. Person haris menerima keadilan yang menjadi haknya.
2) Peradilan sesat sebagai proses dan vonis menyatakan tidak bersalah person yang didakwa bersalah. Di Indonesia peradilan sesaat tipe 2) ini lebih sering terjadi, yaitu untuk kasus korupsi. Seperti halnya menghadapi setiap peradilan sesat, media juga harus melakukan advokasi, hanya saja bukan untuk person ybs, melainkan untuk publik guna menegakkan kebenaran dan rasa keadilan dalam kehidupan publik.
Untuk “kasus” pimpinan JP, perlu dipelajari, apakah ybs sudah diusut oleh instansi perpajakan dan kasusnya sudah diteruskan kepada instansi penyidik. Kalau belum, lebih baik masyarakat khususnya media tidak mempergunjingkan. Gossip tidak masuk kedalam wilayah jurnalisme publik. Gossip biasanya  hanya untuk kasus privat selebriti dalam infotainment (jurnalistik hiburan).

MEDIA MASSA, KEBEBASAN PERS, HAK AZASI MANUSIA

Media massa – kebebasan pers – hak azasi manusia, merupakan kajian mengenai keberadan media pers/jurnalisme dalam kerangka kebebasan pers. Kebebasan pers sebagai landasan dalam kehidupan publik hanya dapat ditempatkan dalam landasan hak azasi manusia. Permasalahan yang mendasari kajian ini adalah sejauh mana konsep-konsep Hak Asasi Manusia yang bersifat universal berlaku dalam penyelenggaraan Sistem Pers.

Lebih jauh dapat dilihat pada halaman: 09_MEDIA – HAM

JURNALISME, PUBLICSPHERE DAN ETIKA

JURNALISME, PUBLICSPHERE DAN ETIKA: Suatu Proses Produksi Makna dalam Kerja Jurnalisme

Kerja jurnalisme dapat bergerak seputar aspek teknikalitas, biasa disebut sebagai proses jurnalistik. Kerja semacam ini sekadar menyampaikan fakta dalam bentuk berita (sebagai jurnalisme fakta), dapat berupa informasi publik, bahkan mungkin saja informasi privat semacam kawin-cerainya artis. Tetapi dalam epistemologi jurnalisme, ada tuntutan yang lebih, yaitu penyampaian informasi sebagai wacana yang memiliki makna publik. Sekilas kerangka konseptual untuk kerja jurnalisme makna ini dapat dibaca dalam halaman blog ini.

SILAKAN KLIK HALAMAN: 08_KERJA JURNALISME

Sharing pengajaran Ilmu Komunikasi

Cukup lama saya mengasuh mata pelajaran Etika Komunikasi. Saya tempatkan di blog ini berkas Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS) ETIKA KOMUNIKASI yang selama ini saya gunakan di Jurusan Ilmu Komunikasi, kiranya ada diantara rekan pengajar yang sudi berbagi untuk mengembangkan materi pembelajaran ini.

Silakan klik di navigasi bertajuk: 06_BAHAN KULIAH

ARTIKEL RELEVAN DARI KORAN/MAJALAH DITERBITKAN SEBAGAI BUKU:

BUDAYA dan MEDIA

Salam,

Bagi rekan-rekan yang berminat dalam pengembangan kajian Budaya dan Media, di blog ini saya tempatkan bahan/materi ajar TEORI-TEORI MEDIA, yang digunakan sebagai pendukung program KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA, satu program yang dibentuk sejak 3 tahun ini pada PASCA SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA. Program pada pasca sarjana ini merupakan kolaborasi pengajar Humaniora Fakultas Budaya dan Komunikasi dari UGM, pengajar Institut Seni Indonesia, dan praktisi Seni Media. Pada hemat saya, kajian semacam ini sangat penting, mengingat fokus pendidikan komunikasi/media selama ini lebih didominasi perpektif pragmatis. Dengan perspektif budaya/kultural dalam kajian komunikasi/media, diharapkan pendekatan kritis atas media akan lebih berkembang.

Bahan yang ditempatkan di blog ini masih sangat terbatas, sebab dalam penggunaannya adalah sebagai dasar dalam perkuliahan, diskusi dan seminar kelas bagi mahasiswa Kajian Budaya dan Media. Karenanya bantuan rekan-rekan pengkaji studi media dalam perspektif budaya, untuk pengembangan materi pengajaran ini sangat saya harapkan.

SILAKAN KLIK LIST DI NAVIGASI: 07_STUDBUD_MEDIA

Buku JALAN KE MEDIA FILM

Sekilas tentang buku ini dapat dibaca, silakan klik pada prakata-buku-jalan-ke-media-film

DAFTAR ISI

PRAKATA


BAB 1 YANG PERLU DALAM KAJIAN FILM


1. Pintu Ke Dalam Kajian


2. Memahami Pekerjembangan Teknologi Film


BAB 2 MENELUSURI JEJAK FILM

1. ‘Film Maker’ Sang Pionir

2. Studio Raksasa Versus Indie’


BAB 3 MENGENALI KERAGAMAN FILM

1. Genre Film

2. Industri Hiburan

3. Memfilmkan Realitas


BAB 4 KOMUNIKASI FILM

1. Berkomunikasi Dengan Massa

2. Karya Seni Film

3. Dunia Produksi

4. Profesionalisme Di Dunia Film


BAB 5 PENULISAN NASKAH FILM DAN TELEVISI


1. Pengembangan Cerita Fiksi Untuk Skenario

2. Produksi Film Dokumenter

REFERENSI

INDEKS

Buku dapat dipesan ke:

LP3Y

JL. Kaliurang km13,7 Ngemplak, Sleman, DIY

atau melalui e-mail: lp3y@idola.net.id atau akses ke: http://www.lp3y.org

Tentang arsip makalah

Arsip makalah saya perbaiki untuk lebih memudahkan diakses, dengan pengategorian 5 tema makalah, yaitu masalah jurnalisme, institusi media massa, pendidikan komunikasi, komunikasi politik, dan komunikasi budaya. Setiap makalah diformat sebagai berkas pdf. Semoga bermanfaat.

Ashadi Siregar

SALAM dari YOGYA

Salam,
Blog ini dimaksudkan untuk berbagi kepada publik mengenai jurnalisme khususnya dan masalah media dalam konteks kebudayaan umumnya. Berbagai tulisan yang pernah saya sampaikan melalui seminar, koran/majalah dan publikasi lainnya, akan saya usahakan untuk dapat diakses. Mengenai makalah, perlu saya sampaikan bahwa sering terjadi pengulangan konsep atau pokok pikiran dalam berbagai tulisan. Mungkin anda akan bosan karenanya. Mohon dimaklumi mengingat saya harus mengulas topik makalah yang mirip atau bahkan sama, atas permintaan penyelenggara seminar pada kesempatan waktu dan tempat berbeda.

Ashadi Siregar